Filsafat Etika

Ghazali dan Kant selalu ingin berada di alam "noussphere" dibanding sibuk dalam tetek bengek publiksfer dan privatsfer.

Selasa, 28 Desember 2021 | 12:36 WIB
0
253
Filsafat Etika
Buku Filsafat Etika (Foto: dok. Pribadi)

"Kehendak baik (Wohlwollen) tampaknya merupakan kondisi yang tidak bisa digantikan, meskipun harganya adalah bahagia." (Immanuel Kant, Grundlegung zur Methaphysik der Sitten,1785;2004).

"Musuh yang pandai lebih baik dari sekutu yang pandir" (Al-Ghazali,1058-1111).

Seluruh tradisi filsafat kuno (Yunani) sebagai muasalnya telah menghasilkan tiga ilmu pengetahuan dasar: fisika, etika dan logika.

Dari ketiga dasar filsafat ini tumbuhlah berbagai ilmu pengetahuan, termasuk sains dan teologi yang keduanya akan bersentuhan langsung maupun tidak dengan persoalan etika.

Semangat untuk terus memperbaiki perkembangan umat manusia di manapun pada akhirnya akan dilecut oleh kedigdayaan sains yang dihasilkan dengan riset dan kalkulasi ilmu fisika via teknologi sebagai ukuran standar kuantifikasi dan teologi dengan praksis kualitatif yang argumentatif (adequatio) dan demonstratif (burhani) bahkan irfani (teofani) sebagai wujud kebaikan umum (summun bonum).

Teologi sebagai ilmu pengetahuan yang bersumber dari filsafat etika (etos) terus dikembangkan menjadi ke ranah yang lebih umum sebagai persoalan moral (Sitten) atau "akhlaqi( أخلاقي) dalam terminologi Ghazalian.

Antara moral (akhlak) atau etika, para filsuf dari zaman manapun, terutama melalui Al-Ghazali pada abad kesepuluh yang hidup di timur (Irak) dan Kant(1724-1804) yang hidup di Barat (Eropa Jerman), memiliki perspektif yang berbeda meski dasar pemikiran mereka dilandaskan pada sumber aqliyah (rasionalitas) dan naqliyah (wahyu) sebagai titik pangkal filsafat keduanya.

Atas dasar itu, Prof. Dr. M. Amin Abdullah (68), guru besar ilmu filsafat UIN Kalijaga Yogyakarta, telah melakukan kajian filsafat perbandingan ihwal etika Ghazalian dan Kantian sebagai disertasi (S3) di universitas Ankara (Turki) dengan tajuk "The Idea of Universality of Ethical in Ghazali and Kant" (1990).

Disertasi Abdullah yang diterjemahkan penerbit IRCiSoD "Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam" (2020) ini merupakan sebuah kajian terhadap filsafat etika universal yang dirujuk pada filsuf kaliber dan berpengaruh di seluruh dunia hingga kini, Ghazali dan Kant.

Dari Ghazali dari abad kesepuluh diperoleh pengetahuan filsafat etika yang menerobos ketimpangan-ketimpangan seluruh tradisi filsafat yang bertitik tolak pada praktek akal (rasio) semata dan ia coba patahkan dalam dua karya utamanya, "Tahafut al Falasifah"(Inggris: Incoherence of Philosophy) dan "Al-Munqidz min Al-Dhalàl" (Inggris, M.Watt, The Faith and Practice of Al-Ghazali).

Meski dalam persoalan filsafat etika, Ghazali merampungkan universalitas filsafatnya dengan paduan "akal budi praktis" (meminjam Kantian) dan "etika umum" dalam "Ihyâ-Ulûm Al-Din" (Inggris: The Revival of the Religious Science).

Intinya, filsafat etika Ghazali apapun sumber-sumber pemikirannya, setidaknya simpulan Abdullah, merupakan "kerjasama" antara "etika wahyu" (naqli) dan "etika rasional" (aqli) yang secara umum bisa dilaraskan pada praktek etika publik yang dewasa ini terus merosot dan diakibatkan oleh krisis multi dimensi dalam kehidupan publik (publicsphere).

Pada Kant, tilikan disertasi Abdullah, tak lepas dari tradisi rasionalisme Barat sejak "res cogitans" Descartes (1596-1650) memuncak dan dikembangkan oleh Kant melalui dua karya utamanya, Kritik Akal Budi Murni (Kritik der reinen Vernunft) dan Kritik Akal Budi Praktis (Kritik der praktischen Vernunft). 

Namun secara khusus, problem filsafat moral dan etika Kant lebih didasarkan pada sumber dasar metafisika moral (Methaphysik der Sitten) yang berlandaskan pada pengetahuan mora umum sebagai "gemeine Vernunfterkenntnis" (pengetahuan rasional umum). 

Dengan landasan ini dan kedalaman filsafat Kantian beranggapan semua etika dasarnya "fitrah" (sittlich, rein) pada manusia. Memeriksa wahyu maupun akal (rasio) pada galibnya akan berurusan dengan kehendak baik. Tanpa dasar kehendak baik (Wohlwollen) "Kekuasaan, kekayaan, kehormatan, bahkan kesehatan, kesejahteraan umum dan kepuasan akan kondisi seseorang yang disebut kebahagiaan (Glück) membuat bangga (stolz) dan bahkan kesombongan (Arroganz) jika tidak ada kehendak baik untuk memperbaiki pengaruhnya pada pikiran dan prinsip-prinsip perbuatannya."

Karena itu, kehendak baik Kantian atau "nāwaitu hasana" (نية حسنة) Ghazali menjadi pangkal dan prinsip dasar bagi semua problem filsafat moral sebagai suluh dan panduan tindakan etika (praktische Ethik) dan muskilnya, kedua filsuf filsuf kaliber ini memusatkan tradisi seluruh filsafat etika pada tujuan utama dan mendalam kehidupan (Sitten) pada "teologi metafisik" yang sepenuhnya hanya bisa dipahami dalam mistisisme (Urleben).

Bukan Ghazali dan Kant, dua figur yang selalu soliter atau menjauh dari kemaruk kehidupan publik. Mereka berdua selalu ingin berada di alam "noussphere" dibanding sibuk dalam tetek bengek publiksfer dan privatsfer.

ReO Filsawan

***