Media ‘mainstream’ kita, sebagiannya, telah terjebak pada praktik praktik jurnalistik jahat yang secara kasat mata membodohi masyarakat.
Sebenarnya saya sedih setiap kali membaca postingan di grup WA atau laman berita terkait bangkrutnya media besar dan kredibel, dimana satu per satu mengurangi jumlah awaknya, memberhentikan reporter dan wartawannya, memutus kontrak pekerjanya, bahkan mengakhiri tugas pemrednya. Apalagi jika yang kena PHK, masih muda, sedang bersemangat menyebarkan berita, mendalami jurnalisme. Saya sungguh sedih.
Tapi kadang saya geram juga dengan media yang sibuk menebarkan narasi kenegatifan, pesimisme dan memutar balikkan fakta, jadi partisan, membuat framing jahat - menebar sensasi - yang justru dilakukan oleh media bermodal besar dan skala nasional. Sehingga - sebagai konsumen - saya justru berteriak kesal: “semoga brangkut!” atau “media model gini bagusnya tutup saja. Menyesatkan!”
Sebelum saya menulis dan menurunkan berita, saya adalah pembaca, pengumpul informasi. Saya juga bagian dari konsumen berita, penonton dan pemantau berita. Pemilah berita juga - karena sebagiannya informasi sampah. Bahkan racun yang membahayakan masyarakat.
Jangan pernah lupa - bahwa wartawan, jurnalis, pengamat juga manusia. Mereka bisa baik atau jahat, bisa tulus atau dengki, bisa gigih berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan. Atau sebaliknya, membuka tangan untuk menyalurkan narasi kelompok kepentingan, memenuhi pesanan pihak lain, bahkan jadi proxy kekuatan asing - dengan menebar sensasi - tak peduli betapa resah warga dan masyarakat dibuatnya.
Saya ikut sedih melihat presenter yang berurai airmata karena program tayangannya berakhir setelah bertahun tahun hadir di tengah pemirsa.
Dan itu tayangan olahraga yang menghibur masyarakat dan mencerahkan. Sementara itu, program berita “talkshow” yang hanya menjual sensasi, mengunyah nguyah isu basi, memamah biak, mengulang ulang bahasan dan topik yang sama, dengan narasi tendensius, sengaja merusak kehormatan orang lain - sehingga masyarakat percaya kepada tudingan yang sebelumnya diawali kata kata “patut diduga” - justru terus tayang bertahan hingga kini.
Mereka tidak melayani masyoritas warga yang ingin damai, waras dan mencari informasi yang benar - adil - benar, berdasar fakta dan data. Melainkan berpihak pada kelompok kecewa, pendukung partai kalah yang tidak mau menerima kekalahan, politisi yang sakit hati, kaum pecatan. Berpihak kepada warga yang gemar konflik dan mengumbar kebencian.
SEBAGAI awak media - sebagai orang dapur di ruang redaksi - saya bocorkan saja sisi jahat dalam jurnalistik dan jurnalisme. Sisi jahat redaktur media di balik meja redaksi, pada rapat budget berita - hingga penugasan reporter di lapangan: Mereka biasa membuat ‘framing’, menyimpulkan berita sebelum cek ke lapangan dan mengkonfirmasi narasumber lemah sekadar syarat konfirmasi - memenuhi kaidah ‘cover both side’ dan basa basi - ala kadarnya.
Mereka bias - tidak independen - cenderung buruk sangka - dan suka sensasi. Mereka sudah mengambil kesimpulan dan menulis judul berita dan acara - bahkan sebelum mengumpulkan informasi lengkap. Tidak bersikap adil.
Contoh : jika negara memberi makan gratis 1.000 anak, tapi 5 penerima paket makan basi lauk pauknya, maka fokus ekspose dan pemberitaan diarahkan pada kasus makanan basi itu, bukan program makan gratisnya. Lalu memelintir isu hidangan yang basi sebegitu rupa - menjadikannya bahasan di program ‘talkshow’ - mencari narasumber yang menolak dan antipati - untuk menghakimi dan mengambil kesimpulan program itu gagal, cacad, dan tak layak diteruskan. Setelah itu ditayangkan berulang ulang, sampai publik berkesimpulan bahwa program itu gagal dan tidak layak mendapat dukungan .
Begitu juga dengan isu ijazah palsu. Hanya bermodal analisa dari fotokopi hasil postingan media sosial - lalu dicarikan narasumber yang mengekspos sisi sensasinya berulang ulang - berdalih “penelitian ilmiah” dari “pakar informatika”, “ahli forensik” dan imajinasi pemalsuan skripsi dan melebar kemana mana.
Mereka menyamakan kegiatan pendidikan dengan kasus penyimpangan. Melindungi HAM pelaku kejahatan, anak usia sekolah yang enggan belajar dan tawuran yang memegang senjata tajam yang mengerikan di jalanan. Mempertimbangkan “kenyamanan” mereka, HAM mereka merujuk pada teori pendidikan yang ideal, wacana, konsep yang melambung tanpa solusi, yang hanya berhenti pada narasi narasi kosong. Mengabaikan para orangtua yang sudah putus asa dan menyerah -
Media cenderung memberi tempat kepada pengamat yang kontra dari isu besar seolah sama besar dengan mayoritas diam yang pro - seolah sama kuat dan sama sama pentingnya.
Sensasi itu sebenarnya padam sendiri jika media ‘mainstream’ tidak memberitakan dan menganggap isu tidak penting. Masalahnya - media kredibel sengaja menayangkan dan membesarkannya. Mem-blow-up-nya sebagai ‘angel’ informasi yang berbeda.
RUMUS media klasik memang sederhana dan sampai kini terus diterapkan : “Bad News is Good News”. Bahwa “anjing menggigit manusia bukan berita. Manusia menggigit anjing lah yang berita”. Kebenaran dari pemerintah dan negara bukan berita. Oposisi yang mengamuk lah yang menjadi berita - aspirasi kaum sakit hatilah yang harus diberitakan. Mereka sengaja mendatangkan orang orang yang tidak kredibel sebagai “pengamat” - “pakar” tanpa menguji kepakarannya.
Media ‘mainstream’ kita, sebagiannya, telah terjebak pada praktik praktik jurnalistik jahat - yang secara kasat mata membodohi masyarakat.
Dengan berita hasil memamah biak, mengunyah nguyah isu basi, dan menyajikannya berulang ulang di medianya - karena ada konsumennya, yang rakus dan menelannya mentah mentah sebagai kebenaran. Meski mengandung racun yang merusak pikiran.
Barangkali itulah kiat media masa yang tersisa kini untuk bertahan hidup. Demi iklan, demi sponsor dari pihak dan kelompok kepentingan. Dengan cara merusak otak pemirsa, warga masyarakat yang kecanduan berita sensasi.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews