Perkumpulan Anak Luar Nikah

Seperti kisah di novel ini, Tionghoa kalau bikin salah, bisa kemana – mana konsekwensinya. Endingnya menarik, bahwa bagi Tionghoa mencintai Indonesia itu dengan sikap hati–hati (caustiously).

Rabu, 6 September 2023 | 07:49 WIB
0
326
Perkumpulan Anak Luar Nikah
Ilustrasi bayi (Foto: popmama.com)

“Anak luar nikah” yang dimaksud dalam novel ini bukanlah anak “non-halal” atau anak yang lahir dari hubungan terlarang. Yang dimaksud ialah sebuah “label” yang harus ditanggung oleh banyak Tionghoa akibat kebijakan Pemerintah Indonesia.

Ada 2 alasan utama mengapa saya sangat bersuka cita ketika mendapatkan novel ini dari penulisnya, Grace Suryani Halim. Yang pertama, karena pengalaman hidup saya sendiri, di mana saya adalah korban langsung dari kebijakan tersebut, yang kedua karena riset S3 saya. Di luar alasan tersebut, novel ini ditulis dengan sangat indah, kaya dan juga lucu.

Saya hampir tidak bisa berhenti membaca buku ini saking menariknya. Kebetulan saya kurang lebih seumuran dengan penulis, sehingga ada banyak detail kisahnya yang mengingatkan saya akan hidup saya sendiri, misal tren pesta sweet seventeen an, lagu2 backstreet boys, dll. Zaman SMA banget… 

Tema utama dari novel ini ialah mengenai status kewarganegaraan Tionghoa di Indonesia dan eksploitasi SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia). Saya tidak ingin spoiler, karena itu tema utamanya. Jadi saya sedikit cerita tentang pengalaman hidup saya terkait ini.

Kisah dari tokoh Martha dalam novel ini BEDA, tapi sumber masalahnya sama. 20 tahun pertama hidup saya, saya ini stateless. Saya tidak diakui sebagai WNI, karena Papah saya juga stateless. 

Ketika tokoh Martha berkata día kepepet memalsukan dokumen demi beasiswanya, saya paham sekali. I feel that way too. Pertama kali saya kena masalah gara – gara SBKRI adalah ketika hendak mendaftar UMPTN tahun 2001 alias setelah reformasi!

Bagi seorang Tionghoa ekonomi pas pasan, yang kenyang dihina oleh Tionghoa lainnya, jalan keluar satu – satunya adalah harus bisa masuk PTN, yang murah tapi bagus mutunya. Alangkah lucunya ketika hendak ikut testnya saya dituntut menunjukkan SBKRI yang untuk mendapatkannya, seorang Tionghoa diperas belasan hingga puluhan juta. Mana sanggup orang tua saya?

Karena terpojok, saat itu saya menggunakan jurus argue dan ngeyel, memaksa Mbaknya di loket untuk mau menerima dokumen SBKRI Mamah saya sebagai syarat. Mamah saya punya SBKRI karena berasal dari keluarga cukup berada. Tapi itu artinya.. saya ngaku cuma “anak Mamah” (secara ga langsung anak luar nikah juga). Untung Mbaknya baik hati, akhirnya día mengizinkan saya daftar jadi peserta UMPTN. Tapi jurus tersebut tidak mempan ketika saya butuh Passport.

Tahun 2004, saya butuh Passport untuk KKL ke Singapura. Karena saya memang tidak punya SBKRI dan ditolak oleh petugas imigrasi Wonosobo, maka saya pergi kedua kalinya ke kantor imigrasi bersama Papah saya.

Waktu itu Papah saya berbicara langsung ke petugasnya, bahwa beliau adalah anak luar nikah. Sehingga sebagai anak luar nikah, bisa mewarisi citizenship dari Ibunya (Emak saya).

Saya terharu, Papah saya sampai ngaku begitu demi anaknya dapat Passport dan diakui sebagai WNI. Saya dapat surat resmi dari Kemenkumham yang menyatakan Kezia Dewi sebagai Warganegara Indonesia baru tahun itu.

Karena pengalaman itulah, saya sangat mendukung ditulisnya novel ini, agar supaya masyarakat Indonesia tahu betapa sulitnya hidup jadi Tionghoa di Indonesia. Yang dilihat jangan Tionghoa pasti kaya. Trus kalau kaya boleh diperas?

Saya sendiri jarang membahas pengalaman tersebut di Indonesia. Saya baru berkicau panjang lebar soal ini setelah berada di Eropa, ya di kampus, di kegiatan volunteer, di European Commission kemarin. Di Eropa, issue mengenai “undocumented person” jadi perhatian serius.

Selain tema utamanya, novel ini dengan sangat menarik membahas isu – isu lain juga. Dari perbedaan kehidupan Tionghoa kaya dan miskin, Tionghoa peranakan, Holland Spreken dan Singkek, lalu pola pikir bisnis ala Tionghoa, hingga menyoroti iklim politik di Indonesia.

Ketika novelnya dibaca di saat – saat menjelang pemilu begini, apalagi kemarin ada huru – hara “pengkhianatan”, jadi terasa sangat relevant. Betapa bobroknya situasi politik di Indonesia itu, dimana rakyat Indonesia begitu gampang dibodoh – bodohi politikus dengan isu – isu tidak penting. Dan keren sekali ketika novel ini, menyinggung soal politik, ditulis oleh seorang penulis Tionghoa yang dididik untuk selalu diam dan tidak ikut – ikut politik. Well done! Goed gedaan!

Ada satu isu lagi yang juga dibahas dan menarik perhatian saya, yaitu mengenai aktivitas yang membuat tokoh Martha merasa “hidup”, bukan hanya dikenal sebagai istri si A atau ibu si B. Mungkin ini tidak banyak diketahui orang, tapi terkait dengan budaya Tionghoa, saya pernah baca buku antropolog Singapura tentang karakter Tionghoa.

Ada 1 sumber lagi soal ini yang saya lupa. Yang jelas, meskipun orang – orang Tionghoa memandang penting pendidikan, dan mengirim anak – anak perempuannya sekolah tinggi, tapi kecerdasan dan pendidikan anak perempuan lebih diarahkan untuk nantinya digunakan membantu – bantu suami.

Wanita Tionghoa, dipandang terhormat ketika dikenal sebagai nyonya tuan anu, istri profesor itu, istri dokter ini, atau istri insinyur anu, dan bukan sebagai peneliti terkenal pemegang hak patent atau wanita yang memimpin pemberdayaan masyarakat. Ya memang aspirasinya terhadap anak perempuan (cuma) segitu… 

Zaman sudah berubah.. di mainland China pun saya rasa tidak begitu konsepnya sekarang. Tapi di generasi saya masih ada saya lihat beberapa pemikiran semacam itu. Ini BUKAN tentang benar salah ya… ini soal pilihan hidup. Tapi justru di novel ini, saya melihat penulis dengan sangat lihai menggambarkan bagaimana wanita cerdas berpendidikan tinggi yang memilih membaktikan diri untuk keluarganya juga bisa punya aktivitas yang berguna bagi masyarakat. 

Yang terakhir, refleksi setelah membaca novel ini. Well, saya ga pernah mengclaim kalau cinta banget sama Indonesia ya… Karena perasaan saya lebih mixed. Betul kalau Tionghoa menghadapi diskriminasi dan hidupnya dibayang – bayangi kerusuhan. Tapi saya juga punya teman – teman yang tidak membeda – bedakan saya, melindungi di masa – masa Mei 1998, dan hingga sekarang siap sedia membantu bilamana saya menghadapi masalah dengan birokrasi Indonesia. Yang jelas saya peduli pada Indonesia.

Sayangnya ketika menyampaikan kritikan – kritikan (yang sebetulnya berisi harapan agar Indonesia jadi lebih baik), selalu ada orang yang tidak terima. Kelompok pribumi ada yang seakan berharap Tionghoa untuk senantiasa diam, biarpun didiskriminasi, harus ngomong yang baik – baik saja tentang Indonesia. Bahkan di tengah diaspora Indonesia di Eropa pun ada yang mikirnya gitu.

Seperti kisah di novel ini, Tionghoa kalau bikin salah, bisa kemana – mana konsekwensinya. Endingnya menarik, bahwa bagi Tionghoa mencintai Indonesia itu dengan sikap hati – hati (caustiously).

***