Persoalan paling serius ketika ia merasa bukan lagi penyair, tak mau menulis puisi lagi, padahal sehebat-hebatnya Cak Nun di bidang lain, kekuatan terbesar adalah di bidang puitik!
Puluhan tahun yang lalu, di Rumah begawan budaya yang paling saya hormati, Pak Kayam di Bulaksumur B-12 kita asyik ngegosip tentang Cak Nun. Rumah Umar Kayam kala itu adalah melting-point terbaik untuk meguru, berguru tentang nyaris semua hal tentang cita rasa baik: sastra, politik, teater, film, dan terutama kuliner dan perempuan.
Bukan masalah besar sebenarnya. Hanya sebuah cerita dari seorang kawan, ketika ia menemui Cak Nun berjalan kaki, bertelanjang kaki menyusur jalanan sepi, jauh sekali dari rumahnya di Selatan kota Jogja. Tentu saja ia sendirian, tapi konon wajahnya kosong. Disapa diam saja, wajahnya menunduk tanpa ekspresi. Tampak beban berat yang menyangga tubuhnya yang mbentoyong, limbung oleh persoalan yang tak seorang pun mengerti.
Lalu pertanyaannya kenapa, ada apa, kok bisa? Cak Nun saat itu mulai dikenal bermain dengan banyak kaki, meninggalkan wilayah kebudayaan yang sebenarnya adalah rumah orisinalnya. Saat itu di tahun 1996-an, rumahnya di Kasihan mulai dikunjungi Prabowo (tentu dengan ekornya yang bernama Fadli Zon) yang saat itu masih seorang jendral yang berpengaruh. Sesuatu yang akhirnya nampak wajar saja, ketika ribut-ribut di hari-hari akhir pemerintahan Suharto, ia tampak sering beredar di Istana Negara.
Untuk ikut menjatuhkan Suharto? Itulah masalahnya, tidak pernah jelas benar! Sebagai seorang aktivis, ia dianggap sebagai seorang yang gigih menentang Pemerintahan otoriter Orde Baru. Bahkan karena banyak kritik kerasnya, baginya menjadi terlalu biasa berurusan dengan Polisi. Tapi benarkah demikian di tikungan terakhirnya itu?
Belakangan teman-teman dekatnya menyadari bahwa justru pada bagian finalnya, ia dianggap "mengkhianati reformasi". Maksudnya? Ia justru dianggap "terlalu" ingin menyelamatkan Suharto!
Ia berubah dari aktifitis pro-reformasi menjadi seorang "king-maker" yang mengatur-atur bagaimana cara Pak Harto sebaiknya turun. Hal yang tidak disukai oleh kelompok Amien Rais cs yang memang tampak sangat ambisius ingin segera "membungkus" Suharto!
Artinya walau hari ini, keduanya tampak "satu kubu", perseteruan antara Cak Nun dan Mbah Amien itu akarnya sudah jauh terjadi sebelum era-era itu. Pasal kenyinyiran AR pada CN, awalnya justru berawal dari gaya hidup CN yang sering bergonta-ganti pacar yang "ndilalah" seleranya selalu artis banget itu! Hal yang dianggap oleh AR sebagai sangat tidak Islami dan mengingkari perjuangannya sebagai figur yang sedari awal menjadi motor pergerakan apa yang disebut "Lautan Jilbab".
Baca Juga: Mungkin Cak Nun "Kesel"
Mungkin pada titik akhir Orde Baru, dan awal Reformasi itulah titik balik terbesar CN, ia sedemikian kecewa karena dianggap "berkhianat" oleh terutama kawan-kawan dekatnya. Atau sebaliknya, ia justru dikhianati oleh teman-teman politiknya di Jakarta. Sedemikian kecewanya beliau, hingga ia bersumpah tidak akan lagi menginjak politik praktis.
Saat itu, ia tidak mendapat jabatan apa-apa, hal yang selalu ia bilang sebagai memang "bukan tujuan, bukan ambisinya". Tapi ia kehilangan sedemikian banyak kepercayaan dari teman-teman aktivis kebudayaan yang selama ini menjadi lingkaran terdekatnya.
Sejak itu pulalah, ia berbelok pada dunia pengajian dengan mengangkut Gamelan Kiai Kanjeng yang akar sebenarnya berawal dari Teater Paku. Kelompok teater yang merupakan "perkawinan jiwa" dedengkot asli teater Jogja paling legendaris antara Teater Gandrik yang abangan dan Teater Dinasti yang sedikit berciri Islami. Mulai saat itu pula, ia memutuskan dengan bahasanya berkhidmat untuk mengurus kemaslahatan umat (baca: wong cilik), wira-wiri ke sana kemari mengadakan pengajian di berbagai kota dan desa.
Di Padhangmbulan Jombang berlangsung setiap tanggal 15 bulan Jawa atau tepat pada saat malam bulan purnama. Pengajian Mocopat Syafaat Yogyakarta setiap tanggal 17. Kenduri Cinta Jakarta setiap hari Jumat minggu kedua. Gambang Syafaat Semarang setiap tanggal 25. Dan Bangbang Wetan Surabaya berlangsung sehari setelah Padhangmbulan. Itu bagian yang rutinnya, sedangkan hari-hari lainnya ia "ngecer" ditanggap mbarang di berbagai desa dan kota lainnya. Nyaris tanpa henti sejak 25 tahun yang lalu.
Tampaknya tidak ada "kiai mbeling" sekuat dia secara fisik. Kalau ia bisa bertahan sedemikian lama, maka pertanyaannya bisakah ia menjaga kualitas dakwahnya. Itulah masalahnya: semakin hari saya selalu merasa bahwa hanya video youtube-nya saja yang makin banyak. Tapi isi cermahahnya makin ngelantur, makin fiktif, dan jika berbicara histori makin menjauh dari konteks akademis!
Ia tampak makin lelah dan kedodoran, tapi tidak kunjung mau mengaku kalah dan menyerah....
Apa persoalan terbesar Cak Nun? Secara gagasan politik, sebenarnya ia sudah gagal total sejak 1998. Cerita selanjutnya tentu hanya ikutan dan sequelnya saja!
Bagi saya persoalannya paling serius, ketika ia merasa bukan lagi penyair. Ia tidak mau menulis puisi lagi! Padahal sehebat-hebatnya Cak Nun di bidang lain, bagi saya kekuatan terbesar adalah di bidang puitik!
Tapi ia sudah malu, jengah dan tidak betah lagi berumah di sana. Rumah yang sebenarnya memberi berkah tak terkira bagi kecerdasan, kemurnian, kekritisan, kekayaan hakiki, dan banyak hal yang tak diperolehnya di bidang lainnya....
Selamat Menjalankan Ibadah Puasa, selamat menekuni ayat-ayat suci dengan kejernihan hati. Saya menemani dengan memilih membaca puisi lagi....
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews