Uighur

Uighur cemburu kepada Han. Uighur menjadikan Han sasaran kekerasan. Konflik kedua suku tak terelakkan. Suku Uighur merasa tersisih, merasa bukan bagian Tiongkok.

Rabu, 29 Januari 2020 | 14:37 WIB
0
353
Uighur
Uighur (Foto: CNN Indonesia)

Saya mendapat kiriman dua buku digital dari AE Priyono. Kedua buku membahas Uighur. Yang pertama berjudul “Under the Heel of the Dragon: Islam, Racism, Crime, and The Uighur in China” karya Blaine Kaltman. Yang kedua, “Ethno-Diplomacy: The Uyghur Hitch in Sino-Turkish Relations” karya Yitzhak Shichor. Saya mencetak kedua buku digital itu.

Saya berkunjung ke Xinjiang, provinsi tempat suku muslim Uighur menetap, pertengahan November 2019. Kunjungan jurnalistik itu bertujuan menyaksikan apa yang terjadi sana. Apakah betul masyarakat etnis muslim Uighur didiskriminasi? Apakah betul para pemuda muslim Uighur “dikurung” di kamp konsentrasi? Bagaimana pemerintah memperlakukan muslim Uighur? Seeing is believing.

Saya mengunjungi Xinjiang Islamic Institute di Urumqi, Ibu Kota Provinsi Xinjiang. Ini semacam sekolah vokasi agama. Di sini pata pemuda belajar bahasa Mandarin, Uighur, Arab, kebudayaan, sejarah, juga keterampilan.

Satu penyebab sulitnya masyarakat Uighur mendapat pekerjaan karena mereka tidak menguasai bahasa Mandarin. Mengajarkan bahasa Mandarin kepada masyarakat Uighur juga merupakan upaya mengintegrasikan mereka dengan negara Tiongkok. Saya salat Jumat di masjid di institut tersebut.

Saya juga mengunjungi apartemen tempat warga dari 17 etnis Xinjiang tinggal. Anak-anak bersekolah di sekolah yang ada di apartemen. Ibu-ibu dilatih membuat roti dan bunga untuk dijual hingga ke luar Xinjiang.

Pun saya menyaksikan foto dan video kekerasan yang dilakukan kelompok radikal dalam satu “pameran” di satu gedung eksibisi di Urumqi. Ngeri saya melihat foto atau video aksi terorisme di pameran tersebut. Terorisme mulai terjadi sejak 1992 di Xinjiang dan beberapa tempat lain.

Pemerintah melakukan tiga langkah untuk memberantas terorisme. Pertama, tindakan represif kepada pelaku teror. Kedua, deradikalisasi. Ketiga, pendekatan kesejahteraan. Dengan ketiga langkah tersebut, sejak 2015, tidak ada lagi terror di sana.

Intinya dalam kunjungan dengan waktu sangat terbatas itu saya melihat masalah Uighur ialah pertandingan antara radikalisme dan separatisme dan upaya satu negara menjaga integrasi. Kesimpulan ini yang juga saya sampaikan ketika pada Desember 2019 Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengundang saya dan wartawan yang mengunjungi Xinjiang untuk mendiskusikan soal Uighur.

Saya menulis laporan hasil kunjungan saya ke sana untuk Media Indonesia. Bersamaan dengan itu, muncul berita dari media internasional bahwa Pemerintah Tiongkok menyuap organisasi Islam Indonesia yang diundang berkunjung ke Xinjiang. Dua organisasi, NU dan Muhammadiyah, membantah berita itu. Berlangsung juga unjuk rasa di Kedutaan Besar Tiongkok di Jakarta.

Saya juga menyaksikan laporan Narasi TV di media sosial yang menyebutkan wartawan atau tokoh agama yang diundang berkunjung ke Xinjiang "dibohongi” Tiongkok. Berdasarkan penelusuran Google Earth yang dilakukan Narasi TV di balik gedung-gedung sekolah vokasi yang dikunjungi wartawan dan tokoh agama terdapat semacam kamp konsentrasi, tetapi tidak ditunjukkan pemerintah Tiongkok kepada para undangan.

Akan tetapi, saya juga menyaksikan laporan dari stasiun TV CGTN milik CCTV Tiongkok yang melaporkan bahwa berita CNN palsu. CNN rupanya mewawancarai Azis Isa Elkun, tokoh Uighur yang melarikan diri ke luar negeri, yang menyebutkan makam ayahnya di Xinjiang digusur secara semena-mena oleh Tiongkok. Saluran televisi CGTN menelusuri makam yang katanya digusur itu serta mewawancarai ibu Isa Elkun. Ternyata

Pemerintah Tiongkok merelokasi makam ayah Isa Elkun ke tempat yang lebih baik tak jauh dari lokasi awal.

Ada juga berita dari sejumlah media asing yang menyebutkan Pemerintah Tiongkok hendak menulis ulang kitab suci supaya sesuai dengan komunisme. Bagaimana mungkin Tiongkok “mengambil alih”
atau menulis ulang karya Tuhan.

Saya menduga yang dimaksud sesungguhnya penulisan ulang tafsir atau terjemahan kitab suci. Saya mengecek beberapa situs berita yang menurunkan berita itu. Saya menemukan di salah satu situs istilah “translated classic religious book.” Mungkin ini yang diterjemahkan sebagai kitab suci dan jelas itu terjemahan keliru.

Intinya banyak informasi atau berita yang saling bertentangan tentang Uighur. Buku mungkin membantu untuk mendapatkan informasi lebih akurat, sekurang-kurangnya untuk memperkaya perspektif, tentang Uighur. Beruntung saya mendapatkan dua buku hasil penelitian tentang Uighur seperti saya sebut di awal.

Buku "Under the Heel of the Dragon" membahas marginalisasi yang dialami suku Uighur. Pemerintah pusat mengabaikan Uighur yang tinggal di bagian selatan Xinjiang sehingga mereka terbelakang. Di bagian Utara Xinjiang hidup etnis Han. Suku Han yang lebih Tiongkok dibanding Uighur yang lebih Asia Tengah lebih maju dari suku Uighur.

Uighur cemburu kepada Han. Uighur menjadikan Han sasaran kekerasan. Konflik kedua suku tak terelakkan. Suku Uighur merasa tersisih, merasa bukan bagian Tiongkok.

Saya membaca Majalah the Economist edisi 12 Januari 2020 yang menyinggung konflik Han dan Uighur dalam laporannya tentang persoalan Uighur. Dewasa ini terdapat sekitar 10 juta warga etnis Uighur dan 9 juta warga etnis Han. Konflik paling keras antara kedua suku yang menyebabkab 200 orang tewas terjadi pada 2009.

Penulis buku "Under the Heel of the Dragon," Blaine Kaltman, dalam kesimpulannya merekomendasi pendidikan sebagai sarana lebih mengintegrasikan etnis Uighur ke Tiongkok.

Buku "Etho-Diplomacy" membahas bahwa separatisme Uighur terjadi sejak 1930-an. Mereka menyebut negara mereka sebagai Eastern Turkestan yang tiada lain ialah Xinjiang. Sejak 1949, Pemerintah Tiongkok menganggap separatisme Uighur sebagai masalah domestik. Turki mendukung pemisahan diri Uighur dari Tiongkok. Turki menampung banyak pelarian Uighur.

Hubungan Tiongkok-Turki memburuk. Namun, ketika hubungan Turki-Tiongkok berangsur membaik, pelarian Uighur menyebar ke berbagai negara, terutama Jerman, tidak lagi terkonsentrasi di Turki. Dari luar negeri, pelarian Uighur seperti Isa Elkun terus menyuarakan ketidakadilan yang dialami Uighur.

***