Sekantong Beras dan Sejumput Rasa Terima Kasih

Begitu Tuhan memberikan semua yang kita minta tiba-tiba kita merasa bahwa semua itu memang sudah selayaknya kita dapatkan.

Selasa, 23 Juli 2019 | 05:45 WIB
0
384
Sekantong Beras dan Sejumput Rasa Terima Kasih
Ilustrasi bersyukur (Foto: republika.co.id)

Seorang pria yang merasa hidupnya kesulitan mendatangi seorang temannya yang kaya. “Saya melihat engkau kaya raya sedangkan aku hidup dalam kesusahan. Maukah engkau memberiku sekantong beras agar aku bisa hidup dalam sebulan ini,” demikian pintanya.

“Baiklah,” kata temannya tersebut, “Ambillah di gudang sesuai dengan kebutuhanmu.”

“Terima kasih, kawan. Engkau sungguh dermawan. Engkau telah mencabut kesusahanku,” jawab si pria. Ia menjabat tangan temannya, memeluk dan menciumnya, dan pulanglah si pria ini membawa sekantong beras yang cukup untuk membuatnya makan selama sebulan.

Bulan-bulan berikutnya si pria datang lagi, ia meminta lagi sekantong beras, dan pulangnya ia sudah membawa sekantong beras untuk hidupnya sebulan itu. Seringkali ia mengambil beras lebih banyak dan memenuhi kantongnya.

Begitulah yang terjadi beberapa lama. Si pria meminta dan ia mendapatkan apa yang ia inginkan sampai suatu saat ia merasa lelah membawa kantong beras. Ia lalu berkata pada temannya, “Saya melihat engkau memiliki banyak pegawai yang kuat-kuat. Bisakah saya minta tolong salah seorang pegawaimu untuk membawakan kantong beras saya ini ke rumah. Saya sungguh lelah hari ini." Temannya mengiyakan dan si pria ini melenggang mengikuti pegawai yang membawakan kantong berasnya.

Begitulah yang terjadi berbulan-bulan sampai suatu saat si pria berkata pada temannya bahwa ia sangat sibuk untuk mengambil beras dan ia berharap temannya bisa mengirim saja beras tersebut ke rumahnya. Temannya mengiyakan dan sekantong beras dikirimkan secara rutin ke rumah pria ini. Si pria tinggal menunggu dan beras tersebut datang ke rumahnya tanpa ia perlu melakukan apa pun.

Suatu ketika pegawai yang mengantarkan kantong beras tersebut datang terlambat. Setelah berkali-kali datang terlambat si pria mulai marah dan menghardik si pegawai. “Mengapa kamu selalu terlambat akhir-akhir ini? Engkau membuat hidupku terganggu karenanya,” demikian hardiknya.

“Kami banyak pekerjaan di gudang dan banyak orang juga meminta beras seperti Anda,” jawab si pegawai.

Suatu ketika si pegawai tidak datang berhari-hari dan tidak ada kabar juga. Si pria merasa tidak tahan lagi akhirnya datang ke rumah temannya untuk menyampaikan kemarahannya atas kelalaian pegawai tersebut.

Ketika tiba di rumah temannya tersebut ia melihat banyak orang yang mengantri untuk minta beras juga. Ia terkejut melihat ini. Dengan susah payah ia menerobos dan bertemu si pegawai. “Mengapa kamu tidak mengantarkan berasku? Berhari-hari saya menunggumu.” Katanya dengan marah.

“Tidakkah Anda lihat antrian yang begitu panjang? Mereka semua juga ingin mendapatkan beras seperti Anda.” jawab si pegawai.

“Bukan urusan saya. Mana tuanmu? Saya ingin bertemu. Saya ingin agar bagian beras saya segera dikirim sekarang juga.” hardiknya. 

“Maaf, tuan kami sedang sibuk dan tidak bisa menemui Anda. Anda ingin beras…?! Jika demikian mengantrilah di belakang sebagaimana orang-orang ini,” jawab si pegawai dengan ketus. 

Demikianlah kita dalam hidup ini. Setiap hari kita mendapatkan rejeki, penghasilan rutin, kesehatan tubuh, anak dan istri yang menghibur, teman-teman yang menyenangkan, rumah yang melindungi dan memberi rasa aman bagi kita, dlsb. 

Begitu Tuhan memberikan semua yang kita minta tiba-tiba kita merasa bahwa semua itu memang sudah selayaknya kita dapatkan. Kita menggerutu dan marah dalam hati jika kita tidak mendapatkan posisi pekerjaan yang kita inginkan, bonus yang kita harapkan, penghasilan tambahan yang kita dambakan, dll.

Kita tidak lagi bersyukur atas istri, anak, rumah, kendaraan yang kita pakai, teman yang menghibur kita sesekali. Semuanya terasa seperti sudah selayaknya kita terima dan kita marah jika semuanya tidak lagi seperti yang kita inginkan semula.

Dulu kita meminta dengan penuh harap pada Tuhan untuk mendapatkan pekerjaan, istri, anak, rumah, bonus, kendaraan, dan semua kebutuhan kita. Kita dulu sangat bersyukur mendapatkan pekerjaan yang kita miliki dan dengan riang gembira berangkat bekerja.

Kini kita merasa itu sebagai beban dan setiap hari mengutuki kewajiban untuk bangun pagi dan berangkat bekerja.

Dulu kita merasa mendapatkan karunia yang luar biasa ketika lamaran pada istri kita diterima dan kita menikmati bulan madu yang bak di sorga rasanya.

Kini kita memandang dengan sebal istri kita yang mendengkur keras dalam tidurnya berbalutkan daster tua bulukan yang begitu ia suka padahal sangat kita benci.

Dulu dunia serasa sorga ketika kita mendapatkan anak yang begitu kita dambakan. Bertahun-tahun kita menikmati setiap langkah dan kata-katanya yang begitu lucu meski terbata-bata. Tapi kini mereka menjelma menjadi monster pemberontak yang bahkan tidak lagi menatap mata kita ketika kita berbicara padanya. 

Mungkin sudah saatnya kita diminta untuk mengantri beras dengan bersusah payah di bawah terik matahari dan berpeluh agar kita bisa kembali bersyukur mendapatkan sekantong beras agar bisa hidup untuk sebulan ini.

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu mengumumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’” (QS. Ibrahim: 7).

Surabaya, 2 Juli 2019

***