Seniman atau Tukang Gonjreng

Mulailah meningkatkan kulitas seninya. Mulailah berfikir sebagai seniman. Itu jika mereka memyebut dirinya seniman jalanan.

Sabtu, 8 Agustus 2020 | 09:47 WIB
0
242
Seniman atau Tukang Gonjreng
Ilustrasi seniman jalanan (Foto: Dok. pribadi)

Bagaimana nasib seniman di masa pendemi? Apalagi seniman jalanan seperti pengamen.
Ya, pertanyaan ini sama kayak nasib para pekerja dunia hiburan pada umumnya. Suram. Pendemi telah memporakporandakan periuk nasi mereka. Sektor hiburan adalah sektor yang pertama kali ditampar krisis, dan ketika bangkit, merupakan sektor yang paling belakangan siuman.

Agak susah mencari celah bagaimana dunia mereka tetap hidup. Wong, lahan untuk mereka mencari nafkah saja gak buka. Misalnya mall, rumah makan, dan lokasi-lokasi pada umumnya.

Kini mungkin beberapa rumah makan sudah buka seperti biasa. Ruang untuk para semiman jalanan mencari pendapatan terbuka lagi. Tapi suasananya berbeda. Sungguh berbeda jauh.

Terus terang saja, dulu sebelum krisis, saya gak pernah bermasalah dengan kehadiran pengamen. Misalnya ketika makan, ada pengamen datang, saya santai saja menikmatinya. Tapi setelah krisis, saya malah agak sedikit khawatir. Bukan apa-apa, karena jarang ada pengamen yang bernyanyi dengan tetap memakai masker.

Padahal ketika mereka mangap, kan dropletmya terlempar kemana-mana. Pertanyaanya, bisakah seorang penyanyi jalanan tetap memakai masker saat beraksi?

Inilah bedanya seniman jalanan dengan para musisi atau penyanyi profesional. Penyanyi profesional biasanya tampil di panggung. Jarak antara dia dan penonton cukup jauh. Beda dengan seniman jalanan, yang jaraknya dengan konsumen begitu dekat. Droplet bisa jadi tidak terhindari saat mereka menyanyi.

Saya ingin bilang begini. Kondisi pendemi kali ini telah memporakporandakan pandangan orang terhadap seniman jalanan. Aksi mereka yang selama ini dianggap sebagai hiburan, meski alakadarnya, kini justru dipandang sebagai ancaman atau penganggu. Orang jadi khawatir dengan kehadiran mereka. Apalagi seniman jalanan yang biasanya menghampiri konsumennya begitu dekat.

Jika kehadiran mereka 'agak menakutkan', tentu saja ini juga ancaman bagi para pemilik warung makan. Sebab konsumen akhirnya mempertimbangkan kehadiran seniman ini ketika makan di sana. Jangan-jangan justru pengalaman banyaknya pengamen malah membuat orang malas mampir. Mungkin juga bukan karena merasa terganggu, tetapi karena gak nyaman dalam suasana pendemi.

Kesadaran ini harus juga dipahami para seniman jalanan. Bukan karena konsumen sekarang semakin pelit, tetapi secara psikologis kehadiran orang lain, apalagi sambil bernyanyi jarak dekat tanpa masker, sangat membuat orang gak nyaman. Orang parno tertular virus.

Apakah para pengamen dan seniman jalanan itu tahu kondisi ini? Tahulah.

Apakah mereka mau menyesuaikan diri? Itu masalahnya. Tidak gampang menyesuaikan diri dengan perubahan. Saya khawatir masa seniman jalanan yang biasa berkarir dari warung ke warung sudah berakhir. Orang tidak lagi terhibur dengan aksi mereka dari warung ke warung. Orang justru sangat khawatir dengan kehadiran mereka.

Harus ada terobosan serius bagaimana agar mereka tetap survive.

Pertama, seorang seniman mestinya hadir untuk menghibur, bukan sekadar dapat uang. Bukan mengandalkan belas kasihan. Artinya jika posisinya seperti itu mereka harus belajar psikologi konsumennya dengan jauh lebih baik. Jangan main hantam saja, yang penting nyanyi.

Kedua, jika memang tujuannya menghibur, ya mereka harus serius memperhatikan seluruh aspek hiburan. Kualitas musik, suara, tampilan, dan aksinya. Jika cuma gonjrang-gonjreng gak jelas, lalu keliling bawa kocrekan, itu namanya cuma mengandalkan belas kasihan. Tidak salah sih, memgandalkan belas kasihan orang. Tapi ya, cuma disitu aja kualitasnya. Jangan pernah berharap lebih.

Ketiga, lokasi juga penting. Mungkin saja kehadirannya di warung-warung makan pinggir jalan harus dikurangi. Jujur, saya sekarang menghindari warung makan yang suka dimampiri banyak pengamen. Saya ngeri.

Kini para seniman jalanan itu harus mulai berfikir ngamen di taman-taman, misalnya. Dengan demikian mereka gak lagi mengandalkan belas kasihan. Tapi sudah harus benar-benar berfikir ini sebagai show. Sebagai pertunjukan. Bagaimana bisa memukau orang di sana.

Para seniman jalanan sendiri-sendiri atau berkelompok, harus mulai berfikir bahwa mereka adalah menggelar pertunjukan. Orang mau merogoh kocek karena pertunjukannya tersebut. Bukan karena rasa iba.

Jadi mulailah meningkatkan kulitas seninya. Mulailah berfikir sebagai seniman. Itu jika mereka memyebut dirinya seniman jalanan. Kalau gak pernah berfikir sampe ke sana, ya mereka sesungguhnya bukan seniman.

Mereka hanya tukang gonjrang-gonjreng, yang mencari nafkah dari sana. Cuma sebatas itu.

Eko Kuntadhi

***