Sekali Lagi tentang Air

Gunakan air seperlunya, juga pada tempatnya. Jangan buang-buang air hanya karena berpikir persediaan air masih berlimpah.

Jumat, 30 Agustus 2019 | 06:00 WIB
0
321
Sekali Lagi tentang Air
Ilustrasi (Foto: Akurat.co)

Setelah cuci kaki, saya menutup keran air kurang kencang. Dari keran itu air masih menetes. Tadinya saya mau mengencangkan keran itu agar air tidak menetes. Tapi gak jadi. Lalu iseng, air yang menetes itu saya hitung, 18 tetes dalam 10 detik. Kemudian air itu ditampung pake ember. Saya lihat jam dinding, pukul 19.20. Sekarang pukul 22.10, ember hampir penuh. 

Saya jadi mikir (asalnya gak mikir), mungkin kalau sampai pagi, jumlah air yang menetes itu bisa sampai tiga ember. Tiga ember air bersih, yang bagi masyarakat di daerah-daerah tertentu harus didapat setelah berjalan kaki hingga beberapa kilometer, pulangnya harus angkat beban, ember berisi air. Kalau air yang menetes itu terbuang percuma (kerannya tidak ditutup rapat atau air itu tidak ditampung) betapa saya tidak berempati dengan mereka. 

Tiga ember air bersih adalah surga yang didambakan.

Mengingat-ingat dua kejadian lalu, ada dua pengalaman. Pertama, tahun 1990 ketika dalam bus menuju Bandung. Di sekitar Gunung Kapur, saya merasakan mau buang air besar yang sangat kuat. Saat itu musim kemarau, di sekitar daerah itu tidak ada sungai, tidak ada air. saya tahan dengan segenap jiwa dan raga, sampai keringetan. 

Akhirnya bus sampai Ciburuy, saya turun. Lalu berjalan dengan sangat hati-hati menuju masjid. Dengan harapan di masjid itu ada toilet atau pancuran. Tapi ternyata, di toilet yang saya temui tidak ada air, apalagi pancuran. Sementara Mr. T makin gak sabar mau keluar. Akhirnya saya pun nyerah, lalu jongkok, menulaikan tugas kemanusiaan. 

Untungnya persis di sebelah toilet itu ada gang, langkah orang yang lewat bisa terdengar jelas. Setelah khatam, saya tunggu orang lewat. Beberapa menit kemudian, terdengar langkah kaki yang mendekat. Pintu toilet saya buka sedikit, lalu berteriak memanggil-manggil orang yang baru lewat itu. Awalnya dia kebingungan, siapa yang manggil. Akhirnya dia nyamperin, mendekat ke toilet, ‘Ada apa?’ katanya.

Melalui celah pintu saya sodorkan uang gocengan. “Kang tolong belikan tiga botol besar Akua. Di sini gak ada air.” waktu itu harga satu botol besar Rp600. 

Orang yang saya tidak kenal itu pun mengambil uang yang saya sodorkan, dan pergi. Tinggal saya menanti-nanti. Akhirnya terbukti, orang itu tidak berbakat jadi politisi. Dia benar-benar malaikat yang diutus Tuhan untuk menolong saya. Coba kalo dia punya bakat jadi politisi, mungkin Dana Alokasi Cebok (DAC) itu pun diembat juga. 

Ia datang membawa tiga botol besar Akua, plus kembaliannya. Lewat celah pintu toilet yang saya buka sedikit, ia menyodorkan ketiga botol itu. “Kembaliannya silakan ambil.” kata saya. Sekali lagi, orang itu benar-benar titisan Hoegeng, jujur, dan suka membantu tanpa pamrih.

“Tidak, terima kasih,” katanya, sambil berlalu. Saya benar-benar tertolong. Saya tercenung. Saya yakin, hati orang itu sama beningnya dengan air yang ia bawa dalam botol. Atau mungkin lebih. 

Kejadian kedua, satu malam tiba-tiba saya terbangun. Perut saya mulas, mau buang air. Saya pun ke toilet, nyalakan rokok, duduk di kloset, dengan tenang mengikuti ritual seperti biasa, ngeprint sampai selesai. Lalu flush. Tapi alangkah kagetnya ketika membuka keran, mau wipe out, tak ada air yang keluar.

Bingung, gak kepikir kalo harus pake tisu. Akhirnya saya putuskan meraih ember. Lalu, sambil nyumpah-nyumpahin PDAM Bogor, saya berjalan dengan gaya sedemikian rupa ke depan rumah. Lalu saya isi ember dengan air dari kolam ikan. Kembali ke kamar mandi pelan-pelan, jangan ada proyektil yang jatuh. Lalu cebky pake air kolam ikan. Saat itu satu ember air bersih begitu saya dambakan bak rembulan.

Jadi, gunakan air secukupnya. Kalau tidak mau menanam pohon, ya jangan dibuang-buang air. Paham ya?!

***