Emas Tumpang Pitu (3): Agung Wardana, “Budi Pego Korban SLAP”

Sabtu, 19 Januari 2019 | 13:35 WIB
0
463
Emas Tumpang Pitu (3): Agung Wardana, “Budi Pego Korban SLAP”
Budi Pego yang dinilai sebagai korban SLAP. (Foto: ForBanyuwangi.ord).

Tambang Emas Tumpang Pitu telah memakan korban. Heri Budiawan alias Budi Pego adalah korban Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP). Itulah yang dikatakan oleh Agung Wardana, SH, LLM, PdD, dosen Departemen Hukum Lingkungan FH UGM.

Hal ini disampaikannya saat dihubungi oleh Tim Media Tim Kerja Advokasi Gerakan Rakyat Untuk Daulat Agraria (Tekad Garuda) via email, Minggu (6/1/19).

Menurut alumni Murdoch University tersebut, di Amerika Serikat, indikasi adanya SLAPP “ditandai” dengan adanya gugatan perdata terhadap individu atau organisasi yang terlibat dalam advokasi atau gerakan yang membela kepentingan publik.

Dalam bahasa agak kasar, bisa dikatakan SLAPP itu tindakan negara “membalas” organisasi atau individu pelaku advokasi dengan cara melayangkan gugatan perdata. Kalau di Indonesia hal itu berbeda. SLAPP di Indonesia bukan dalam bentuk gugatan perdata.

Di Indonesia, SLAPP seringkali mengambil bentuk pembungkaman melalui tuntutan pidana. “Perkara pidana yang dituduhkan pun adalah perkara pidana terhadap keamanan dan ideologi negara yang memiliki dimensi politis sangat kental,” ungkap Agung.

Dan negara dengan otoritasnya menjadi penafsir tunggal atas kejahatan tersebut. Dalam kasus Budi Pego, negara menjadi pemain utama pembungkaman aktivis lingkungan. Padahal dalam kasus lingkungan, “Negara diharapkan hadir menjadi penyeimbang atas ketimpangan relasi kuasa antara rakyat dengan korporasi,” katanya.

Master Hukum Lingkungan lulusan University of Nottingham ini berpendapat, kasus Budi Pego merupakan kasus yang dipaksakan. Agung memandang, “nuansa pemaksaan” dalam kasus ini, salah satunya didorong oleh motif issue transformation (pengalihan Isu).

Artinya, kasus ini didesain untuk mengalihkan isu dan kekhawatiran masyarakat atas dampak penambangan emas Tumpang Pitu. Isu kekhawatiran atas dampak tambang emas, dialihkan menjadi sekadar permasalahan tindak pidana terhadap keamanan dan ideologi negara.

Selain motif issue transformation, ia juga menengarai adanya motif conflict transformation (pengalihan konflik) dalam kasus Budi Pego ini. “SLAPP terhadap Budi Pego dipicu pula oleh motif conflict transformation (pengalihan konflik),” jelas Agung.

Jadi, SLAPP terhadap Budi Pego bertujuan untuk mengarahkan konflik Sumber Daya Alam (SDA) dan lingkungan yang sejatinya bernuansa publik dan sosial, dialihkan menjadi sekadar konflik yang bernuansa pribadi.

“Konflik lingkungan berdimensi sosial, dipersempit jadi konflik antara Budi Pego melawan keamanan dan ideologi negara,” tegas Agung. Menurut Agung, motif forum transformation (pengalihan forum), sambung Agung, juga bisa ditangkap dalam kasus Budi Pego ini.

“Saya menangkap, SLAPP terhadap Budi Pego berupaya untuk mengalihkan forum publik yang digunakan untuk melakukan advokasi dalam membela hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat ke dalam forum pengadilan (yudisial) yang bersifat legal-formal,” katanya.

Secara akumulatif, lanjut Agung, ketiga motif tersebut melayani tujuan strategis yang lebih besar, yakni untuk memecah konsentrasi perjuangan rakyat.

“Tujuan terselubung lainnya adalah menguras energi dan sumber daya para warga penolak tambang emas Tumpang Pitu, mendorong terjadinya demoralisasi perjuangan. Harapannya, perjuangan rakyat melawan penambangan Tumpang Pitu akan meredup, dan korporasi dapat memenangkan konflik ini dengan bantuan negara,” tambahnya.

Berdasarkan telaah tersebut di atas, menurut Agung, semestinya perkara Budi Pego dilihat sebagai perkara SLAPP yang akar penyebabnya adalah konflik SDA dan lingkungan hidup. “Kasus ini adalah SLAPP yang berakar pada konflik SDA,” ungkap Agung.

Maka konsekuensinya, lanjut Agung, ketentuan dan prosedur penanganan perkara semestinya mengikuti kekhususannya.

“Salah satunya, mensyaratkan hakim menggunakan pendekatan judicial activism dengan melakukan penafsiran progresif atas aturan hukum demi kepentingan lingkungan hidup dan keselamatan rakyat. Hal ini sesuai prinsip in dubio pro natura,” kata Agung.

“Namun sayangnya, alih-alih memutuskan berdasarkan judicial activism, hakim dari tingkat pertama hingga akhir justru memutuskan perkara ini berdasarkan ketakutan atas ‘hantu’ komunisme,” jelasnya.

Jika menggunakan bahasa yang lebih lugas, Budi Pego adalah korban SLAPP yang dilakukan oleh korporasi yang meminjam tangan negara. “SLAPP mendera Budi Pego karena Budi aktif dalam gerakan penolakan penambangan emas Tumpang Pitu di Banyuwangi,” tegasnya.

Kasus Budi Pego ini bermula dari sebuah unjuk rasa yang berlangsung pada 4 April 2017. Demonstrasi tersebut dilakukan oleh sejumlah warga penolak tambang emas Tumpang Pitu.

Entah bagaimana awalnya, ada sebuah rekaman video yang menunjukkan keberadaan spanduk dengan gambar serupa palu dan arit di dalam demonstrasi tersebut.

Keberadaan spanduk itulah yang menyebabkan Budi Pego dijerat pasal 107 huruf a UU Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan KUHP yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara.

Walau kemunculan spanduk tersebut di dalam demonstrasi terasa janggal, dan keberadaan spanduk tersebut misterius, pada 15 Mei 2017 Budi Pego tetap ditetapkan sebagai tersangka.

Kemudian, pada 4 September 2017, setelah Kejaksaan Negeri Banyuwangi menyatakan Berkas Acara Pemeriksaan (BAP) telah lengkap, Budi Pego pun ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Banyuwangi.

Warga melakukan aksi penolakan tambang emas di Tumpang Pitu karena meyakini tambang emas akan merusak lingkungan tempat mereka tinggal. Namun perjuangan warga untuk masa depan lingkungan yang baik ini mesti terhambat oleh isu komunisme.

Tak hanya Budi Pego yang didera hembusan isu ini, ada 3 orang warga lainnya yang terbelit tiupan isu ini, hingga polisi juga memeriksa Dwi Ratnasari, Cipto Andreas, dan Trimanto Budi Safaat.

Gunung Tumpang Pitu dibutuhkan warga sebagai benteng alami dari daya rusak tsunami. Tumpang Pitu dan sekitarnya adalah Kawasan Rawan Bencana (KRB).

Sebagai KRB, seharusnya Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu dikonservasi, penambangan di KRB justru menambah angka kerentanan KRB itu sendiri. Karenanya menjadi beralasan jika tambang emas di Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu ditolak.

Seperti dilansir Walhijatim.or.id, demi tambang emas, Ketua MPR Zulkifli Hasan yang saat itu sebagai Menteri Kehutanan, telah mengubah status hutan lindung Tumpang Pitu sebagai hutan produksi.

Pengubahan status ini dilakukan Zulkifli Hasan pada 19 November 2013 dengan menerbitkan surat keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor SK.826/Menhut-II/2013. Dalam surat tersebut, Menhut mengalih fungsi Tumpang Pitu dari hutan lindung menjadi produksi seluas 1.942 ha.

Penurunan status Tumpang Pitu ini dilakukan oleh Menhut setelah ada usulan dari Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas. Pada 10 Oktober 2012, Bupati Banyuwangi lewat surat Nomor 522/635/429/108/2012 mengusulkan perubahan fungsi kawasan hutan lindung seluas 9.743, 28 ha.

Usulan Abdullah Azwar Anas ini direspon Zulkifli Hasan dengan mengalihfungsi Tumpang Pitu seluas 1.942 ha. Alihfungsi ini dilakukan Zulkifli Hasan dengan menerbitkan surat No. SK.826/Menhut-II/2013.

Jelas bukan, mengapa Budi Pego harus diproses hukum dengan modus SLAP?

(Bersambung)

***