Sikap Sombong Ketika (Merasa) Menyampaikan Perintah Tuhan

Sikap menghakimi tidak selalu dengan omongan. Tatapan mata saja kadang sudah terbaca. Menyampaikan kebenaran dari apa yang kita yakini tentu saja boleh. Lakukanlah dengan hikmat.

Jumat, 23 Agustus 2019 | 10:03 WIB
0
547
Sikap Sombong Ketika (Merasa) Menyampaikan Perintah Tuhan
Ilustrasi Jesus (Foto: Sunday Post)

Saya teringat diri saya ketika berusia 20 an. Saat itu saya sangat “bersemangat” dalam beragama. Ada teman yang jarang ke gereja, saya dekati, saya ajak ke gereja. Dan kalau ada teman yang mempertanyakan iman saya, maka saya sangat siap menjawab dan menjelaskan iman saya, kalau perlu dengan berdebat.

Teman dekat saya baca buku yang saya rasa “menyimpang” dari iman yang benar, maka saya siap memberi tahu dia bahwa apa yang dia baca itu sesat, lengkap beserta dalil–dalil dari Alkitab yang saya punya. Teman–teman di kantor, kalau punya koleksi video porno pun berusaha menyembunyikan dari saya, kecuali mereka ingin dapat tatapan “penuh penghakiman” dari saya.

Saat itu, saya merasa yakin dengan sikap saya karena saya merasa sedang menyampaikan kebenaran. Tidak urusan orang mau mikir apa, pokoknya itu ajaran di agama saya! Pokoknya di Alkitab tertulis begitu! Jangankan sama yang beda agama… dengan teman yang seagama, tapi beda penafsiran ayat saja saya tidak ada ampun.

Dan apakah saya sendirian? TIDAK!

Saya juga mengamati sikap–sikap serupa ini dalam perdebatan–perdebatan di Facebook, misalnya tentang topik-topik yang debatable dalam kekristenan. Misal tentang KDRT dan perceraian, tentang sikap terhadap LGBT, tentang pendeta perempuan atau pertentangan antara Katholik dan Protestan. Ini juga terlihat di perdebatan mengenai agama lain.

Orang kalau sudah bilang “pokoknya TUHAN bilang begitu”, bakalan merasa sudah di atas semuanya. Jangankan minta maaf kalau ada kata–kata yang kurang berkenan dalam menyampaikan “kebenaran”, yang ada malah makian–makian kasar tanpa rasa bersalah. Pokoknya tafsiran sayalah yang paling benar!

Entah ya, apakah ketika seseorang itu “dekat” dengan TUHAN, lalu merasa sudah mengetahui “kebenaran” maka dia merasa dirinya lebih tinggi dari manusia lainnya? Apakah karena merasa bahwa keyakinannya itu berasal dari “TUHAN” sehingga ia merasa dapat lisensi dari surga untuk bertindak arogan?

Ya kita semua pasti meyakini bahwa tidak ada yang lebih berkuasa dari TUHAN di alam semesta ini. Tapi apa ya begitu caranya? Seakan–akan sudah mengangkat diri sebagai “wakil TUHAN” di dunia ini. Pokoknya, perintah TUHAN yang benar itu yang versi saya! Kalau kamu tidak mau dengar versi saya, maka kamu melawan TUHAN! Jadi sebenarnya, siapa TUHAN siapa manusia di sini?

Hal lain untuk dipikirkan adalah… apakah penyampaian “kebenaran”dengan arogan ini efektif?  Setahu saya, orang lebih memperhatikan apa yang kita lakukan daripada yang kita katakan.

Mengapa di banyak negara, orang agamis kena bully? Kadang–kadang (tidak selalu), karena orang-orang agamis ini tidak bijaksana dalam menyampaikan “kebenaran”, atau tanpa sadar “bersikap” menghakimi kelakuan yang lain, yang dianggap melakukan dosa itu.

Sikap menghakimi tidak selalu dengan omongan. Tatapan mata saja kadang sudah terbaca. Menyampaikan kebenaran dari apa yang kita yakini tentu saja boleh. Tapi lakukanlah dengan hikmat dan dengan lemah lembut.

***