Catatan Kecil di Hari Sumpah Pemuda

peringatan Sumpah Pemuda akan tetap stagnan, sebatas seremonial belaka. Siap bela negara pun hanya demi mendapat kursi kekuasaan sahaja.

Selasa, 29 Oktober 2019 | 05:15 WIB
0
332
Catatan Kecil di Hari Sumpah Pemuda
Ilustrasi Sumpah Pemuda (Foto: Tirto.id)

“Jangan Tanyakan Apa yang Negara Berikan Padamu, Tapi Tanyakan Apa yang Telah Kamu Berikan pada Negaramu.”

Dewasa ini, tampaknya ungkapan yang pernah dilontarkan Presiden AS mendiang John F. Kennedy di atas, tak pernah lagi terlintas pada benak masing-masing individu di negeri ini.

Bisa jadi jangankan sumbangsih nyawa – sebagaimana halnya para pahlawan pejuang kemerdekaan tempo doeloe,  ditagih pajak saja bermacam argumen yang berbau peingkaran meluncur dari mulutnya.

Begitu juga di saat ketua RT mengajak warganya untuk bergotongroyong membersihkan sampah yang bertumpuk di lingkungannya, eh mereka seperti pura-pura tidak mendengarnya sahaja. Malahan tetap asyik dengan gawai di tangan, atawa melototi layar televisi.

Sebaliknya di saat pemerintah meluncurkan bantuan, semisal BLT (Bantuan Langsung Tunai) di era Presiden SBY tempo hari, jangankan mereka yang jelas-jelas kehidupannya berada di bawah garis kemiskinan, beliau-beliau yang di lingkungannya terbilang berharta pun menuntut jatah.

Sama halnya dengan program yang dewasa ini sedang berjalan, yakni yang disebut PKH (Program Keluarga Harapan), program KIP (Kartu Indonesia Pintar), atawa juga program KIS (Kartu Indonesia Sehat). Sikap warga tidak jauh berbeda.

Bahkan sikap mereka yang tidak mendapat bantuan program tersebut, selalu saja menjadikan senjata untuk menolak ajakan bergotongroyong di lingkungannya.

Ungkapan: “Tuh, ajak saja mereka yang mendapat bantuan. Tokh kami ini sudah dianak-tirikan!”

Sehingga karena awalnya pun memang sudah malas, ditambah lagi dengan kekesalan karena tidak mendapat jatah. Maka sempurnalah kehidupan bermasyarakat yang sulit diatur itu.

Begitulah. Kondisi masyarakat Indonesia di lingkungan yang kecil sahaja seperti itu.

Apalagi kalau pandangan diarahkan ke area yang lebih luas.

Seperti yang saat ini terjadi. Mereka yang mengaku sebagai pendukung Jokowi-Ma’ruf Amin saat Pilpres tempo hari. Baik orang per orang, sekumpulan orang, maupun organisasi masa, dan partai politik, kedok mereka terbuka sedemikian nyata.

Pada mulanya mereka mengklaim ikhlas dan sukarela mendukung Jokowi untuk kembali menjadi Presiden RI. Alasannya karena Jokowi bla-bla-bla...

Di saat Jokowi kembali meraih kemenangan, kemudian dilantik, dan mengumumkan susunan kabinetnya, maka yang tidak kebagian kursi pun ramai menyalak sedemikian nyaringnya. Bahkan ada juga yang bertingkah bak bocah yang tidak mendapat jatah permen dari ibunya.

Yupz. Pameo Tidak ada makan siang yang gratis pun memang tak dapat diingkari lagi. Tetap berlaku. Buktinya kalau sudah mendapat bagian, yang bersangkutan pun menggelendot jinak sambil menjilati kaki majikannya.

Terlebih lagi dengan mereka yang berseberangan. Mengkritik sampai tak ada habisnya. Bahkan sampai berteriak-teriak menyebar fitnah yang begitu keji. Tapi coba deh yang bersangkutan disodori sepiring nasi, eh kursi! Maka sudah tentu akan berubah menjadi herder yang paling setia.

Ternyata, oh ternyata  jabatan menteri adalah “cita-cita” akhir organisasi. Lalu ada jabatan yang ditradisikan menjadi “hak” atau milik organisasi.

Nah, ketika jabatan itu tidak ditawarkan atau diberikan kepada organisasi, maka tercetuslah kekagetan dan rasa kecewa melanda.

Padahal siapa pun sepakat bahwa jabatan adalah amanah.

Maka apabila budaya seperti itu masih tetap berlangsung, malahan kian masif ke depannya, ungkapan JFK di awal tulisan pun akan semakin kabur saja tampaknya. Begitu juga peringatan Sumpah Pemuda akan tetap stagnan, sebatas seremonial belaka. Siap bela negara pun hanya demi mendapat kursi kekuasaan sahaja.

***