Indonesia dalam Terkaman Kapitalisme Turbo

Untuk beberapa tahun ke depan di Indonesia, kita hanya bisa melakukan tambal sulam terhadap kerusakan yang dibuat oleh kapitalisme turbo ini.

Senin, 2 Desember 2019 | 22:24 WIB
0
370
Indonesia dalam Terkaman Kapitalisme Turbo
Ilustrasi (Foto: rumahfilsafat.com)

Tema percakapan kami terus berulang. Sudah beberapa kali saya dan beberapa sahabat cemas dengan perkembangan yang terjadi di Indonesia. Dengan mudah, di kota-kota besar, ketimpangan sosial antara yang kaya dan yang miskin bisa dilihat. Anda cukup mengendarai kereta api di ibu kota, dan seluruh ketimpangan sosial akan segera tampak di depan mata.

Tak jauh dari ibu kota, tepatnya di Jawa Barat, begitu banyak desa tertinggal dalam kekumuhan. Sarana air bersih dan pengolahan sampah sangat lemah, bahkan nyaris tak ada. Di abad 21 yang serba canggih dan kompleks, masih banyak orang yang buang air besar di kali tempatnya mencuci piring. Tak peduli siapa presiden ataupun partainya, hal ini tak berubah dari tahun ke tahun.

Yang juga menjadi ironi adalah persoalan agama. Di tengah kemiskinan dan kekumuhan yang ada, rumah-rumah ibadah menjulang tinggi dan mewah. Suasana kontras yang berbau ketidakadilan dengan mudah terasa. Pemuka-pemuka agama hidup dalam gelimpangan harta. Sementara umatnya terjebak dalam rantai kemiskinan yang tak kunjung putus.

Mall-mall megah juga tampak menjadi rumah-rumah ibadah baru di abad 21. Gemerlap cahaya lampu menggoda pengunjung untuk merogoh koceknya membeli barang-barang yang tak ia perlukan. Konsumtivisme menjadi agama baru yang tak mengenal suku, ras maupun agama-agama yang sudah ada sebelumnya. Saya sampai sekarang masih terkagum-kagum, betapa toilet mall jauh lebih mewah, daripada rumah sebagian besar rakyat Indonesia.

Kapitalisme Turbo

Inilah salah satu gejala dari tata ekonomi kapitalisme turbo yang menerkam Indonesia. Kata ini muncul dalam buku tulisan Edward Luttwak yang berjudul Turbo-Capitalism: Winners and Losers in the Global Economy. Buku menggambarkan kapitalisme yang begitu cepat merangsek berbagai unsur kehidupan manusia, mulai dari politik, budaya, pendidikan sampai dengan kehidupan pribadi. Terkaman kapitalisme itu kini menjadi tanpa lawan, dan nyaris menjadi total. Ada beberapa hal yang penting untuk menjadi perhatian.

Pertama, sebagai sistem ekonomi, kapitalisme menempatkan modal di atas segalanya. Manusia pun dilihat sebagai modal. Ini dengan mudah ditemukan di dalam konsep human capital untuk menggambarkan kedudukan manusia di dalam roda ekonomi. Segala nilai kehidupan manusia disempitkan untuk mengabdi pada kepentingan pengembangan modal tanpa batas.

Dua, turbo kapitalisme mampu menciptakan ekonomi yang dinamis. Pertukaran barang dan jasa terjadi secara intensif melampaui batas-batas negara. Negara-negara dipaksa untuk mengubah peraturannya untuk mengabdi pada perkembangan modal. Namun, yang sungguh diuntungkan adalah para pemilik modal raksasa.

Tiga, karena peraturan dan hukum yang tunduk pada perkembangan modal, kekayaan lalu tersebar secara tak merata. Para pemilik modal raksasa mampu secara tanpa batas mengembangkan kekayaan mereka secara efisien. Sementara, sebagian besar orang harus hidup seadanya, bahkan menjadi korban dari gerak perkembangan ekonomi yang tanpa batas tersebut. Ketimpangan sosial ekonomi yang besar pun langsung tampak di depan mata.

Empat, dalam gerak modal yang tanpa batas, budaya lokal pun tergerus. Cara hidup lokal yang menopang masyarakat selama ribuan tahun habis dilindas oleh kapitalisme. Apapun yang tak menghasilkan uang, atau mengembangkan modal, siap untuk dibuang keluar. Dalam rapuhnya budaya yang ada, gelombang radikalisme dan kekerasan pun menyusup masuk.

Lima, nilai-nilai luhur kemanusiaan pun lenyap. Ketika budaya dianggap sebagai barang tak berguna, nilai-nilai kehidupan pun luntur. Tidak hanya itu, kemanusiaan hanya menjadi alat pencitraan untuk menutupi kebusukan yang ada. Di balik berbagai praktek korup yang merugikan begitu banyak orang, para pengusaha dan politisi berbicara tentang kemanusiaan dengan suara yang semakin lantang.

Enam, peran para pemimpin politik dan pemuka agama pun kini berubah. Keduanya tidak lagi menjadi teladan moral untuk hidup yang bermutu tinggi, tetapi menjadi pengabdi dari kepentingan kapital yang tanpa batas. Negara menjadi centeng pelindung perusahaan-perusahaan besar. Kepala negara, dan staffnya, menjadi salesman sumber daya alam dan manusia kepada negara-negara asing. Pemuka agama siap mengerahkan massa perusuh dan dukungan terhadap pembayar tertinggi.

Kapitalisme turbo menjungkirbalikkan semua nilai. Apa yang baik dan luhur, kini dianggap tak menguntungkan. Apa yang kotor dan busuk, sejauh itu menguntungkan, justru dianggap baik. Uang dan keuntungan finansial kini menjadi satu-satunya tolok ukur kebenaran dan kebaikan. Inilah yang terjadi di Indonesia dewasa ini.

Mengembangkan Negara Kesejahteraan

Tanpa pemahaman yang tepat, kapitalisme turbo akan terus merusak hidup manusia. Para pelaku utamanya, yakni para pengusaha bermodal raksasa dan politisi korup, akan terus menikmati kekayaan dan kekuasaan di atas penderitaan begitu banyak orang. Di samping itu, kapitalisme turbo semacam ini juga tak akan pernah membawa stabilitas yang mendorong keadilan dan kemakmuran bersama yang lestari.

Di dalam masyarakat kapitalis turbo, krisis adalah sesuatu yang lumrah terjadi. Bisa dikatakan, krisis ekonomi adalah anak kandung kapitalisme turbo.

Maka dibutuhkan beberapa langkah taktis yang tepat, misalnya dengan memperkuat pola negara kesejahteraan (Sozialstaat). Pendidikan dan kesehatan harus semudah dan semurah mungkin didapatkan oleh seluruh rakyat.

Pendidikan dan kesehatan harus dijauhkan dari pola pikir bisnis dan industri. Keduanya adalah pilar penyangga peradaban dan budaya yang berisi nilai-nilai luhur kemanusiaan. Keduanya juga perlu dicegah untuk jatuh ke dalam radikalisme agama. Pendidikan dan kesehatan yang bermutu tinggi dan, sedapat mungkin, bebas biaya adalah jaringan pengaman sosial dari krisis yang terus dihasilkan oleh turbo kapitalisme.

Dibutuhkan pemahaman dan kepemimpinan politik yang kuat untuk mewujudkan hal ini. Sulit rasanya berharap, bahwa seorang pengusaha yang kini menjabat kepala negara, yang juga tak sadar, bahwa ia adalah bagian penting dari kapitalisme turbo, mampu membuat perubahan nyata. Untuk beberapa tahun ke depan di Indonesia, kita hanya bisa melakukan tambal sulam terhadap kerusakan yang dibuat oleh kapitalisme turbo ini.

***