Mari kita mencuci tangan bukan untuk mencari titik aman secara politis bak Pilatus melainkan mencuci tangan sebagai suatu kerohanian bahwa kita harus berupaya bersama demi kebersihan.
Umat Kristiani baru saja merayakan Hari Raya Paskah; Hari Raya Kebangkitan Yesus Kristus; Hari Raya Kemenangan Kristus dan orang - orang Kristiani atas maut dan dosa.
Perayaan Paskah tahun ini dirayakan dengan cara dan situasi yang berbeda. Umat beriman dihimbau untuk mengikuti misa kudus yang disiarkan secara online dari rumah masing-masing.
Saya benar terkesima ketika merenungkan situasi saat ini, di mana merebaknya pandemi covid-19 dengan perayaan paskah tahun ini.
Perayaan Paskah tidak terlepas dari kebijakan Pilatus di hadapan tuntutan orang-orang Yahudi, yang terdiri dari imam-imam kepala, pemimpin-pemimpin serta rakyat, terkait dengan penghukuman Yesus, Putera Allah.
Terdapat tiga kali pernyataan Pilatus kepada orang-orang Yahudi bahwa Yesus tidak bersalah (Luk, 13:22). Walaupun demikian, orang-orang Yahudi tetap menuntut supaya Yesus dihukum mati dengan cara disalibkan. Padahal, hukuman salib itu sebetulnya merupakan hukuman khas orang-orang romawi terhadap para budak yang melakukan kesalahan atau kejahatan, sementara dari Yesus, sama sekali tidak ditemukan kesalahan apapun.
Sebagai Gubernur Yudea di bawah Kekaisaran Romawi, Pilatus mencari titik aman dengan mempergunakan hukuman Salib khas Romawi kepada Yesus tetapi atas tuntutan orang-orang Yahudi sendiri. Sementara hukuman khas orang-orang Yahudi ketika melakukan kesalahan adalah hukuman merajam dengan batu atau rajaman.
Dengan mempergunakan hukuman Salib, Pilatus ingin mencari titik aman dalam relasinya dengan kekaisaran Romawi. Dengan mengabulkan permintaan orang-orang Yahudi, Pilatus tetap ada pada posisi aman, dalam arti bahwa Pilatus beruntung karena orang-orang Yahudi malah menuntut supaya Yesus bukannya dirajam melainkan disalibkan. Inilah kelihaian Pilatus yang merupakan cikal bakal baginya untuk mudah mencuci tangan dan mencari titik aman.
Pilatus mencuci tangan, ia tidak bertanggung jawab atas kematian Yesus, seolah-olah dirinya tidak memutuskan untuk Yesus disalibkan tetapi atas tuntutan orang-orang Yahudi untuk Yesus disalibkan, Pilatus akhirnya memutuskan supaya tuntutan orang-orang Yahudi itu dikabulkan (Luk, 23:24).
Kelemahan terbesar Pilatus ialah ia tidak berani dan bebas untuk melakukan apa yang ia ketahui sebagai yang benar. Kebenaran akhirnya diabaikan karena keinginan untuk mencari posisi aman. Walaupun Pilatus sudah diperingatkan oleh istrinya untuk tidak menghukum Yesus karena memang Yesus tidak bersalah (Mat. 27:19), dan Pilatus sendiri tahu bahwa Yesus tidak bersalah tetapi akhirnya Pilatus pun tetap memutuskan dan Yesus tetap disalibkan.
Tindakan Pilatus mencuci tangan tujuannya untuk mencari aman. Walaupun kebenarannya sudah diketahui, tetapi pada akhirnya kebenaran itu gugur karena niat untuk mencari aman dalam kaitannya dengan kekaisaran Romawi dan di hadapan tuntutan orang-orang Yahudi.
Tulisan ini saya beri judul : Spiritualitas Cuci Tangan Pasca Hari Raya Paskah. Maksud saya ialah Paskah sebagai perayaan iman akan kebangkitan, orang-orang beriman yang percaya perlu bangkit dari keterpurukan dalam konteks Pilatus mencuci tangan untuk mencari titik aman, dan kembali menekuni tindakan mencuci tangan sebagai suatu spiritualitas, sebagaimana anjuran higienis demi kebersihan, kesehatan dan keselamatan jiwa umat manusia (dalam situasi khusus) menghindari penyebaran pandemi covid-19.
Inilah makna teologis dari tindakan mencuci tangan pasca Hari Raya Paskah, dan karena itu saya namakan itu sebagai suatu kerohanian.
Kalau Pilatus mencuci tangan untuk mempertahankan posisi politisnya, kini umat manusia perlu mencuci tangan untuk menghindari penyebaran pandemi covid-19 demi kebersihan, kesehatan dan keselamatan diri dan publik.
Dalam arti higienis di atas, tindakan mencuci tangan sebagai salah satu cara untuk menghindari pandemi covid-19 merupakan suatu spiritualitas yang mendorong orang untuk berupaya demi kesehatan, keselamatan pribadi dan publik.
Dengan demikian, tindakan mencuci tangan pasca perayaan Paskah merupakan suatu prinsip kebangkitan bahwa rakyat dan umat perlu bekerja sama; saling mendengarkan, saling memperingatkan, saling membantu untuk mencegah, memberantas berbagai kenyataan kotor yang menodai kesehatan martabat pribadi manusia dan martabat sosial.
Dalam konteks tindakan mencuci tangan sebagai prinsip kebangkitan, tatkala bertemu dengan berbagai praktek ketidakadilan semisal korupsi, terkhusus di wilayah Kabupaten Malaka, yang kini lagi gencar diberitakan karena dugaan kasus korupsi pengadaan bibit bawang merah, itik, ikan bandeng dan pisang oleh segelintir orang, perlu diberantas.
Pihak penegak hukum, wajib hukumnya untuk menegakkan keadilan demi kebaikan bersama, dengan prinsip teliti demi menghindari praktek mencuci tangan bak Pontius Pilatus. Siapapun yang terlibat, perlu diproses sesuai hukum yang berlaku dan harus dipastikan bahwa tidak boleh ada yang mencuci tangan dari kasus korupsi.
Kalaupun secara yuridis dapat dibuktikan bahwa pemimpin eksekutif maupun legislatif terlibat, mereka perlu diproses sesuai mekanisme hukum yang berlaku.
Hukum dan pihak penegak hukum tidak boleh memberi peluang kepada pihak yang lebih tinggi untuk mencuci tangan versi Pilatus. Hukum dan pihak penegak hukum perlu bertindak dalam arti baru cuci tangan sebagai suatu spiritualitas bahwa demi kebersihan, kesehatan dan keselamatan bersama, siapapun yang kotor dan yang mengotorkan, perlu dibersihkan.
Sebab tatkala hukum mentolerir yang kotor, virus baru akan muncul dan berkecambah dengan gelora yang tak tertahankan untuk menelan dalam-dalam sejumlah kebutuhan dan kepentingan yang sebetulnya merupakan hak rakyat dan publik.
Mari kita mencuci tangan bukan untuk mencari titik aman secara politis bak Pilatus melainkan mencuci tangan sebagai suatu kerohanian bahwa kita harus berupaya bersama demi kebersihan, kesehatan dan keselamatan seluruh umat manusia.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews