Kalau saja Pak Luwi tidak bercerita tentang masa lalunya yang ternyata selalu aktual, saya tidak akan pernah tahu "pekerjaan kecil" Pak Jakob demi menjaga perasaan pembacanya.
Ungkapan dalam bahasa Inggris ini ditulis guru jurnalistik saya, Luwi Iswara, saat berbagi tautan https://youtu.be/GTeAhECcFiA yaitu wawancara Tagar.id dengan saya tentang Jakob Oetama almarhum.
Dalam pesan WA yang saya kirim, saya berterima kasih kepada Pak Luwi -demikian saya memanggilnya- karena berkat ilmu jurnalistik yang diajarkannyalah saya bisa berbagi ilmu yang saya dapatkan itu, juga bisa memahami prinisip-prinsip jurnalistik.
Tidak saya sangka, Pak Luwi menjawab tautan itu (tentu setelah menontonnya), dengan cerita mengejutkan tentang persinggungannya (baca: pengalamannya) dengan Pak Jakob Oetama, pendiri Harian Kompas yang meninggal Rabu, 9
September 2020, yang belum saya ketahui sebelumnya:
Begini persisnya Pak Luwi menulis:
"Waktu saya memegang desk malam, Pak Jakob sering muncul di ruang redaksi yang hiruk-pikuk. Waktu ramai-ramainya berita gaji guru disunat, dia berkata kepada saya, sebaiknya Kompas menghindari kata 'sunat', karena konotasi agama. Tulis saja padanan kata sunat, 'dipotong'. Hasilnya akan sama. Begitu pula kata 'mengutuk'. Hanya Tuhan yang bisa/boleh mengutuk. Sesama manusia seharusnya tidak saling mengutuk. Mungkin juga sekarang ada kata 'korupsi berjamaah' apa salahnya menggunakan padanan kata yang umum. Kesantunan (dalam jurnalisme) ini yang menjadi pegangan dalam pekerjaan saya waktu itu, dan bahan untuk meneruskannya kepada anak didik saya. You write with your heart, but edit with your brain."
Saya tercenung, demikian detailnya Pak Jakob pada masa lalu, saat Pak Luwi masih memegang "desk malam", sebuah desk yang sering dikatakan penjaga gawang terakhir sebelum Kompas naik cetak. Pak Jakob demikian peka terhadap istilah yang berpotensi menimbulkan ketersinggungan sekelompok orang, apalagi bernuansa keagamaan.
Benar, kata "sunat" (untuk pemotongan gaji), "korupsi berjamaah" (korupsi yang dilakukan bersama-sama di sebuah institusi), bahkan kata "mengutuk" sebaiknya tidak digunakan, sebab kata itu hanya Tuhan yang boleh memakainya. Mungkin masih banyak yang lainnya, tetapi itulah yang Pak Luwi ingat.
Kalau saja Pak Luwi tidak bercerita tentang masa lalunya yang ternyata selalu aktual (meminjam judul buku Pak Swantoro),saya tidak akan pernah tahu "pekerjaan kecil" Pak Jakob demi menjaga perasaan pembacanya.
Sudah barang tentu selain dikenal sebagai wartawan jempolan, Pak Jakob ternyata seorang editor yang peka terhadap perasaan pembacanya, editor yang menggunakan otaknya saat bekerja.
You write with your heart, but edit with your brain.
Salut...!!!
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews