Masih teringat sekitar tahun 2005 hingga 2007 di Kota Kembang Bandung, saat itu saya masih menjadi mahasiswa Sarjana di ITB, dan menjadi penyanyi jalanan yang juga manggung dari kafe ke kafe untuk mencari sesuap nasi.
Lagu-lagu yang diciptakan Penyanyi dan Musisi idola saya: Glenn Fredly, yang selalu saya bawakan, mulai dari: “Januari”, “Kasih Putih”, “Akhir Cerita Cinta”, hingga lagu etnik ambon yang dipopulerkan beliau, seperti: “Rame-rame”, dan “Toki-toki Gaba-gaba”.
Masih teringat jelas kala tampil di Kampus, atau di jalan saat mengamen, dan di Kafe saat manggung, saya menggunakan baju putih, dengan jaket “ngatung”, topi ala pelukis Italia, dan satu anting menempel di telinga kanan saya. Semuanya terinspirasi dari gaya berpakaian Glenn Fredly saat itu.
Muka saya yang coklat gelap, dengan raut wajah Indonesia timur, dengan badan cungkring dan senyum lebar dengan rahang khas Papua semakin memperkuat asosiasi saya dengan Penyanyi asal Maluku tersebut.
Glenn saat itu, bukan hanya menjadi inspirasi bernyanyi dan bermusik saya. Akan tetapi, lebih dari itu, keberadaannya membuat saya, anak Indonesia Timur, yang saat itu sedang berjuang di Tanah Rantau yang jauh, memiliki kepercayaan diri kembali, untuk terus berjuang meraih cita dan mimpi.
Kemunculan Glenn menjadi oase energi untuk meraih cita-cita, bagi saya, di tengah-tengah glorifikasi Role Model dan figur publik Indonesia, yang sebagian besar berwajah Melayu atau Oriental ala-ala: Nicholas Saputra, atau Afgan, yang sulit saya jadikan inspirasi dan asosiasi, karena saya merasa: “Saya tidak setampan dan semeyakinkan mereka”.
Rambut Ikal Glen Fredly kala itu (sebelum kemudian dia lebih sering memakai Topi), rahang tirusnya, membuat saya yang sering panggil : “Kribo” dan “Monyong”, yang awalnya mengaitkan kedua panggilan tersebut dengan ejekan, berubah seketika rasanya, ketika mendengar kedua kata tersebut, bak menerima sanjungan.
Warna kulit Glenn Fredly, yang gelap, mengubah pandangan saya bahwa hitam juga ternyata macho dan keren. Awal-awalnya ketika saya dipanggil: “Si Billy Hitam”, saya akan menunduk dan berlari, malu dan rendah diri. Kemudian, tampilah seorang Glenn Fredly, saya akan menoleh dan tersenyum ramah sambil merespons panggilan tersebut dengan hati yang positif.
Tahun 2006 adalah tahun dimana sebuah film yang sangat memotivasi, hasil karya produser asal Indonesia Timur: Ary Sihasale, keluar di bioskop dan memenangkan beberapa kategori Piala Citra. Film tersebut berkisah tentang perjuangan seorang anak Papua di pegunungan, yang bernama: Denias, menempuh Pendidikan setinggi-tingginya.
Pemeran film tersebut: Albert Fakdawer, putra Asli Papua, yang juga adalah seorang penyanyi, sebelumnya sempat berkolaborasi dengan Glenn Fredly, meluncurkan lagu: “Salam Bagi Sahabat”. Kekompakan mereka berdua di video clipnya, dan kesuksesan lagu tersebut menjadi trending kala itu, semakin mengangkat energi saya untuk percaya kembali kepada diri dan asal saya.
Tahun lalu, ketika terjadi sebuah insiden berbau rasisme, yang mendorong kampanye-kampanye: “Saya Cinta Papua” di seluruh Indonesia, Glenn Fredly mengadakan sebuah konser kemanusiaan. Dengan bertopi dan beraksesoris Papua, Glenn Fredly bernyanyi lagu etnik Ambon dan Papua, dan berpidato singkat.
Dalam narasinya, Glenn menyatakan rasa cinta kasihnya untuk Papua, dan berdoa yang terbaik bagi persatuan dan kesatuan Bangsa. Baru kali itu saya melihat, kemampuan retoriknya yang luar biasa, yang menambah daftar panjang alasan saya mengagumi sosok satu ini.
Bung Glenn Fredly, demikian biasanya beliau disebut, telah menjadi panutan bagi anak-anak seperti saya. Beliau lebih dari sekadar seorang penghibur, akan tetapi juga inspirator, yang memberikan pesan secara tidak langsung: “Berkaryalah, maka kamu akan memperoleh penghargaan”.
Glenn memberikan motivasi yang menjadi nilai yang saya pegang hingga hari ini. Bahwa Karya kita harus menghasilkan dampak positif bagi seluruh Masyarakat Indonesia, dan itu jauh lebih penting dari seperti apa Warna Kulit kita, bentuk Muka, atau Jenis Rambut kita, dan bahwa setiap orang memiliki kesempatan yang sama, untuk dapat mendapatkan penghargaan dan pengakuan tersebut, dan lebih lagi, menjadi inspirasi untuk orang lain.
Terimakasih sang Maestro Maluku, Putra Indonesia, sang Inspirator dari ufuk timur Indonesia yang membuat anak-anak Indonesia Timur percaya bahwa kita semua di Nusantara ini Sejajar. Sosok yang telah mengajarkan saya sebuah pesan tentang hidup yang saya bawa selamanya. Pergilah dalam Damai, Tuhan akan menyediakan tempat yang terbaik untukmu di seberang sana.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews