AS Laksana dan Kuasa Redaktur

Redaktur koran itu, seperti penguasa. Atau memang penguasa, setidaknya untuk rubrik yang dipegangnya.

Rabu, 9 Juni 2021 | 07:34 WIB
0
222
AS Laksana dan Kuasa Redaktur
AS Laksana (Foto: dewimagazine.com)

Di medsos yang cek-ecek gini, nggak bagus ngebicarain media konvensional, macem koran, apalagi koran minggu yang memuat cerpen.

Apa yang dilakukan AS Laksana, bukan sesuatu yang baru, kecuali keterusterangannya, dan itu menjadi bukti kuat mengenai yang menjadi gerundelan selama ini.

Tapi mungkin pendewaan kita pada media konvensional (yang dulu ngakunya media mainstream) persis kayak Rhoma Irama ketika ngutip media internet; Bahwa Jokowi adalah non muslim dan China.

Bagaimana bisa? Karena Rhoma membacanya di internet. Kata Rhoma, internet pasti canggih informasinya. Tidak mungkin salah.

Ya, sudahlah, sukak-sukak dia. Mau Ari Untung atau UAS komentar ajib soal pembatalan naik haji Indonesia, kan yang percaya hanya yang kadrun Indonesia dengan mazab salawi.

Sebagai orang yang pernah bekerja menjadi redaktur media cetak, dan waktu dulu bergaul serta kenal beberapa redaktur media di beberapa kota, saya ngerti apa yang dilakukan Sulak.

Setidaknya empirik ia membuktikannya, meski harus mengabaikan efek pada dirinya. Karena di jaman susah ini, siapa berani melawan orang media?Redaktur media online saja, sudah merasa jumawa.

Dulu ketika saya tinggal di Palmerah, deket Kompas, saya ditelpon Sujiwo Tejo yang waktu itu jadi redaktur budaya Kompas Minggu. Ia bilang tulisan saya lebih layak muat di halaman budaya harian terguede itu.

Tapi apa daya, karena hanyalah anggota tim (redaktur budaya Kompas terdiri beberapa orang), ia tak bisa memperjuangkan tulisan saya, dan yang dimuat adalah tulisan penulis senior, tentang topik bahasan yang sama. Saya waktu itu tidak tahu mangsalahnya, jika tak ditelpon Sujiwo Tejo. Bukan saya yang nelpon, tapi saya ditelpon.

Sementara ketika menginterview cerpenis Joni Ariadinata, soal kenapa cerpen-cerpennya tak lagi muncul di Kompas, padal ia dulu merupakan cerpenis andalan? Ia memang tidak akan pernah mengirim cerpen ke Kompas, selama redakturnya orang yang tak suka tulisannya. Ia tahu hal itu, karena diberitahu seorang teman yang mendapat pengakuan dari si redaktur yang tak suka cerpen Joni.

Kemudian ketika Joni sebagai redaktur Horison, temen karibnya yang 'berguru' padanya, tak pernah bisa nembus Horison. Namun senyampang itu, Joni bisa memuat tulisan penulis yang sama sekali baru, bahkan dalam dua edisi berturut. Karena menurutnya, tulisan penulis baru itu bagus.

Sementara itu, dulu bersama beberapa penulis remaja grup Gramedia, karena kost deket Palmerah saya jadi akrab dengan beberapa redaktur majalahnya.

Kalau pas mau bayar kost kagak gableg duit, saya bilang ke salah satu diantaranya, saya butuh duit untuk bayar kost. Terus, ya sudah, saya disuruh nulis cerpen, dan dimuat, dan dapat honor, dan untuk bayar kost masih sisa.

Redaktur koran itu, seperti penguasa. Atau memang penguasa ding, setidaknya untuk rubrik yang dipegangnya. Dan karena penguasa itu bernama manusia, tentu saja ada yang baik ada yang buruk. Itu pun baik menurut siapa buruk menurut siapa.

Baca Juga: Jawa Pos, Plagiarisme AS Laksana atau Eksperimen Riset yang Keliru?

Adakah yang gawat dalam dunia sastra Indonesia? Lha wong musuh pandemi Covid-19, di mana media konvensional mulai berguguran, sastra Indonesia tetap akan tumbuh. Selama masih ada yang mau nulis dan baca. Soal mutu, ya, tergantung bagaimana membangun komunitas atau komplotan mutu, atau bikin ormas mutu.

Yang menyedihkan itu, karena ada medsos, maka ada yang nulis 'Kalau baca buku, nggak usah pamer di medsos. Itu riya'. Dan riya' itu dosa. Masuk neraka.

Gimana kalau orang pakai dalil agama bisa berpikiran macam gitu? Itu salah agama atau salah Jokowi, karena jadi Presiden? 

@sunardianwirodono

***