Ketika Ruh Media Mendua

Kamis, 21 Maret 2019 | 22:46 WIB
0
667
Ketika Ruh Media Mendua
Ilustrasi media (Foto: Kompas.com)

Dari sejak kelahirannya pada tahun 1615, atas prakarsa Jan Pieterzoon Coen dan menjadi jenderal VOC pada tahun 1619, dia kemudian resmi me-launching koran bertuliskan tangan yang kebanyakan untuk kepentingan Hindia Belanda. Berkembang dan menjadi media dengan cetakan mesin Tahun 1688. Dia juga jenderal VOC yang membantai ribuan warga Banda yang nyaris tak bersisa.

Perjalannya begitu panjang, sampai zaman otoriter Orba, di mana akhirnya pers di kontrol pemerintah di bawah koordinasi Menteri Penerangan, dan sebelumnya ada 4 media di bredel, di antaranya Majalah Tempo. Baru di era Habibie ruh pers kembali ke raganya dan berkembang, sesuai kaidah kebebasan pers. Sayang belakangan "rada kebablasan".

Dimulai aksi nyata TVOne dengan program ILC yang di komandani wartawan senior Karni Ilyas. Mulanya acaranya mengasikkan untuk ditonton. Di tengah perjalanan, jadi gak karu-karuan.

Kita mulai sadar bahwa owner TVOne adalah Aburizal Bakrie (ARB) yang terduduk sejak kekalahan Prabowo Subianto (PS) dalam Pilpres 2014. Biasanya pers selalu dikatakan sebagai penyeimbang dan harus netral. Kenetralan TVOne dengan mengumpulkan orang-orang bermulut kasar dan menyerang pribadi-pribadi, mengolok-olok dgn sengaja, membiarkan Rocky Gerung dkk sebagai dosen tetap filsafat TVOne dgn ilmu ala iblis yang dinarasikan dengan putaran yang sulit dipahami, kecuali kalimat "dungu" dan sejenisnya yang selalu disemburkanmenyerang pemerintah dan siapa saja yang tidak sepemahaman dengan dirinya. Ini yang disebut kenetralan versi TVOne.

Dalam kegiatan pers ada Etika Pers, adalah filsafat di bidang moral pers, bidang yang mengenal kewajiban-kewajiban pers. Apa yang disebut pers yang baik dan pers yang buruk, pers yang benar dan salah, pers yang tepat dan tidak tepat.

Etika Pers juga mengatur tingkah laku pers, atau dgn kata lain etika pers juga berbicara ttg apa yang seharusnya dilakukan oleh orang-orang yang terlibat dlm kegiatan pers. Sumber etika pers adalah kesadaran moral, yaitu pengetahuan tentang baik dan buruk, benar dan salah, tepat dan tidak tepat, bagi pelaku yang terlibat dalam kegiatan pers.

Pertanyaannya apakah Karni Ilyas mengerti tentang itu, atau dia sudah lupa, atau ada pengertian lain yang kita perlu belajar dari dia. Setahu yang saya amati, Karni Ilyas hanya mengatur ritme orang berdebat dengan isi kepala masing-masing. Dengan pongah dan gaya tangan dimasukkan ke kantong celananya, dia berjalan memutar di kerajaan ILC yang seolah tak terjamah oleh siapa saja, dan sesukanya menjadi peternakan caci maki. Karni berlindung pada UU kebebasan pers, tapi dia lupa membaca ada moral pers yang seharusnya dia jaga.

Kita lupakan Karni, sekarang ada KompasTV,  Ninuk sebagai Pemred Harian Kompas. Saya dikhabari teman-teman, bahwa KompasTV, dengan Rosiana Silalahi mulai mengusili pemerintah.

Saya berpikir positif, tidak apa-apa untuk control and balance. Dan saya sempatkan menonton ujung wawancara Rosiana dengan Sri Mulyani, di mana beberapa pertanyaan memojokkan dia arahkan, untung Sri Mulyani bukan Neno Warisman, apa saja pertanyaan mengenai keuangan dan pembangunan memang makanan sehari-harinya. Sampai disesi akhir, dia menohok Rosiana dengan pertanyaan ; Rosiana belum menjawab pertanyaan saya, dan raut wajah Rosalina bak buah saga merah.

Akhir minggu ini kita dihentakkan dengan hasil survey Litbang Kompas tentang elektabilitas capres. Litbang Kompas adalah salah satu yang kredibel dalam survey men-survey. Kenapa mereka tidak hadir dalam release 9 lembaga survey yang semuanya menghadirkan angka kemenangan Jokowi dengan rentang 54-59 %, dan Prabowo 29-34%?

Kemudian ada angka survey tandingan dari internal Gerindra dgn angka 54% Prabowo unggul dari Jokowi, seminggu kemudian angka Litbang Kompas keluar dgn 49,7%. Dari yang awam sampai Denny JA menanyakan metode survey yang dilakukan Litbang Kompas dengan beberapa kejanggalan yang semestinya bukan kelas Kompas melakukan kerjaan culas.

Menarik benang merah dari kejadian yang berurutan, memang wajar kita mempertanyakan geliat Kompas yang kurang pas. Bermula dari tiba-tiba Kompas "mengusili" pemerintah dengan pertanyaan yang tak biasa. Kemudian kedekatan Ninuk Mardiana Pambudy sang Pemred dengan Bianti kakak Prabowo, dan suami Ninuk sebagai orang HKTI versi Prabowo / Gerindra, kemudian ada kelainan angka anomali survey elektabilitas yang seolah melegitimasi angka survey internal Gerindra. Apakah ini sebagai paradoks? Kita belum menemukan jawabannya.

Permainan ini mudah dibaca, walau harus ada pembuktiannya. Litbang Kompas yang kredibel bisa dipakai alat penguat akan hal-hal yang tak lazim, sayangnya Kompas akan berhadapan dgn 9 lembaga survey yang tidak abal-abal. Mereka akan menguji metodologi yang dipakai Litbang Kompas. Kalau mereka nekad, maka akan terjadi argumentasi 9 lawan 1. Jadi jangan mengirim Rosiana untuk mewawancarai Sri Mulyani, nanti bisa ganti pempers 5 kali.

Akhlak, itu kata kunci di manapun dia diletakkan, dia akan terpuji atau sebaliknya. Apa saja bisa berubah bila ruh kebenaran sudah dikesampingkan. Prilaku menjadi liar sesuai nalar yang keluar dari dasar pikiran yang lepas dari ujud kebenaran. Apakah sekarang, kelak, dan diujung waktu media masih menjadi dirinya, atau alat yang mendua sesuai kepentingannya, atau besar kecilnya bayaran yang diterima?

Semoga Indonesia akan baik-baik saja, karena masih ada 9 lembaga yang bekerja sesuai ruhnya, sementara dua media yang mulanya kita anggap profesional sekarang sudah menjadi "nakal" dan "binal".

Kita pernah mendengar kelakar, kalau mau berkuasa maka kuasai media. Apakah ini sedang berlaku di depan mata kita, wallahu a'lam, tapi memang sudah terasa kehadirannya. Hanya satu penangkalnya, rakyat tidak buta kepada media yang bermuka dua.

Media harus ada untuk Indonesia, dan Indonesia harus dijaga oleh media, bukan malah dirusak karena kepentingan golongan yang jauh dari kebenaran.

Indonesia akan jaya dengan independensi media.

***