Asal Muasal Kompas [16] Percetakan Gramedia, Palmerah yang Dipilih

Pilihan Palmerah Selatan dengan pertimbangan masih dekat dengan pusat kota, kiri-kanan masih memungkinkan untuk dibeli, dan hubungan lalu lintas ke Jalan Gajah Mada.

Sabtu, 15 Juni 2019 | 09:53 WIB
0
930
Asal Muasal Kompas [16] Percetakan Gramedia, Palmerah yang Dipilih
Buku yang dicetak di Percetakan Gramedia (Foto: Gramedia Printing)

Palmerah Selatan yang kini menjadi pusat kantor Kompas Gramedia Grup,  asal muasalnya dari kebutuhan akan percetakan sendiri. Sejak terbit hingga tahun 1972, Kompas banyak tergantung pada percetakan orang lain. Percetakan-percetakan itu tidak hanya mencetak koran Kompas tetapi beberapa koran dan tentunya mengutamakan koran milik percetakan itu sendiri.

Hal ini selain membatasi oplah karena waktu cetak terbatas, juga kegiatan redaksi. Tidak jarang ada beberapa koran yang terpaksa menggunakan berita koran lain yang sama-sama dicetak di situ agar tidak terlambat terbit.

Pendirian percetakan memang sudah diimpikan sejak Kompas terbit. Almarhum PK Ojong selalu menegaskan, industri koran bagaikan mobil yang mempunyai tiga silinder: redaksi, percetakan, dan pemasaran. Ketiganya harus berjalan seimbang jika ingin sukses.

Ketika Kompas memutuskan untuk membuat percetakan, dua hal penting harus segera diputuskan: di mana percetakan akan didirikan dan mesin cetak teknologi mana yang dipilih, sistem letterpress atau photo offset. Untuk tempat, beberapa lokasi yang sempat disurvei antara lain di Jalan Gatot Subroto, Pulo Gadung, Bekasi¸Ciracas, Pesing, dan Kebon Jeruk. 

Untuk membeli di Jalan Gatot Subroto uangnya tidak cukup, di pinggir kota menyulitkan kerja Redaksi sementara itu pimpinan Redaksi  menuntut agar percetakan dan kantor Redaksi menjadi satu.

Pilihan Palmerah Selatan dengan pertimbangan masih dekat dengan pusat kota, kiri-kanan masih memungkinkan untuk dibeli, dan hubungan lalu lintas ke Jalan Gajah Mada (kantor sirkulasi dan iklan) relatif mudah, saat itu sekitar 15-20 menit naik oplet. Satu nilai lebih lagi, dekat stasiun kereta api sehingga jika perlu pengangkutan kertas dari Pelabuhan Tanjungpriok bisa dilakukan dengan kereta api.

Menurut Kurnia Munaba yang saat itu menangani dana Kompas, tanah dan bangunan bekas pabrik obat Konimex itu dibeli seharga Rp12.000.000 dari pemiliknya, Junaedi Jusuf. Selanjutnya secara bertahap dibeli tanah-tanah  sederet sehingga menjadi nomor 20, 22, 24, 26, 28.

Redaksi berkantor di bekas pabrik obat itu hingga beberapa tahun. Ketika akhirnya  jalan arteri  dibangun persis di samping percetakan, maka kantor Kelompok Kompas Gramedia di Jalan Palmerah Selatan pun tidak di pinggir kota lagi.

**

Pada saat Kompas terbit, teknologi percetakan umumnya masih menggunakan sistem letterpress atau biasa juga disebut dengan cetak tinggi. Susunan huruf-huruf timah yang dirangkai dalam spanraam dipres dengan karton tebal sehingga membentuk kerangka cetakan yang disebut matrijs.

Cetakan dari karton ini kemudian dicor dengan timah panas sehingga terbentuk sebuah lempengan timah berbentuk setengah silinder yang permukaannya menonjolkan huruf-huruf atau gambar. Benda bernama styp seberat 25 kilogram inilah yang digunakan untuk mencetak koran melalui mesin rotasi. 

Sementara itu di negara maju saat itu sedang berkembang alat pencetak berbasis foto. Materi koran disusun dan dicetak dalam kertas foto kemudian difoto ke film. Dari filmnya dibuatkan/direkam ke dalam selembar plat. Dengan plat inilah koran dicetak.

Pada tahun 1970-an di dunia sedang terjadi perubahan teknologi cetak dari sistem letterpress berbahan timah menjadi offset yang berbasis fotografi. Perubahan itu berjalan evolusi karena mengganti mesin membutuhkan dana besar sehingga banyak percetakan tetap mempertahankan sistemnya.

Perubahan teknologi ini ditanggapi pemerintah Indonesia dengan memprakarsai pendirian  Proyek Pusat Grafika. Pimpinan proyek itu, H.Oltheten, memberikan bimbingan dan nasihat yang sangat berharga bagi Kompas sewaktu  menentukan mesin cetak mana yang harus dibeli.

Atas saran Oltheten, Kompas membeli teknologi berbasis masa depan, photo offset. Dan pilihan  itu sangat tepat sehingga membuat percetakan berkembang hingga sekarang. Sebelumnya Harian Merdeka telah menggunakan mesin cetak offset merk Hamada.

Kompas memiliki percetakan sendiri melalui perusahaannya, PT Gramedia pada tahun 1972 dengan bantuan kredit dari BNI 46. Percetakan tersebut dibangun dengan biaya sekitar Rp 300.000.000 termasuk harga tanah, harga mesin empat unit bermerk Pacer 215.000 pound, mesin diesel Rp 12.000.000, dan bangunan senilai Rp 60.000.000. Saat itu nilai dolar hanya Rp. 420.

Pak Ojong dalam peresmian percetakan tersebut menyatakan, tiga perempat dari biaya pendirian percetakan berasal dari kredit BNI 46. “Ini berarti , kalau sebentar lagi para hadirin memasuki gedung percetakan ini dan melihat sebuah kursi berkaki empat, dapat dikatakan bahwa hanya satu kakinya kepunyaan kami, dan tiga kaki lainnya kepunyaan Bank Negara Indonesia 1946 atau Bank Indonesia,” begitu dikatakannya di depan Gubernur DKI Jaya, Ali Sadikin yang meresmikan percetakan tersebut.

Percetakan itu sebenarnya sudah beroperasi sejak bulan Juni 1972 namun Gubernur Ali Sadikin baru meresmikannya pada tanggal  25 November 1972.

Ketika pencetakan koran pindah ke Palmerah Selatan, Kompas terbit 12 halaman dengan oplah sekitar  100.000 eksemplar. Jumlah halaman yang cukup banyak waktu itu serta oplah yang demikian besar, memang tak mampu dicetak oleh percetakan yang ada. Sebelum pindah pencetakan Kompas dilakukan di tiga tempat berbeda dengan waktu cetak yang berbeda-beda pula yaitu percetakan Kinta, Surya Praba, dan Jakarta Press.

Kondisi itu tentu sangat menyulitkan para pelaksana terutama bagian ekspedisi. Bayangkan, sore hari harus mengirim kertas ke tiga percetakan tersebut (pencetak harus bawa kertas sendiri), jika malam hari ternyata di salah satu percetakan ada problem maka gulungan kertas harus dibawa ke percetakan lain. Dan sesudah selesai cetak, bagian ekspedisi harus menyisipkan tiga lembar Koran menjadi satu kesatuan hingga menjadi 12 halaman. Untuk itu betapa banyak tenaga yang harus menanganinya.

Dengan adanya percetakan sendiri, kendala-kendala tersebut teratasi dan oplah Kompas pun semakin meningkat. Banyak keuntungan dengan adanya percetakan sendiri itu. Bagi Redaksi,  deadline penurunan naskah/berita bisa lebih malam sehingga berita-berita yang terjadi menjelang tengah malam tetap bisa dimuat, bagi bagian pemasaran perkembangan oplah koran tak terhalang waktu.

Namun demikian ternyata kelonggaran itu hanya sementara waktu karena oplah terus naik, halaman juga terus bertambah sementara kemampuan mesin cetak terbatas. Satu-satunya cara adalah memajukan deadline yang tak mungkin ditolerir oleh Redaksi.  Akhirnya, masalah itu tetap menjadi masalah sepanjang penerbitan Kompas.

(Bersambung)

Mamak Sutamat, wartawan purnatugas Harian Kompas 1970-2004.

***  

Tulisan sebelumnya: Asal Muasal Kompas [15] Kebangkitan Koran Daerah