Bangsa yang Mendengar Nuraninya

Nurani mungkin bukan suara Tuhan, tetapi ia kerap menjadi suara alam semesta yang terus memanggil kita ke arah kebaikan.

Minggu, 27 September 2020 | 05:47 WIB
0
201
Bangsa yang Mendengar Nuraninya
Ilustrasi (Foto: rumahfilsafat.com)

Kekuasaan memang menjadi ujian dari kepribadian. Orang saleh bisa menjadi kejam, ketika memegang kekuasaan. Orang jujur berubah menjadi koruptor kelas kakap, ketika meraih kekuasaan. Moral, agama dan hukum tampak tak cukup untuk mencegah hal ini untuk terus terjadi.

Di Indonesia, pola serupa dengan mudah ditemukan di depan mata. Para wakil rakyat yang tidak mewakili rakyat. Mereka menjadi raja-raja kecil yang korup dan gila hormat. Penguasa yang dipilih rakyat pun kerap kali bertindak memperkaya diri, sambil terus menyengsarakan rakyat.

Dengan mudah pula ditemukan guru yang membunuh pendidikan. Guru tersebut menekankan kepatuhan buta dan kecenderungan berpikir seragam di antara murid-muridnya. Ia pun cenderung gila hormat, dan tersinggung dengan perbedaan sudut pandang. Tak heran, mutu pendidikan di Indonesia adalah salah satu yang terendah di dunia.

Di bidang ekonomi, pola serupa juga ditemukan. Para ahli ekonomi tidak membangun tata ekonomi yang berpijak pada keadilan sosial. Sebaliknya, kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin terus bertambah lebar. Mereka pun sibuk memperkaya diri, sambil mengabaikan kemiskinan maha besar di depan matanya.

Tak jarang pula di Indonesia, pemuka agama menipu umatnya. Surga dan neraka dimainkan untuk menipu orang-orang yang berpikiran lemah. Dalam proses, si pemuka agama semakin kaya raya di tengah kemiskinan pengikutnya. Agama, seperti diungkapkan oleh Karl Marx, menjadi candu yang menipu masyarakat luas atas ketidakadilan di depan matanya.

Yang paling menyakitkan mungkin di bidang kesehatan. Orang-orang yang dipercaya masyarakat untuk merawat dan menyembuhkan tubuh kini cenderung menjadi penipu ulung. Harga obat dibuat setinggi mungkin, supaya para dokter bisa memperkaya diri dari industri farmasi. Bahkan, pandemik COVID 19 dijadikan ajang pencarian untung untuk memperkaya para pemilik rumah sakit maupun perusahaan obat yang sebelumnya sudah kaya raya.

Semua ini bisa dicegah dengan cepat, asal para penegak hukum menjalankan tugasnya. Namun, yang terjadi kerap kali sebaliknya. Penegak hukum justru mengabaikan banyak pelanggaran, karena disuap. Ketika hukum bolong oleh korupsi, kolusi dan nepotisme, masyarakat akan terancam hancur oleh perpecahan, karena ketidakadilan.

Nurani

Moral dan hukum memang menjadi tak berdaya di masyarakat yang mutu budaya dan penegak hukumnya lemah. Benteng terakhir pertahanan dari sikap beradab hanyalah nurani. Ini yang mendorong orang menjalankan tugas dan kewajibannya untuk melayani manusia lain, walaupun tanpa penghargaan dan kontrol dari pihak lain. Apa itu nurani?

Nurani berasal dari kata latin Conscientia. Artinya adalah pengetahuan yang dibagikan. Ini mengacu pada pengetahuan moral yang dimiliki manusia di dalam dirinya. Ini juga merupakan kemampuan orang untuk menilai dirinya sendiri, apakah ia sudah menjadi manusia yang baik, atau belum.

Ketika sistem politik dan hukum lemah, nurani menjadi satu-satunya harapan. Kebaikan tak muncul dari kepastian hukum ataupun kekuatan sistem, tetapi dari dorongan hati pribadi untuk bertindak tepat di dalam keadaan tertentu. Nurani menjadi semacam kompas moral yang memaksa orang untuk berbuat baik di dalam setiap keadaan. Ia bisa diabaikan sementara, namun akan terus berteriak, sampai ia diikuti.

Mengingkari nurani menciptakan tegangan di dalam diri. Kesulitan tidur bisa terjadi. Ini lalu dibarengi dengan berbagai macam penyakit, dari penyakit badan sampai dengan penyakit pikiran. Kecanduan narkoba juga kerap kali muncul, karena orang terus mengingkari nuraninya secara berkepanjangan.

Beberapa pemikir melihat nurani sebagai suara Tuhan. Tuhan berbisik pada manusia lewat nuraninya. Ia tidak membiarkan kesalahan dan kejahatan terus terjadi. Orang hanya perlu mendengar nuraninya untuk mendengar Tuhannya.

Beberapa pemikir lain melihat nurani sebagai suara moral masyarakat. Nurani adalah cerminan dari apa yang baik dan apa yang buruk di dalam masyarakat tertentu. Ia bersifat relatif. Pemikir Austria, Sigmund Freud, menyebut ini sebagai Super Ego.

Di dalam pemikiran Asia, nurani adalah suara kesadaran murni di dalam diri. Kesadaran murni ini adalah jati diri manusia yang sebenarnya. Ia berada sebelum pikiran dan emosi muncul. Di dalam kesadaran murni, segala sesuatu di alam semesta adalah satu dan sama.

Moralitas lahir dari kesadaran semesta semacam ini. Ia bukanlah sekumpulan perintah yang mesti dipatuhi. Ia bukanlah seperangkat tradisi yang mesti disembah, tanpa tanya. Dengan kesadaran ini, perbuatan baik terhadap semua mahluk mengalir, seolah orang menolong dirinya sendiri, tanpa pamrih ataupun hitung-hitungan semu tentang surga dan neraka.

Darurat Nurani

Jelaslah bahwa Indonesia kini darurat nurani. Terlalu banyak orang mengabaikan nuraninya. Mereka melihat keluar, dan mengikuti cara berpikir lama yang korup secara buta, tanpa pertimbangan kritis. Sudah saatnya, pendidikan nurani menjadi perhatian bersama.

Mendidik nurani adalah bagian penting di dalam spiritualitas. Ada tiga hal yang penting diperhatikan. Yang pertama adalah mendidik rasa malu. Orang diajarkan untuk merasa malu pada dirinya sendiri, jika ia berbuat salah, atau melanggar hukum.

Yang kedua adalah mendidik rasa pantas. Orang diajarkan untuk paham perannya di dalam masyarakat. Menjalankan peran tersebut secara baik adalah bagian dari kepantasan sebagai manusia yang hidup. Jika ia gagal, terutama karena sengaja, maka ia pun merasa tak pantas sebagai manusia yang bermartabat.

Yang ketiga adalah memberikan ruang kebebasan. Pendidikan Indonesia amat sangat otoriter. Hafalan dan kepatuhan pada keseragaman diajarkan. Sikap kritis, rasionalitas dan analitis lenyap ditelan sistem yang bobrok.

Ruang kebebasan diperlukan, supaya orang bisa menjaga jarak dari budaya dan sistem yang korup. Orang lalu belajar untuk melihat ke dalam diri, dan mendengar nuraninya. Di awal, kebebasan memang tampak menakutkan. Namun, ia akan menciptakan batas-batasnya sendiri, dan melahirkan perubahan yang dibutuhkan di dalam masyarakat.

Harapannya, Indonesia menjadi bangsa yang mendengar nuraninya. Sistem dan budaya boleh korup. Namun, jika kita masing-masing terbiasa mendengar nurani yang berteriak, perubahan dalam skala besar bisa dilakukan, tanpa kekerasan. Nurani mungkin bukan suara Tuhan, tetapi ia kerap menjadi suara alam semesta yang terus memanggil kita ke arah kebaikan.

Cobalah dengarkan dengan seksama.

***