Kerja

Petiklah pesan Toffler sebagai peramal masa depan, apakah pekerjaan (job) itu sebuah anakronisme? “Temukan dan kembangkan sektor jasa — suatu lapangan kerja pokok yang baru, serta sebuah kunci untuk penyerapan tenaga kerja masa depan.

Minggu, 28 Agustus 2022 | 08:48 WIB
0
102
Kerja
Kerja (Foto: amorpost.com)

“I am a greater believer in luck, and I find the harder I work the more I have of it” (Thomas Jefferson,1743-1826).

Tak ada satu makhluk pun di dunia ini tanpa memiliki kerja. Sebagai jenis aktivitas alamiah, kerja merupakan proses kehidupan eksistensial dan otentik. Tanpa kerja tak ada hidup dan kebudayaan. Kerja dengan sendirinya mengaktifkan kebudayaan. Dengan kata lain, kerja adalah bagian utama dan penting dalam evolusi kebudayaan manusia dan alam.

Dalam sejarah alam dan antropologi, istilah kerja telah menempatkan alam dan manusia berproses dan berinteraksi. Karena itu, ekonom pencetus teori “small is beautiful”, E. F. Schumacher(1911-1977) kelahiran Jerman, menuliskan perspektif filsafat kerja dalam bukunya yang lain, “Goodwork” (1979).

Hidup dalam abad-20, bagi Schumacher, adalah hidup dengan adaptasi yang sesuai struktur masyarakat industri dan teknologi. Ada tiga hal utama untuk beradaptasi dengan tekno-struktur masyarakat industri. Masyarakat yang sangat dikejutkan oleh kehandalan sains dan teknologi.

Ketiga hal utama yang dimaksud dalam memahami “goodwork” meliputi kompetensi (skill), koherensi (kedekatan) dan pemenuhan konsumsi standar proporsional yang produktif.

Teori filsafat kerja Schumacher, meski tampak utopis, memiliki fondasi ideal dalam mengekspresikan kegagapan kita yang “unskill” terhadap gempuran sekaligus gembosan masyarakat industrial yang hidup dalam “satu dimensi” Herbert Marcuse.

Bahkan struktur masyarakat “satu dimensi” telah dikulik oleh ahli filsafat kerja teknologi, Jacques Ellul (1912-1994) dalam “The Technological Society” (1954) sebagai resiko tak terhindarkan.

Karena itu, merefleksikan kembali disrupsi atas krisis filsafat kerja yang sejak era merkantelis hingga kapitalistik dewasa ini, mau tak mau harus ditilik berulang-ulang pada teori ahli futurologi, Alvin Toffler(1928-2016) dalam “The Adaptive Corporation” (1985) dan “Previews and Premises” (1983), khususnya pada bagian “masa depan pekerjaan” (the future of work). 

Apa yang menarik untuk direnungkan pada krisis yang terus berulang pada dunia kerja?

Petiklah pesan Toffler sebagai peramal masa depan, apakah pekerjaan (job) itu sebuah anakronisme? “Temukan dan kembangkan sektor jasa — suatu lapangan kerja pokok yang baru, serta sebuah kunci untuk penyerapan tenaga kerja masa depan.

Fokuskan perhatian pada masalah kemanusiaan, usia lanjut (lansia), kesehatan, kesepian, dan perawatan anak. Latihan, sekali lagi latihan. Sebenarnya, latihan itu sendiri menjadi penyerap tenaga kerja, serta menjadi konsumen raksasa…”

Agaknya, bersama Schumacher, Marcuse, Ellul dan Toffler — dari masa lalu ke masa depan — hendaklah kerja dari dunia aplikasi dan adaptif dapat diteruskan hanya dengan melatih terus pikiran dan jari-jemari anda di atas alat penekan (tuts) dan layar digital.

Gambar itu, lebih hidup dengan adagium John Naisbitt (1929-2021), pencetus megatren dan paradoks global, kerja itu “high tech-high touch.” Ya. Tuhan itu Mahatinggi, Mahahalus dan Mahateliti. Dan tentu, Mahakerja (Hayyu-Qayyum).

ReO Filsawan