Pembaca media online kita, tentu berbeda dengan mereka yang dengan sadar memilih novel ‘Para Priyayi’ Umar Kayam, untuk memahami suatu masalah yang tak sederhana.
Kalau masyarakat disadarkan (baca: dipaksa) menjalani pola hidup baru (akibat kekalahan sementara atas coronavirus), apakah media juga ikut (dipaksa) berubah? Mungkin nggak ada yang berani maksa. Apalagi sekarang ada LBH Pers, bisa panjang urusannya.
Tapi disini saya jembarkan istilah jurnalisme sebagai ‘media informasi dan komunikasi’ kita, baik konvensional, komersial, medsos, mainstream, maupun pemakai web atau blog gratisan, dan tak menyertakan identitas mereka; sebagai fakta media kita hari ini.
Saya ingat postingan (atau komentar) Pepih Nugraha, yang mengingatkan teman-teman sekantornya dulu; Bagaimana agar tetap survive, ketika media massa kini mesti berhadapan dengan medsos. Saya meyakini, media massa yang disebut mainstream (seperti Kompas, Tempo, JPNN, dan sebagainya) itu, pada akhirnya bukan. Lebih cocok disebut media konvensional, yang coba bertahan, dan tak mudah beradaptasi. Bentuk mungkin sudah, namun karakter media masih jadi persoalan.
Bahkan, jika dianggap kecelakaan, transisi media konvensional justeru jadi pengikut arus dominan. Pola-pola penyajian berita, bukan lagi dibangun dengan inter-subjektivitas. Cover tabloid Koran Tempo (yang menyorot kebebasan akademik), terasa minor karena informasi sepihak dan tak kompehensif. Soal ‘ancaman teror’ yang masih sumir, dijadikan dasar konklusi, bahwa pemerintah anti kritik dan mengarah ke represi. Dari mana kesimpulan itu, ketika tak didapati sumber informasinya, dalam batang-tubuh pemberitaan?
Padal, konon fakta adalah suci. Tapi fakta tanpa data, bukannya suci melainkan sunyi. Dan cenderung halu.
Dalam kasus lain, sebuah media online menulis judul cukup provokatif; Din mendesak pemerintah menjelaskan penundaan pemberangkatan Jemaah haji tahun ini. Impresi yang muncul dari judul, melihat latar belakang Din, mengesankan Din bertentangan dengan pemerintah. Sementara isi berita, tak ada yang ajaib. Sesuatu yang wajar, normative. Media justeru memframing berita karena meniru pola-pola media online dalam menjaring clickbait.
Sama sekali tak menyadari, bagaimana hal itu dipersepsi dan diresepsi dalam perspektif masyarakat yang gegar informasi, selepas cengkeraman Orde Soeharto 1998. Masa emas reformasi lewat tanpa bekas berarti, baik dari kalangan politik, agama, pendidikan, dan pers.
Kecenderungan baru media online yang dilakukan media cetak itu, justeru jadi follower trend media online sebelumnya. Memecah file berita sepotong-sepotong, sementara kebiasaan menautkan berita satu dengan lainnya belum tumbuh menjadi kesadaran baru. Hal itu merugikan niat baik interkoneksivitas informasi, sebagai arsitektur untuk membangun fakta secara lebih lengkap. Apalagi jika bangunan itu dihancurkan dengan kebiasaan screenshots atau hanya mengopi judul.
Pembaca media online kita, tentu berbeda dengan mereka yang dengan sadar memilih novel ‘Para Priyayi’ Umar Kayam, untuk memahami suatu masalah yang tak sederhana. Yang kini lebih banyak bersembunyi di balik pernyataan, daripada kenyataan. Di situ media bukan lagi jadi alat kontrol sosial.
@sunardianwirodono
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews