Berubahnya Pemahaman Agama di Era Google

Gagasan Denny JA justru semakin dalam mengarahkan pada spiritualisme universal, dan ketuhanan yang impersonal.

Sabtu, 27 Maret 2021 | 07:56 WIB
0
204
Berubahnya Pemahaman Agama di Era Google
Ilustrasi agama di KTP ( Foto: Media Indonesia)

Ini buku kumpulan 10 pakar merespon isu yang sama: perlahan tapi pasti pemahaman atas agama berubah di era Google.

Di era Google, publik luas dengan mudah bisa mengakses aneka informasi yang dulu eksklusif hanya beredar di kalangan segelintir akademisi.

Riset yang serius soal agama dan kualitas masyarakat. Riset yang intens soal sejarah sebenarnya dari para Nabi. Semua itu memberi pemahaman baru historisitas agama.

Tiga data ini menjadi penting. Berlaku hukum besi yang akan mengubah pemahaman agama pada sebagian kalangan masyarakat: dari agama sebagai kebenaran mutlak, bergeser menjadi agama sebagai kekayaan kultural.

DATA Pertama: para ahli sudah merumuskan formula kuantitatif mengukur persepsi atas kebahagiaan warga negara. Juga kualitas pembangunan manusia.

Para ahli juga mampu mengukur persepsi atas bersihnya pemerintahan dari korupsi. Dapat diukur pula pentingnya agama bagi masyarakat di berbagai negara.

Ketika bisa diukur secara kuantitatif, maka data itu dapat diperbandingkan. Terbuka mata kita melihat data itu.

Pada negara yang mayoritas warga negaranya sangat bahagia, yang tinggi pembangunan kualitas manusianya, yang bersih pemerintahannya, mayoritas warga tak lagi menganggap agama penting.

Sebaliknya, pada negara yang menganggap agama sangat penting, umumnya pemerintahannya tidak bersih dari korupsi, kebahagiaan warga negaranya, juga kualitas pembangunan manusianya, ada di level sedang saja.

Departemen agama di Indonesia dapat menjadi contoh. Walau agama yang menjadi titik utama, departmen agama termasuk kementerian yang paling korup. Beberapa menteri agama di Indonesia masuk penjara karena korupsi.

Departmen agama membuka mata soal berbedanya prinsip agama yang diidealkan, dengan praktek agama di dunia nyata.

DATA kedua: para arkeolog menemukan dokumen sejarah yang usianya lebih tua dari semua kitab suci yang kini ada.

Kembali mata kita terbelalak. Kisah seperti Adam dan Hawa, kisah seperti Nabi Nuh, kisah seperti Nabi Musa itu ternyata kisah rakyat, yang antara lain tertulis di Epic of Gilgamesh.

Sedangkan Epic of Gilgamesh sudah hadir sekitar 500-1000 tahun sebelum Hebrew Bible, kitab Yahudi.

Riset juga menemukan, Hebrew Bible itu, yang memuat kisah para Nabi: Adam, Nuh, Musa, itu ditulis oleh para penulis Yahudi dalam rentang ratusan tahun.

Dalam kitab yang sama, Hebrew Bible, terbaca struktur tata bahasa yang tak sama. Juga panggilan atas Tuhan yang mengalami evolusi. Juga konsep ketuhanan yang mengalami perubahan dari politeistik ke moneistik.

Bagaimana menjelaskan kemiripan kisah Nabi Musa, Nuh dan Adam di Hebrew Bible dengan dokumen era Mesopotamia- Sumeria, yang jauh lebih tua?

Salah satu analisa: para penulis yahudi memodifikasi kisah rakyat dari Mesopotamia-Sumeria itu dalam rangka pengajaran moral. Agar kuat otoritasnya, kisah Nabi itu diberi bobot teologis, disambungkan dengan dunia gaib yang lebih besar.

Para penulis Yahudi menghadapi raja di dunia, yang kadang zolim. Bagaimana menegakkan moral masyarakat melawan raja yang zolim?

Maka raja dunia perlu dihadapkan dengan titah Raja yang lebih tinggi: Raja Alam Semesta. Kisah Kitab Suci segera memiliki daya tekan yang lebih tinggi untuk menjaga moralitas publik.

DATA ketiga: Dunia modern juga membawa komplikasinya sendiri. Di puncak kelimpahan materi, hadir hati yang hampa makna.

Angka bunuh diri di masa kini lebih besar dibandingkan angka kematian karena terorisme, plus mati karena bencana alam, plus mati karena perang setelah perang dunia kedua.

Sementara 4300 agama yang kini hadir, juga berisi samudera kearifan untuk diolah menjadi spiritualiatas baru yang univesal.

Tiga data di atas diolah dalam buku Denny JA, “11 Fakta Google: Berubahnya Pemahaman Agama, dari Kebenaran Mutlak menjadi Kekayaan Kultural.”

Buku Denny JA ini walau keras dengan data ilmiah, tapi ramah dan friendly dalam menempatkan agama di ruang publik.

Jika Richard Dawkins berakhir dengan atheisme, dan permusuhan dengan agama, Denny JA justru sebaliknya. Gagasan Denny JA justru semakin dalam mengarahkan pada spiritualisme universal, dan ketuhanan yang impersonal.

10 pakar mereview buku Denny JA di atas. Kini review 10 pakar itu dibukukan.

Dr. Budhy Munawar Rahman, memberi epilog untuk respon 10 pakar itu. Budhy selama ini dikenal sebagai peneliti yang tekun atas pemikiran Nurcholish Madjid.

Budhy menulis: Posisi agama di ruang publik dalam gagasan Denny JA lebih canggih dibandingkan sekulerisasi dalam pemikiran Nurcholish Madjid.

Nurcholis, menurut Budhy, menyandarkan paham sekulerisasinya pada pemikiran teologis hingga tahun 70-an. Sementara Denny JA menyusun gagasannya berdasarkan riset intensif dan ektensif ilmu pengetahuan hingga abad 21.

Kini buku 10 review pakar itu bisa dibaca, diunduh, dicetak, disebarkan, melalui link ini:

Denny JA

***