Koran Kakekku, "Oetoesan Indonesia"

Para pemilik pers sekarang, sebagian besar para cukong yang tidak punya latar belakang sejarah keluarga pejuang seperti dulu.

Rabu, 13 Mei 2020 | 21:35 WIB
0
282
Koran Kakekku, "Oetoesan Indonesia"
Oetoesan Indonesia (Foto: dok. pribadi)

Koran tempat kakek saya, R.H. Didi Sukardi, mengabdi, Oetoesan Indonesia, tahun 1932. Koran ini didirikan dan dikembangkan bersama para pejuang lainya seperti HOS Tjokroaminoto dan St Syahrir dan kawan-kawan.

Nama korannya, walaupun saat itu Indonesia belum merdeka, sudah jelas memakai “Indonesia” dan bahkan memberi klaim sebagai “Oetoesan.” Jadi koran “perjuangan banget.” Visi dan misinya gak diragukan lagi menuju Indonesia merdeka, demokratis dan sejahtera.

Profesi wartawan lantas dilanjutkan ke anaknya, yaitu ayah saya, Gandhi Sukardi. Itulah sebabnya walaupun ayah saya punya kesempatan bekerja di pers internasional, karena dia menguasai 8 (delapan) bahasa asing, ayah saya memilih mengabdi di Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN )“Antara.”

Lantas akhirnya profesi wartawan itu, estafet ke saya. Jadi kami tiga generasi wartawan.

Dan ada peluang untuk menjadi empat generasi terbuka lebar. Tapi manakala salah satu anak saya juga memperlihatkan tanda-tanda mau melanjutkan tradisi itu, saya bilang, “Dunia sudah berubah total, Nak.”

Setidaknya ada tiga alasan perubahan yang saya kemukakan.Pertama, perubahan dashyat teknologi komunikasi telah menyebabkan peranan pers utama tersudut, terganti oleh kecepatan media sosial dan kelengkapan artifial Intelejen. Bahkan, mungkin tak lama lagi “surau pers kita” bakal runtuh.

Kedua, secara ekonomi ke depan salah satu yang penghasilannya paling sulit adalah pekerjaan wartawan. Kakek saya dulu dapat hidup layak, karena isterinya keturunan keluarga kaya. Keluarga isteri kakek saya punya perkebunan. Jadi, kakek saya tidak terlampau memikirkan uang. Lagipula memang sebelumnya profesi wartawan dapat hidup layak.

Kini keadaan sudah berubah drastis. Ke depan penghasilan wartawan bakal megap-megap.

Kalau kamu jadi wartawan sekarang, jangan sampai kamu karena pekerjaan terpaksa menerima amplop atau fasilitas dari kekuasaan.”Sejelek-jeleknya Bapak loe ini, sepanjang kariernya jadi wartawan, gak pernah menerima amplop lho,” tegas saya. Maklumlah saya juga “keahlian” lain di bidang hukum (saya masuk FHUI tahun 1978).

Ketiga, para pemilik pers sekarang, sebagian besar para cukong yang tidak punya latar belakang sejarah keluarga pejuang seperti dulu. Mereka terutama lebih banyak cari keuntungan sesuai prinsip ekonomi, baik langsung maupun tidak langsung. Berita dibuat berdasarkan angle kepentingan pemiliknya. Urusan nasionalisme dan sebagainya nomer kesekian. Jangan sampai kamu mengabdi kepada cukong seperti ini.

Masih maukah anak saya tersebut jadi wartawan? Walaupun sebenarnya sebelumnya dia sudah aktif di pers kampus, dia akhirnya memilih menjadi advokad sesuai dengan latar belakang pendidikannya.

***