Matahari menyengat tanah merah di antara semak dan ilalang nun jauh di Afrika. Di sebuah pusat kesehatan yang nyaris kosong, seorang ibu muda bernama Maria memeluk anaknya, Afonso, yang demam tinggi.
Di dinding, poster tua tentang imunisasi mulai mengelupas. Tapi tak ada lagi vaksin. Tak ada lagi tenaga medis. Tak ada lagi suara generator listrik yang biasa menghidupkan lemari pendingin tempat vaksin disimpan.
Pemerintah Amerika Serikat telah memotong bantuannya.
Afonso terbatuk lemah. Ia tak tahu siapa itu Elon Musk. Atau Bill Gates. Tapi tubuh kecilnya adalah medan tempur dari keputusan-keputusan besar yang diambil ribuan kilometer jauhnya. Di Washington. Di Silicon Valley. Di ruang rapat kekuasaan dan uang.
Hari itu, kematian Afonso tak tercatat di berita. Tapi nyawanya, yang padam di tengah musim kemarau Afrika, menjadi simbol dari perang dua dunia.
Sunyi. Dan menyakitkan.
-000-
Awal Mei 2025, Bill Gates meledak di hadapan media. Dalam wawancara dengan Financial Times dan The New York Times, ia menuduh Elon Musk telah “membunuh anak-anak termiskin di dunia.”
Pernyataan ini bukan metafora. Gates menunjuk langsung pada kebijakan DOGE—Department of Government Efficiency—lembaga yang kini dipimpin Elon Musk di bawah pemerintahan Trump.
DOGE membubarkan USAID, lembaga bantuan luar negeri AS. Ribuan program dihentikan. Jutaan nyawa terancam.
Vaksin hilang. Obat hilang. Harapan pun menguap.
Bagi Gates, ini bukan efisiensi. Ini bencana moral.
Mengapa Elon Musk Mengambil Jalan Itu?
Elon Musk lahir dari logika para penjelajah, bukan dari ruang kelas para moralist.
Bagi Musk, Amerika Serikat dan dunia ini sedang tenggelam. Ia melihatnya seperti kapal tua yang bocor dari segala sisi: korupsi, ketidakmampuan birokrasi, ketergantungan abadi pada subsidi yang tak menghasilkan lompatan.
Dalam pikirannya, bantuan luar negeri telah menjadi ritual yang mahal—dan seringkali tidak efektif.
Ia percaya, jika manusia ingin bertahan, maka ia harus berubah. Secara radikal. Cepat. Dan tanpa beban romantisme masa lalu.
DOGE adalah manifestasi dari keyakinan itu. Potong anggaran. Bubarkan struktur yang lambat. Pindahkan sumber daya ke masa depan: ke Neuralink, ke Mars, ke kecerdasan buatan yang tak kenal lapar.
Ia tidak anti-kemanusiaan—ia hanya percaya bahwa menyelamatkan spesies manusia dalam skala besar lebih penting daripada mempertahankan status quo bantuan yang dianggapnya stagnan.
Ia ingin sejarah mengingatnya bukan karena ia memberi makan satu miliar orang, tetapi karena ia menghindarkan punahnya seluruh umat manusia.
-000-
Kritik Bill Gates atas sikap dan gagasan Elon Musk menggambarkan dua dunia, dua filosofi, dua cara memajukan peradaban.
Mengapa Mereka Berbeda?
Karena mereka lahir dari dua filsafat yang tak berdamai.
Bill Gates tumbuh dalam keyakinan bahwa dunia ini bisa diperbaiki. Bahwa kemajuan moral lebih penting dari kemajuan teknologis. Ia adalah pewaris Kantianisme modern: manusia bukan alat, melainkan tujuan.
Elon Musk mewarisi semangat Prometheus. Mencuri api dari langit, membakar batas-batas. Bagi Musk, yang penting bukan menyelamatkan dunia yang ada. Tapi menciptakan dunia yang belum pernah ada.
Dunia Gates dibangun dari empati.
Dunia Musk dibangun dari imajinasi.
Satu berjalan kaki ke desa-desa.
Yang lain terbang dengan roket.
Lima Perbedaan Mendasar: Dua Jalan, Dua Dunia
1. Memperbaiki Dunia yang Ada vs Menciptakan Dunia yang Baru
Gates percaya perubahan datang dari menguatkan sistem yang ada: pendidikan, kesehatan, air bersih
Musk percaya dunia lama sudah rusak. Solusinya? Menciptakan peradaban baru. Di Mars, di AI, di luar kerangka lama.
2. Nilai Manusia vs Nilai Efisiensi
Gates menghitung nilai nyawa.
Musk menghitung nilai masa depan.
Satu melihat bayi kelaparan sebagai tragedi.
Yang lain melihat koloni antariksa sebagai harapan.
3. Kekuatan Negara vs Kekuatan Individu
Gates menggandeng pemerintah dan institusi internasional.
Musk mengandalkan dirinya, perusahaan-perusahaannya, dan visi tunggal yang melampaui demokrasi.
4. Filantropi Inklusif vs Inovasi Elitis
Gates berbicara di desa-desa India dan Kongo.
Musk berbicara pada para insinyur SpaceX dan pengikut Twitter-nya.
Satu membagikan vaksin.
Yang lain meluncurkan satelit.
5. Evolusi Bertahap vs Revolusi Teknologis
Gates perlahan menaikkan kualitas hidup.
Musk ingin melompat keluar dari sejarah.
Satu memperbaiki rumah.
Yang lain membangun pesawat keluar dari rumah.
Siapa yang Benar?
Itu pertanyaan yang tak bisa dijawab dengan angka.
Karena ini bukan soal statistik. Ini soal hati.
Jika kita percaya bahwa tugas manusia adalah menyembuhkan luka sesamanya, maka Gates adalah jalannya.
Jika kita percaya bahwa tugas manusia adalah melampaui kodratnya dan menembus langit, maka Musk adalah jawabannya.
Tak ada pemenang mutlak.
Hanya cermin: siapa kita dan ke mana kita ingin membawa peradaban.
-000-
Di satu sisi dunia, Bill Gates mengkritik keras bantuan yang dihapuskan. Di sisi lain, Elon Musk menatap layar, menghitung detik peluncuran roket ke orbit. Dua tangan. Dua takdir. Dua langit.
Tapi jangan salah.
Dunia tidak hanya dibangun oleh mereka yang bermimpi. Tapi juga oleh mereka yang menyembuhkan.
Kita butuh Musk untuk memimpikan langit.
Tapi kita juga butuh Gates untuk menjaga bumi tetap berdenyut.
Afonso, anak kecil yang tak sempat tumbuh dewasa, adalah pengingat bahwa masa depan bukan hanya tentang bintang. Tapi juga tentang tubuh kecil yang demam di pelukan ibunya.
Dan mungkin, peradaban sejati bukan tentang memilih antara Gates dan Musk.
Tapi tentang mendamaikan keduanya.
Agar ketika kita menatap langit, kita tak melupakan bumi.
Dan ketika kita membangun masa depan, kita tetap mengulurkan tangan ke yang tertinggal.
Karena kadang, satu nyawa yang tertolong,
lebih berharga daripada seluruh koloni di Mars.
***
Jakarta, 11 Mei 2025
CATATAN:
[1] Bill Gates: Elon Musk ‘killing the world’s poorest children’ with USAID cuts. New York Post. 8 Mei 2025.
-000-
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews