Seksi. Iya. Isu yang seksi. Coronavirus berhasil meruntuhkan semua pondasi yang dimiliki manusia. Bukan hanya ekonomi, politik dan budaya, agama juga ikut glelelep menghadapi Coronavirus yang membanjiri seluruh dunia.
Well, apakah semua pondasi yang dibangun manusia bisa runtuh begitu saja oleh sebuah virus yang kasap mata itu?
Dalam bahasa filsafat, pondasi yang dibangun manusia berasal dari semangat aufklarung, sekularisasi dan renaisans yang kemudian melahirkan revolusi industri dan revolusi-revolusi yang lain. Manusia berhasil membangun demokrasi sebagai ujung tombak kemajuan dan perkembangan. Tapi benarkah semua itu tak bisa bertahan hari ini, melawan Coronavirus yang juga lahir dari semangat pencerahan manusia itu?
Hem. Pembahasan kali ini agak berat bagi kalangan non akademik. Apalagi pembaca Terminal Mojok yang menganggap akademik itu gak penting, etdah, gak bakalan mudeng.
Sebenarnya menarik untuk mendalami dunia filsafat dan bagaimana perkembangannya sampai muncul bencana Coronavirus seperti ini. Tapiii.. lain kali saja dechh ~
Corona dengan segala kemahadahsyatannya punya kemiripan yang sangat dengan suatu penyakit di zaman Majapahit. Sok ngerti dechh ~
Dahulu kala, sebelum kalian dilahirkan, sebelum ayah-ibu kalian pacaran dan sebelum nenek-kakek kalian benar-benar tua, hiduplah seorang raja bernama Hayam Wuruk. Ia adalah Maharaja kerajaan Majapahit.
Konon katanya, menurut para tabib Maharaja Hayam Wuruk sakit karena serangan virus mematikan buatan manusia. Virus ini juga sulit terdeteksi oleh orang awam, ia kasap mata. Virus itu namanya "teluh braja". Sebuah penyakit yang dikirim oleh orang sakti mandraguna tingkat tinggi. Menurut tabib juga, ilmu teluh braja itu hanya dimiliki oleh orang langka dengan kapasitas ilmu yang tinggi. Jadi bukan sembarang orang.
Nah, tuh, mulai ngebayangin yang enggak-enggak pasti. Ingat! Maharaja tidak meninggal, tapi ia dalam kondisi sekarat. Ia hanya bisa terbaring lemah di kamar. Belum sampai meninggal loh! Jangan aneh-aneh mikirnya!
Ayok kita bandingkan dengan virus yang mematikan bernama Corona itu. Teluh braja jelas lebih mematikan daripada Coronavirus. Bisa dipastikan mematikan karena Prabu Hayam Wuruk yang punya ilmu kanuragan tinggi saja sampai dibuat sekarat. Kemudian, teluh braja tak bisa dilihat siapa pengirimnya, di mana orangnya dan seperti apa penyakitnya. Mungkin bisa, tapi oleh orang yang berilmu melebihi si pengirim teluh braja. Sementara, orang yang mengirim teluh braja juga harus berilmu tinggi.
Coronavirus ada vaksinnya. Corona Virus buatan manusia yang terlalu PE-DE dengan daya guna akalnya. Padahal akal tak selamanya benar. Akal juga butuh bimbingan hati yang punya contuinitas roh absolut. Yaitu Tuhan. Beda sekali dengan manusia di zaman dulu, hari ini manusia sama saja sampah! "Ia hanya bisa mengandalkan suplemen-suplemen!" Cak Nun.
Hingga suatu ketika Sabarang Lor diutus untuk mengambil bunga Kembang Wijaya Kusuma yang berada di suatu pulau. Kembang Wijaya Kusuma adalah azimat yang bisa mengembalikan kesehatan Prabu Hayam Wuruk dari serangan mematikan teluh braja. Kembang Wijaya Kusuma hanya mekar ketika bulan purnama setelah gerhana. Sangat sulit mencarinya jika tanpa kapasitas hati yang bersih dan linuwih.
Vaksin Kembang Wijaya Kusuma ada dua jenis: yang berjenis perempuan berguna untuk menyembuhkan sementara Vaksin Kembang Wijaya Kusuma berjenis laki-laki bisa meningkatkan stamina dan membuat prima pemiliknya.
Vaksin Corona bisa apa? Wkwk ~
Eits, maaf-maaf nih ya, bukan menghina. Vaksin Corona hari ini memang dibutuhkan segera, tapi benarkah vaksin itu akan dibuat? Vaksin hanya bisa dibuat oleh orang yang membuat virusnya. Ibarat membuat teka-teki, orang yang membuatnyalah yang tahu persis jawabannya. Yang lain hanya menerka. Vaksin Corona itu penting dan dibutuhkan: yang asli!
Kasus ini mirip dengan yang pernah terjadi di Majapahit zaman Prabu Hayam Wuruk. Tapi karena kerohanian di zaman Majapahit yang begitu kuat, mereka bisa kembali seperti sedia kala. Zaman sekarang, bukan rohani yang unggul, tapi sifat pamer (narsisme) dan matrealistik (keduniaan). Orang tak boleh sholat jum'at saja langsung hatinya keras dan hendak membunuh pefatwa. Lalu buat apa kita selama ini punya sejarah besar nan menakjubkan itu?
Vaksin Coronavirus jelas seksi, tapi ada yang sudah pernah seksi sebelumnya yaitu Vaksin Kembang Wijaya Kusuma untuk virus teluk braja.
Well, soal demokrasi atau bukan demokrasi hari ini pasti semua harus siap menerima konsekuensi. Tinggal menunggu, siapa yang mau menjadi Sabrang Lor dengan kerohanian dan akal yang seimbang dan mengambil Vaksin Kembang Wijaya Kusuma di era modern.
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews