“Jiayou, Andrà Tutto Bene”, Ketika Bencana Melanda

Kita saling menjaga jarak. Setelah ini selesai, kita bisa kembali berjabat tangan, memeluk dan mencium orang-orang tercinta dengan leluasa.

Selasa, 24 Maret 2020 | 12:03 WIB
0
296
“Jiayou, Andrà Tutto Bene”, Ketika Bencana Melanda
Rutger Bergman (Foto: thetimes.co.uk)

“Hai tetangga. Jika kamu berusia lebih dari 65 tahun, dan kekebalan tubuhmu lemah, saya ingin membantumu. Beberapa minggu ke depan, saya bisa membantumu berbelanja keluar. Jika kamu perlu bantuan, tinggalkan pesan di pintu rumahmu dengan nomor telefonmu. Bersama, kita bisa menjalani semuanya. Kamu tidak sendirian!” (dalam Bregman, 2020).

Itulah tulisan yang tertera di salah satu rumah di Jerman. Virus Korona bisa menyerang semua orang, terutama mereka yang berusia lanjut, dan lemah kekebalan tubuhnya. Memang, setiap bencana datang, manusia selalu berpegangan tangan. Mereka bersatu. Mereka saling membantu.

Begitu banyak bukti akan hal ini. Penelitian ilmiah juga telah banyak dilakukan. Sayangnya, kita kerap lupa. Namun, ketika bencana tiba, seperti diingatkan Rutger Bregman, pemikir asal Belanda, kita perlu kembali mengingatnya.

Di Belakang Orang-orang Brengsek

Membaca berita sekarang membuat pusing kepala. Apalagi, jika kita menonton televisi. Hampir setiap detik, berita yang membuat cemas datang berkunjung. Jangan tanya dengan keadaan di berbagai sosial media: semua cemas dan menyebarkan kecemasan!

Berita internasional juga tak kalah mengerikan. Seorang perempuan bertengkar memperebutkan barang di supermarket Sydney, Australia. Seorang laki-laki menggunakan senjata untuk merampok kertas pembasuh pantat di Hong Kong. Menjijikan bukan?

Kita pun tergoda untuk berpikir, manusia adalah mahluk yang dangkal, bodoh, rakus dan tak ada harapan lagi untuk diselamatkan.

Namun, seperti berulang kali dinyatakan Bregman, ini pandangan yang amat sangat salah. Memang, ada orang brengsek di luar sana. Namun, di balik satu orang brengsek tersebut, ada ratusan ribu orang-orang baik yang bekerja untuk kebaikan bersama. Mereka adalah para petani, guru, dokter dan suster yang selalu berada di garis depan untuk mewujudkan kebaikan bersama.

Memang, ada orang brengsek yang hobinya mengambil untung dari bencana. Mereka adalah para penimbun keparat yang hanya berpikir soal kepentingan dirinya sendiri, sambil mengorbankan kepentingan orang lain. 

Namun, di balik mereka semua, ada ratusan ribu orang yang berusaha untuk menghentikan bencana dengan segala yang mereka bisa. Sekarang kini, akibat krisis virus Korona, orang-orang di Italia dan Cina bersatu padu menghadapi bencana.

Apa Kabar Cina dan Italia?

Di dalam karantina, orang-orang di Wuhan, Cina saling berbagi dan membantu. Mereka belajar untuk memberi dan menerima bantuan dari orang lain. “Jiayou”, begitu semboyan mereka. Artinya jangan menyerah. Di Italia, terutama di kota Siena dan Naples, orang-orang menyanyi dari jendela rumah mereka untuk saling memberikan semangat, terutama untuk orang-orang yang terkena bencana Korona.

Andrà tutto bene”, begitu kata orang-orang Italia satu sama lain. Artinya, semua akan baik-baik saja. Mereka menuliskannya di dinding-dinding kota. Di dalam bencana, mereka saling menjaga.

Memang, ada perasaan takut dan panik. Namun, itu hanya sebentar. Setelah panik berlalu, solidaritas muncul. Banyak kelompok masyarakat tercipta untuk membantu orang-orang yang membutuhkan, terutama mereka yang sakit, atau tak mampu.

Di sosial media, kata “andrà tutto bene” (semua akan baik-baik saja) juga berkumandang keras. Kata-kata itu dimulai dari seorang ibu di Puglia, lalu menyebar ke seluruh Italia. Ternyata, yang menular bukan hanya virus dan penyakit. Kebaikan, ketulusan dan solidaritas juga tersebar menular.

Bencana dan Solidaritas

Tentu saja, bagi banyak peneliti sosial, solidaritas di kala bencana adalah sesuatu yang biasa. Jutaan bencana menghantam manusia di dalam sejarah. Setiap kali, kita saling membantu dan menguatkan. Kita merapat, ketika bencana mencekik. Itulah manusia.

Ambil contoh bencana alam. Di kala bencana alam tiba, baik dalam bentuk tsunami maupun gempa bumi, berita selalu mencemaskan. Kerusuhan, kekerasan dan pencurian menerpa mereka yang terkena bencana. Namun, jika ditelaah lebih dalam, berita-berita itu hanyalah sebagian kecil dari apa yang sesungguhnya terjadi. Mereka adalah minoritas!

Bregman mengutip penelitian dari Universitas Delaware di Amerika Serikat. Lembaga yang melakukan penelitian adalah Lembaga Penelitian Bencana di universitas tersebut. Mereka telah melakukan penelitian lapangan sejak 1963 tentang berbagai bentuk bencana alam, mulai dari banjir sampai dengan gempa bumi. Ada 700 penelitian yang dikumpulkan secara detil.

Semua kesimpulannya sama, yakni di kala bencana, orang tetap tenang, dan saling membantu satu sama lain. Memang, ada ketakutan dan kekerasan. Namun, jumlahnya amat sangat kecil. Yang selalu terjadi adalah: orang saling berbagi dan menguatkan satu sama lain, ketika bencana menimpa.

Ketika kapal Titanic tenggelam, seperti diceritakan oleh salah satu penumpang yang selamat, tidak ada teriakan ketakutan. Tidak ada panik. Tidak ada kemarahan. Orang saling membantu, dan mempersiapkan diri, jika mereka memang harus mati.

Siapakah Manusia?

Melihat berita sekarang ini, kita sedih. Media terus menyajikan berita tentang betapa buruknya manusia. Orang penuh ketakutan dan curiga satu sama lain. Kerakusan berkumandang keras menutupi nurani dan ketulusan.

Kebijakan politik dan ekonomi pun sama. Semuanya dibuat dengan pengandaian dasar, bahwa manusia itu kejam dan jahat. Manusia perlu ditekan dengan kekerasan, bahkan dengan ancaman neraka. Tak heran, semua kebijakan tersebut mengarah pada satu hal: kesenjangan sosial, depresi pribadi, ketidakadilan politik maupun hukum.

Namun, dengan berkembangnya penelitian ilmiah, pandangan tentang manusia mulai berubah. Terlalu banyak data yang menyatakan, bahwa manusia itu baik pada hakekatnya. Kejahatan dan kekerasan hanyalah perkecualian di dalam sejarah. Media kerap lupa akan hal ini, karena berita baik dan indah tak laku dijual.

Krisis Korona ini bisa menjadi bukti nyata. Berapa orang yang rakus dan merusak kebaikan bersama? Berapa orang yang saling peduli, tetap tenang dan membantu satu sama lain? Lihat dengan jeli di sekitar anda.

Ketika bencana melanda, solidaritas tumbuh tercipta. Keinginan membantu berkembang. Solidaritas merebak wangi. Di hadapan semua itu, sikap rakus dan bodoh dari beberapa orang nyaris tak ada artinya.

Manusia hidup dalam hubungan dengan manusia lainnya. Dengan bekerja sama, manusia bisa mewujudkan banyak hal. Kita senang bersalaman, memeluk dan mencium orang-orang yang kita sayangi. Itulah manusia.

Namun, saat ini, itu semua harus ditunda. Kita tak saling menyentuh sejenak, supaya kita bisa saling memeluk dengan lebih akrab di kemudian hari. Begitulah kata Perdana Menteri Italia, Giuseppe Conte, ketika menanggapi bencana Korona yang menimpa Italia. Di Indonesia, kita perlu mengambil sikap serupa.

Kita saling membantu. Kita saling menguatkan, terutama mereka yang terkena dampak bencana Korona. Kita saling menjaga jarak. Setelah ini selesai, kita bisa kembali berjabat tangan, memeluk dan mencium orang-orang tercinta dengan leluasa.

Selamat menikmati jeda.

***