Cak Nur, Natal dan Sejarah Dukacita Para Ibu

Perayaan Natal dalam konteks agama maupun mengenang dukacita para ibu yang kehilangan bayi merupakan ruang peneguhan makna keimanan dan kesalehan sosial sekaligus menjaga ingatan.

Sabtu, 26 Desember 2020 | 20:05 WIB
1
442
Cak Nur, Natal dan Sejarah Dukacita Para Ibu
Pict by sesawi.net

Mario F.Lawi dalam esainya “Sebuah Duka Cita di Balik Perayaan Natal” mengulas alur historis natal melalui penyataan Matius dan Lukas tentang kisah kelahiran Yesus yang bukan saja sukacita karena Mesias lahir melainkan cerita penolakan dan kematian.

Raja Yudea, Herodes tampak sangat kaget dan getir saat mendengar para Majus datang ke Yerusalem untuk menyembah seorang bayi, Yesus. Sebagai seorang raja kala itu, tentu ia memiliki pesaing dan baginya itu merupakan sebuah tanda bahaya tersendiri.

Herodes memutuskan untuk mengumpulkan para ahli Taurat dan mencaritahu keberadaan Mesias dan selanjutnya memanggil para Majus untuk meminta mereka mengabarinya setelah mereka menemukan Yesus.

Setelah Majus menemukan Yesus, mereka diperingatkan lewat mimpi agar tidak mengabari Herodes tentang keberadaan Yesus sehingga para Majus pulang lewat jalan lain dan tentunya tidak menuruti permintaan Herodes sebelumnya untuk mengabarinya jika mengetahui keberadaan Yesus.

Mendengar kabar bahwa para Majus kembali ke negerinya dan telah bertemu Yesus, Herodes pun murka karena ia merasa dikhianati oleh para Majus dan yang paling penting, saingannya ternyata seorang bayi.

Selanjutnya Herodes memerintahkan pasukannya untuk membunuh semua anak bayi yang ada di Betlehem dan sekitarnya. Berkat mimpi Yusuf, ayah dari Yesus, yang diminta oleh malaikat untuk mengungsi ke Mesir, Yesus pun selamat dari kemurkaan Raja Herodes.

Selain daripada ancaman dari Raja Herodes untuk membunuh Yesus juga terdapat kisah memilukan lainnya yakni saat dilahirkan Yesus telah mengalami penolakan dari sekelilingnya bahkan ditolak dari kampungnya sendiri. Maria dan Yusuf, orang tua Yesus, tak mendapat tempat di penginapan.

Di balik cerita dan perayaan Natal terdapat dukacita mendalam, tentang penolakan Yesus dari lingkungannya dan tentunya duka ibu-ibu yang meratapi kehilangan anak-anaknya di Betlehem akibat ulah dari Raja Herodes. Lampu-lampu, pohon cemara dan kado-kado natal merupakan bentuk penyamaran dukacita ibu-ibu yang kehilangan anaknya.

Perayaan Natal dan kekangan ruang-ruang untuk sekedar mengenang dukacita nampak masih menjadi prahara tersendiri di Tanah Air kita khususnya di berbagai daerah. Padahal Natal bukan hanya tentang kelahiran Yesus sebagai Tuhan dari agama Kristen melainkan juga tentang pengasingan dan tragedi kemanusiaan yang menimpa ribuan bayi kala itu.

Makna Teologis

John Drane dalam “Memahami Perjanjian Baru: Pengantar historis-teologis” menuliskan Kelahiran Yesus yang ditulis dalam Injil Perjanjian Baru yakni pada kitab Matius 1:18-2:23 dan Lukas 2:1-21. Dalam kedua cerita dalam kitab ini tidak mempunyai paralel tetapi mempunyai waktu yang berkesinambungan mengenai kelahiran Yesus. Masing-masing menceritakan kejadian yang sama dengan sudut pandang yang berbeda.

Injil Matius dari sudut pandang Rasul Matius yang adalah seorang pemungut pajak menceritakan perihal kedatangan orang majus yang mencari dan menyembah “raja” yang baru lahir, serta mempersembahkan hadiah yang mahal.

Sedangkan Injil Lukas dari sudut pandang Lukas yang adalah seorang dokter menceritakan kisah ini dengan lebih detail, termasuk adanya malaikat dan kedatangan gembala domba yang menyembah bayi Yesus di palungan, secara lebih kronologis. Injil Lukas tidak menuliskan mengenai orang-orang majus dari Timur, tetapi menceritakan tentang kelahiran Yohanes Pembaptis yang terjadi sekitar 6 bulan sebelum kelahiran Yesus, termasuk wujud dari penampakan malaikat Gabriel yang menyampaikan terlebih dahulu kepada Zakharia, ayah Yohanes Pembaptis.

Yesus dikatakan sebagai putra Tuhan yang jika digaungkan dengan perkara aqidah dalam Islam tentu akan merujuk pada konsep Ketuhanan Yang Maha Esa, Zat Tunggal, tidak beranak dan tidak diperanakan.

Sementara Nurcholish Madjid dalam beberapa literaturnya termasuk Islam Doktrin dan Peradaban acapkali menyebutkan bahwa manusia adalah manifestasi Tuhan di bumi, ada nilai-nilai Ketuhanan dalam diri manusia. Baik melalui analogi putra maupun anak dan yang menjadi inti adalah manusia maka terdapat nilai-nilai Ketuhanan dalam dirinya. Tidak serta merta Yesus sebagai putra Tuhan dimaknai hanya pada wilayah tektual, perlu juga dimaknai secara mendalam melalui proses penelaahan.

Sementara itu, kisah lain di balik perayaan Natal adalah ruang mengenang dukacita para ibu yang kehilangan bayinya di Betlehem akibat kemurkaan dari Raja Herodes yang menjadikan Yesus sebagai saingannya. Mengucapkan Natal oleh orang muslim dapat dikategorikan sebagai ungkapan empati dan dukacita terhadap para ibu yang kehilangan bayinya di masa lalu sekaligus arena merawat ingatan tentang peristiwa tersebut.

Melarang perayaan Natal sebagai ruang mengenang dukacita para ibu yang kehilangan bayinya di Betlehem secara tidak langsung melegitimasi amnesia sejarah dalam diri kita masing-masing. Selanjutnya, jika pelarangan tersebut dilatarbelakangi persoalan agama atau keyakinan maka perlu digarisbawahi secara bersama bahwa meskipun kita tidak seagama jika agama dianggap sebuah lembaga namun kiranya kita masih seiman dalam kemanusiaan.

Setiap agama khususnya Islam mengajarkan nilai-nilai ketauhidan dan kesalehan kepada seluruh pengikutnya. Dikutip dari “Cak Nur dan Pemikiran yang Melampaui Zamannya” mengenai prinsip kesalehan dalam Islam, teks yang menyebutkan supaya umat muslim berlaku adil (Al-Maidah: 8-10), peduli terhadap sesama (Al-Maun: 1-7), larangan saling bermusuhan (Al-Hujurat: 12) serta merajut kebersamaan antar sesama (Al-Hujurat: 10).

Oleh karenanya, perayaan Natal baik dalam konteks agama umumnya maupun ruang mengenang dukacita para ibu yang kehilangan bayinya khususnya merupakan ruang untuk meneguhkan makna keimanan dan kesalehan sosial sekaligus untuk menjaga ingatan.

***