Arrivederci Rossi

Sebagai guru yang baik, tentu Valentino Rossi ingin tahu sampai sejauh mana usaha para kadernya menggenggam kejayaan.

Selasa, 16 November 2021 | 16:13 WIB
0
376
Arrivederci Rossi
Tales Modif Blog

Bertahan dalam balapan, kata Valentino Rossi, bukan hanya tentang fokus dan kedisiplinan, tapi juga soal seni dan kejiwaan. Seorang pembalap, tidak bisa terus-menerus mengurung pikiran tentang balapan saja. Menurut Rossi, seorang pembalap mesti punya ruang untuk melegakan pikiran dan mengasah perasaan. Dengan cara itulah Rossi bisa bertahan lama di arena balap sampai 25 tahun lamanya.

Membalap, butuh sebuah kenyamanan timbal balik antara seorang pembalap dan motornya sendiri. The Doctor -panggilan Rossi-, mengatakan bahwa motor bukan hanya semacam kuda pacuan; motor membutuhkan kasih sayang. Maka itu, sebelum memacu motornya, Rossi selalu mengajak motornya berbicara. Mereka seakan-akan  saling memahami. Bagi Rossi, menjalin hubungan baik dengan motor akan memudahkan balapannya.

Hubungan antara Rossi dan motornya menghasilkan kejayaan sekaligus keunikan. Salah satu keunikan itu terjadi pada medio 2005 di balapan edisi Jerez, Spanyol. Situasinya waktu itu balapan tinggal menyisakan sekian lap, tapi Rossi masih ketinggalan dari Sete Gibernau. Mendekati suatu tikungan, ia menempel Gibernau dan tiba-tiba kaki bagian dalamnya bergelayut ketika hendak melalukan cornering. Akhirnya Rossi berhasil melewati Gibernau. 

Stoner dan Hayden yang di belakangnya sempat terkejut melihat itu. Namun publik memujinya saat balapan berakhir. Selama sekian pekan setelah kejadian itu, publik balap motor gempar. Gaya berkendara itu lantas melekat sebagai salah satu ciri khas seorang Valentino Rossi. Bahkan, nyaris semua pembalap hebat kini mengikuti gaya Rossi, salah satunya oleh para rider motorcross.

Saat ditanya pers, Rossi mengaku gaya itu berawal dari ketidaksadaran. Ia tidak pernah bermaksud merencanakan hal-hal yang merugikan rider lain. ”Itu tak sengaja. Ini reaksi alami, karena dengan cara itu aku bisa mengerem lebih dalam dan rasanya aku bisa menambah sedikit hentakan pada setang motor sehingga bisa menstablikan motor ketika masuk tikungan.”

Menurut beberapa pengamat, dengan cara itu para rider bisa masuk tikungan dengan cara yang aman. Selain membuat kaki lebih relaks, gerak tubuh seperti itu memberi kesempatan bagi otak untuk memikirkan siasat di tikungan selanjutnya. Dengan itu juga, ketika akan memasuki tikungan, beban tubuh pembalap cenderung bertumpu di depan, dan posisi badan jadi lebih santai dalam melakukan braking.

Orang-orang bilang, keunggulan teknik membalap Rossi terletak pada kehati-hatiannya dalam mengerem. Rossi handal melakukan late braking ketika memasuki tikungan dan peka melihat kesempatan di tengah kesempitan. Maka itu, tikungan sirkuit menjadi santapan empuknya. Dalam situasi itu, semua pembalap akan mempertaruhkan kecepatannya; mereka akan menakar kecepatan dan mengambil celah di waktu yang tepat.

Kendati tampilannya terkesan urakan dengan rambut kusut-mawut dan tindik di telinga, di sirkuit ia cenderung terlihat stabil dan penuh teknik. Rossi bukan hanya membalap bermodal kecepatan, tetapi juga mengutamakan keseimbangan. Apabila diumpamakan dalam sepak bola, gaya balap Rossi seperti catenaccio Italia, di mana menang adalah yang utama, adapun hal-hal lain seperti gaya dan keindahan jadi urusan belakangan.

Karakternya dalam mengutamakan teknik dan berhati-hati itu tentu berasal dari sebuah pengalaman. Sejak muda, ia mengaku sudah berhati-hati, meski kadangkala ugal-ugalan dan itu sebab dipicu sesuatu. Ia memprioritaskan kehati-hatian dalam membalap setelah belajar dari ayahnya, Graziano Rossi, yang juga seorang pembalap motor Grand Prix Italia di era 1970-an.

Pada masa itu, ayahnya seorang pembalap yang cukup terkenal di Italia. Namun, ia terkenal dengan gaya balap ugal-ugalan. Di lintasan balap, ayahnya beberapa kali mengalami kecelakaan. Semasa bocah, Rossi menyaksikan sendiri kejadian itu. Ketika mulai merintis karir balapnya, ia selalu terngiang-ngiang dengan pengalaman ayahnya. Bahkan ayahnya sendiri sempat mengarahkan Rossi ke balap mobil, agar apa yang ia alami tak berulang pada anaknya di masa depan.

Rossi sendiri sempat mengatakan, ”Pengalaman membalap Graziano, tak mendarah dalam diriku. Aku sangat khawatir dengan gaya balap seperti itu.”

Namun, pada suatu momen, insting liar Rossi bisa muncul bila ada yang mengusiknya. Marquez, yang menjadi kompetitor sengitnya pernah merasakan itu. Motornya pernah terhempas dari sirkuit, sebab kaki Rossi menerjang motornya setelah ia berulang kali menempel The Doctor secara serampangan pada balapan di Sepang, Malaysia 2015 silam. Sehabis edisi itu Rossi mendapat penalti, tapi ia tampak tidak ada sesal sama sekali. Mungkin bagi Rossi, itu sepadan atas apa yang Marquez lakukan padanya.

Sementara itu, pertarungan legendaris Rossi terjadi saat beradu urat syaraf dengan Max Biaggi dalam balapan edisi Suzuka musim 2000. Saat itu, Rossi tak segan mengacungkan jari tengahnya terhadap Biaggi yang lebih senior. Rossi berang lantaran Biaggi berusaha mendorong Rossi ke area gravel trek dengan kecepatan tinggi. Maka itu, mereka berdua lama tak bertegur sapa, dan boleh dibilang terus-terusan bersitegang, baik di dalam atau di luar sirkuit.

Kontroversi lain pernah dialami sendiri oleh Jorge Lorenzo, rekan satu tim sekaligus kompetitor dalam satu bendera pabrikan motor, Yamaha. Pembalap Spanyol peraih tiga gelar juara itu merasakan sendiri bagaimana tekanan psikologis dari Rossi terasa begitu kuat. Sampai akhirnya ayah Lorenzo turun tangan membela anaknya. Menurut ayah Lorenzo pada waktu itu, Rossi menyerang mental anaknya, sebab ia tak mau Lorenzo dianakemaskan oleh Yamaha. 

Sederet cara Rossi mengatasi adu urat syaraf itu tentu sudah berurat dalam dirinya, sebab ia adalah seorang Italiano. Seorang Italiano yang baik, paham cara menundukkan lawannya dengan usaha apapun. Mereka yang terlahir sebagai Italiano tentu belajar Furbizia, sebuah seni tipu muslihat untuk mengelabui lawan melalui pendekatan teknis, taktis, dan psikologis. Furbizia membolehkan cara-cara licik untuk mengalahkan lawan, asalkan kemenangan bisa ia peroleh.

Kini, dengan Furbizia atau segala kegemilangan tekniknya, Rossi mau tak mau harus mengalah pada keadaan. Masanya sudah habis. Fisiknya, di usia yang menginjak kepala empat, sudah tak bisa mengimbangi para rider lain yang semakin cepat dan punya gaya balap yang lebih radikal. Di masa kini, manakala para rider terbiasa menikung dengan tajam, dan membutuhkan kekokohan gerak tubuh lantaran motor semakin susah dikendalikan, banyak orang bilang, Rossi sudah habis.

Benar, Rossi sudah habis. Tapi semua orang juga tahu, ia hendak menutup ceritanya dengan akhir yang manis. Lagipula ia bisa tenang pensiun karena sudah mewariskan banyak sekali cerita dan peninggalan, salah satunya adalah sekolah balapnya, VR 46. Dari sekolah balap itu, Rossi telah membesut sembilan anak didik yang berkiprah di semua kelas Moto GP. Sebagai guru yang baik, tentu ia ingin tahu sampai sejauh mana usaha para kadernya menggenggam kejayaan. 

Rossi, sudah menorehkan sembilan gelar juara dunia dari pelbagai kelas (125 cc, 250 cc dan 500 cc/ Moto GP), berganti tiga motor pabrikan (Honda, Yamaha, Ducati) dan menutup karir balapnya di Valencia, dua hari lalu di tanggal cantik, (14-11-21). Sebuah akhir yang dramatis, ia menggoreskan tinta sejarah dan menempatkan dirinya sebagai legenda hidup dunia balap motor. Secara turun-temurun, ia akan lama dikenang, sebagai pebalap kharismatik, tapi juga jenius dan menyenangkan untuk disaksikan. Arrivederci Rossi

***