Perjalanan ke Pulau Buru [2]: Hidup dalam Ketel terpal Biru

Eles, satu dari ratusan ribu warga pulau yang ikut mencicipi pembangunan infrastruktur. Dengan jalan yang semakin baik, dia bisa lebih cepat sampai ke lokasi pengepul Kayu Putih di Namlea.

Minggu, 25 Agustus 2019 | 10:27 WIB
0
566
Perjalanan ke Pulau Buru [2]: Hidup dalam Ketel terpal Biru
Saya dan masyarakat Pulau Buru (Foto: Dok. pribadi)

Di pinggir jalan dari unit VI desa Tifu Kabupaten Buru menuju Namrole, kami menemukan gubuk terpal berwarna biru. Tepatnya pinggir di desa Okaholim. Panjang gubuk sekitar 10 meter, dengan gubuk-gubuk kecil ada di bagian depan.

Tampak ibu-ibu duduk-duduk saat kami melintas. Avanza hitam yang melaju agak pelan karena jalan menikung, kami minta berhenti sebentar. Kami naik ke lokasi, mengapa banyak orang di sana?

Ada sekitar 10 orang dewasa di dalam tenda plastik itu. Di bagian sisi kanan dan kiri tenda ada wadah dari bambu. Disana ditempatkan daun kayu putih. Ada yang masih terisi penuh, ada juga yang sudah berkurang.

Di ujung tenda ada dua tong besar dari kayu dengan tungku api di bagian bawah tong pertama. Bagian bawah tong itu sendiri menggunakan plat besi untuk menghantarkan panas.

Tong pertama tertutup rapat dan pada bagian atasnya ada pipa seng berbentuk cerobong yang dialirkan ke tong kedua. Tong kedua ini berisi air, dengan selang kecil dan dirijen penampungan di bawahnya.

Jadi uap yang dihasilkan tong pertama didinginkan dwngan air pada tong kedua agar menjadi cair kembali. Nah, cairan yang menetes pada dieijen itulah yang kemudian jadi minyak kayu putih.

Begitulah cara masyarakat Pulau Buru memproduksi minyak kayu putih. Lokasi penyulingan biasa dikenal dengan sebutan ketel.

Pohon-pohon kayu putih tersebar liar di hampir semua lokasi pulau ini. Masyarakat tinggal mengambil daunnya untuk diolah. Bagi Eles Nurlatu, seorang yang menjadi pimpinan di ketel tersebut, ini adalah caranya untuk mencari nafkah.

Eles tidak sendiri. Dia mengajak keluarga dan beberapa rekannya untuk bersama-sama mengoperasikan ketel. Dari 1 ton daun kayu putih akan didapatkan 20 liter minyak kayu putih asli. Eles menjualnya Rp 1.100.000 per dirijen isi lima liter. Dalam sehari semalam biasanya Eles dan rombongan menghasilkan 10 liter minyak kayu putih.

Mendapatkan daun minyak kayu putih tidak sembarangan. Daun harus dipisahkan dari batang. Yang diambil untuk diolah adalah daun yang cukup tua.

"Kadang saya juga membeli daun dari masyarakat yang mencari di hutan. Harganya Rp 1000 perkilo," ujar Ales. Dia mengumpulkan di ketel untuk diolah.

Hasil penjualan minyak, dikurangi dengan modal, tenaga dan kayu bakar, itulah yang dibagi Eles pada anggota kelompoknya. Dalam sehari per kepala keluarga bisa mendapatkan Rp 100 sampai Rp 200 ribu.

"Uangnya buat beli keperluan pokok seperti beras, makan dan pakaian," ujarnya. Dia tersenyum memamerkan deretan giginya yang berwarna kemerahan akibat mengunyah sirih dan pinang.


Aktivitas di terpal biru (Foto: Dok. pribadi)

Di gubuk-gubuk kecil dekat ketel saya melihat anak-anak kecil sedang bermain. Ada beberapa ibu yang juga terlihat sedang menanak nasi. Tampaknya mereka sedang mempersiapkan buat makan malam.

Aha, rupanya makanan mereka sama dengan kita. Nasi dengan lauk mie instan. "Kadang kita masak mie. Kadang masak yang lain juga, yang penting ada yang bisa dimasak," ujar Maria, perempuan setengah baya dengan leher sedikit menggembung karena gondok.

Di tenda ini saya menyaksikan bagian dari masyarakat Indonesia yang sederhana. Eles dan keluarga termasuk suku asli Pulau Buru. Jika selesai mengolah minyak kayu putih dia biasa menjual produknya ke Namlea, sekitar 90 menit perjalanan mobil dari lokasi ketelnya. "Untung jalan sekarang sudah bagus. Jembatan juga sudah dibuat yang baru. Kami enak jalan ke Namlea," kisah Eles.

Eles adalah satu dari ratusan ribu masyarakat pulau yang ikut mencicipi pembangunan infrastruktur. Dengan jalan yang semakin baik, dia bisa lebih cepat sampai ke lokasi pengepul Kayu Putih di Namlea.

Sehabis menjual hasil produksinya biasanya Eles sekalian sempatkan diri membeli bahan pokok untuk keluarga dan kelompoknya. "Kalau habis jual ke Namlea, kita baru bisa makan enak. Pakai telur," celetuk Maria.

Ah, bicara soal yang enak-enak saya jadi ingat sate usus di warung bubur Bambang Kusnadi. Di pulau ini, saya memang belum bertemu seorangpun yang menjual bubur ayam. Apalagi yang sate ususnya maknyus.

(Bersambung)

Eko Kuntadhi

***

Tulisan sebelumnya: Perjalanan ke Pulau Buru [1]: Sebuah Lampu dan Harapan di Wae Ngapan