Cak Nun, Ia yang Mengkhianati Puisi

Persoalan paling serius ketika ia merasa bukan lagi penyair, tak mau menulis puisi lagi, padahal sehebat-hebatnya Cak Nun di bidang lain, kekuatan terbesar adalah di bidang puitik!

Kamis, 9 Mei 2019 | 07:12 WIB
0
1385
Cak Nun, Ia yang Mengkhianati Puisi
Cak Nun dan Soeharto (Foto: Facebook/Andi Setiono Mangoenprasodjo)

Puluhan tahun yang lalu, di Rumah begawan budaya yang paling saya hormati, Pak Kayam di Bulaksumur B-12 kita asyik ngegosip tentang Cak Nun. Rumah Umar Kayam kala itu adalah melting-point terbaik untuk meguru, berguru tentang nyaris semua hal tentang cita rasa baik: sastra, politik, teater, film, dan terutama kuliner dan perempuan.

Bukan masalah besar sebenarnya. Hanya sebuah cerita dari seorang kawan, ketika ia menemui Cak Nun berjalan kaki, bertelanjang kaki menyusur jalanan sepi, jauh sekali dari rumahnya di Selatan kota Jogja. Tentu saja ia sendirian, tapi konon wajahnya kosong. Disapa diam saja, wajahnya menunduk tanpa ekspresi. Tampak beban berat yang menyangga tubuhnya yang mbentoyong, limbung oleh persoalan yang tak seorang pun mengerti.

Lalu pertanyaannya kenapa, ada apa, kok bisa? Cak Nun saat itu mulai dikenal bermain dengan banyak kaki, meninggalkan wilayah kebudayaan yang sebenarnya adalah rumah orisinalnya. Saat itu di tahun 1996-an, rumahnya di Kasihan mulai dikunjungi Prabowo (tentu dengan ekornya yang bernama Fadli Zon) yang saat itu masih seorang jendral yang berpengaruh. Sesuatu yang akhirnya nampak wajar saja, ketika ribut-ribut di hari-hari akhir pemerintahan Suharto, ia tampak sering beredar di Istana Negara.

Untuk ikut menjatuhkan Suharto? Itulah masalahnya, tidak pernah jelas benar! Sebagai seorang aktivis, ia dianggap sebagai seorang yang gigih menentang Pemerintahan otoriter Orde Baru. Bahkan karena banyak kritik kerasnya, baginya menjadi terlalu biasa berurusan dengan Polisi. Tapi benarkah demikian di tikungan terakhirnya itu?

Belakangan teman-teman dekatnya menyadari bahwa justru pada bagian finalnya, ia dianggap "mengkhianati reformasi". Maksudnya? Ia justru dianggap "terlalu" ingin menyelamatkan Suharto!

Ia berubah dari aktifitis pro-reformasi menjadi seorang "king-maker" yang mengatur-atur bagaimana cara Pak Harto sebaiknya turun. Hal yang tidak disukai oleh kelompok Amien Rais cs yang memang tampak sangat ambisius ingin segera "membungkus" Suharto!

Artinya walau hari ini, keduanya tampak "satu kubu", perseteruan antara Cak Nun dan Mbah Amien itu akarnya sudah jauh terjadi sebelum era-era itu. Pasal kenyinyiran AR pada CN, awalnya justru berawal dari gaya hidup CN yang sering bergonta-ganti pacar yang "ndilalah" seleranya selalu artis banget itu! Hal yang dianggap oleh AR sebagai sangat tidak Islami dan mengingkari perjuangannya sebagai figur yang sedari awal menjadi motor pergerakan apa yang disebut "Lautan Jilbab".

Baca Juga: Mungkin Cak Nun "Kesel"

Mungkin pada titik akhir Orde Baru, dan awal Reformasi itulah titik balik terbesar CN, ia sedemikian kecewa karena dianggap "berkhianat" oleh terutama kawan-kawan dekatnya. Atau sebaliknya, ia justru dikhianati oleh teman-teman politiknya di Jakarta. Sedemikian kecewanya beliau, hingga ia bersumpah tidak akan lagi menginjak politik praktis.

Saat itu, ia tidak mendapat jabatan apa-apa, hal yang selalu ia bilang sebagai memang "bukan tujuan, bukan ambisinya". Tapi ia kehilangan sedemikian banyak kepercayaan dari teman-teman aktivis kebudayaan yang selama ini menjadi lingkaran terdekatnya.

Sejak itu pulalah, ia berbelok pada dunia pengajian dengan mengangkut Gamelan Kiai Kanjeng yang akar sebenarnya berawal dari Teater Paku. Kelompok teater yang merupakan "perkawinan jiwa" dedengkot asli teater Jogja paling legendaris antara Teater Gandrik yang abangan dan Teater Dinasti yang sedikit berciri Islami. Mulai saat itu pula, ia memutuskan dengan bahasanya berkhidmat untuk mengurus kemaslahatan umat (baca: wong cilik), wira-wiri ke sana kemari mengadakan pengajian di berbagai kota dan desa.

Di Padhangmbulan Jombang berlangsung setiap tanggal 15 bulan Jawa atau tepat pada saat malam bulan purnama. Pengajian Mocopat Syafaat Yogyakarta setiap tanggal 17. Kenduri Cinta Jakarta setiap hari Jumat minggu kedua. Gambang Syafaat Semarang setiap tanggal 25. Dan Bangbang Wetan Surabaya berlangsung sehari setelah Padhangmbulan. Itu bagian yang rutinnya, sedangkan hari-hari lainnya ia "ngecer" ditanggap mbarang di berbagai desa dan kota lainnya. Nyaris tanpa henti sejak 25 tahun yang lalu.

Tampaknya tidak ada "kiai mbeling" sekuat dia secara fisik. Kalau ia bisa bertahan sedemikian lama, maka pertanyaannya bisakah ia menjaga kualitas dakwahnya. Itulah masalahnya: semakin hari saya selalu merasa bahwa hanya video youtube-nya saja yang makin banyak. Tapi isi cermahahnya makin ngelantur, makin fiktif, dan jika berbicara histori makin menjauh dari konteks akademis!

Ia tampak makin lelah dan kedodoran, tapi tidak kunjung mau mengaku kalah dan menyerah....

Apa persoalan terbesar Cak Nun? Secara gagasan politik, sebenarnya ia sudah gagal total sejak 1998. Cerita selanjutnya tentu hanya ikutan dan sequelnya saja!

Bagi saya persoalannya paling serius, ketika ia merasa bukan lagi penyair. Ia tidak mau menulis puisi lagi! Padahal sehebat-hebatnya Cak Nun di bidang lain, bagi saya kekuatan terbesar adalah di bidang puitik!

Tapi ia sudah malu, jengah dan tidak betah lagi berumah di sana. Rumah yang sebenarnya memberi berkah tak terkira bagi kecerdasan, kemurnian, kekritisan, kekayaan hakiki, dan banyak hal yang tak diperolehnya di bidang lainnya....

Selamat Menjalankan Ibadah Puasa, selamat menekuni ayat-ayat suci dengan kejernihan hati. Saya menemani dengan memilih membaca puisi lagi....

***