Moderasi Islam Melalui Spirit Hijrah Milenial

kita semua berharap bahwa sikap kebersilaman yang wasathiyyah inilah yang dijadikan sebuah grand design dalam konsepsi hijrah yang kini menarik perhatian milenial di Indonesia tercinta.

Sabtu, 20 Juli 2019 | 06:24 WIB
0
1692
Moderasi Islam Melalui Spirit Hijrah Milenial
Ilusttasi milenial dan Islam (Foto: Islami.co)

Dewasa ini, spirit hijrah di kalangan muslim urban milenial nampak masif. Diskursus hijrah pun mudah kita jumpai di berbagai forum kajian tradisional (liqa/taklim) hingga tersebar luas di banyak kanal komunikasi daring seperti youtube, whatsapp group, telegram, facebook, hingga instagram. Semangat hijrah ini “mewabah” begitu cepat dari satu kota ke kota lainnya, juga menyedot perhatian masyarakat biasa, kaum terdidik, hingga selebritas.

Tak hanya itu, bak sebuah gerak simultan, semangat hijrah ini terkonsolidasi ke dalam kelompok-kelompok taklim generasi milenial, seperti gerakan pemuda Shift di Bandung, pemuda Kahf di Surabaya, dan bermunculannya sejumlah festival bertema hijrah seperti Islamic Fest, Hijrah Fest, juga Muslim United yang digandrungi generasi muda muslim.

Bahkan, para pendakwahnya pun mayoritas berasal dari generasi milenial yang berhasil memformulasi metode dakwah yang juga kekinian, contohnya Ustad Hanan Attaqi yang suka kuplukan dan gemar bermain skateboard. Hasilnya, ketertarikan terhadap semangat hijrah mulai dikaprahkan kesannya sebagai gaya hidup, bukan hanya sebuah kesadaran spiritualitas.

Namun di lain sisi, kita pun mudah mendapati pergeseran makna hijrah dari yang substansial kepada pemaknaan artifisial, bahkan mengarah pada distorsi “hijrah” itu sendiri baik dari sisi sejarah maupun kontekstualitasnya. Kini, tak sedikit generasi muda yang mengkonotasikan hijrah sebagai langkah “pertaubatan” atau bangkit dari keterpurukan semata, yang diikuti dengan sejumlah perubahan fesyen, dari jeans ke celana cingkrang, dari kaos ke gamis, berjenggot, bercadar dan hal-hal lain yang disimbolkan sebagai representasi kealiman.

Padahal, pemaknaan hijrah sudah seharusnya tak lagi berkubang pada masalah-masalah artifisial atau bagian dari kebutuhan penyeimbangan batin dari kerasnya gaya hidup perkotaan, melainkan jauh ke depan sebagai gerakan moderasi Islam yang mengampanyekan cinta damai, persaudaraan lintas komunitas, hingga kerukunan lintas iman. Intinya, lebih pada praktik keberislaman yang tak hanya menegakkan akidah melalui ritus ibadah saja, tetapi dikontekstualisasikan ke dalam varian ibadah sosial.

Di sinilah posisi Islam moderat (Islam wasathiyyah) atau kerap diistilahkan moderasi Islam, menemukan momentum ideal untuk dileburkan dalam pemahaman dan kehidupan umat Islam Indonesia, lebih khusus dalam banyak gerakan hijrah kaum milenial.

Mukhlis Hanafi dalam tulisannya “Konsep al-Wasathiyyah Dalam Islam”, Harmoni: Jurnal Multikultural dan Multireligius, Vol. VIII, (Oktober-Desember, 2009), didefinisikan wasathiyyah sebagai sebuah metode berpikir, berinteraksi, dan berperilaku yang didasari atas sikap tawâzun (seimbang) dalam menyikapi dua keadaan perilaku yang dimungkinkan untuk dianalisis dan dibandingkan, sehingga dapat ditemukan sikap yang sesuai dengan kondisi dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran agama dan tradisi masyarakat.

Menariknya lagi, ulama kenamaan Indonesia Quraish Shihab dalam bukunya Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat (2007) memaparkan bahwa wasathiyah bermula dari kata Wasath yang berarti segala yang baik sesuai objeknya.

Sementara itu, Yusuf Al-Qardhawi dalam Al-Khashâish al-‘Âmmah li al-Islâm pun menjelaskan, wasathiyyah yang dapat disebut juga dengan at-tawâzun, yaitu upaya menjaga keseimbangan antara dua sisi/ujung/pinggir yang berlawanan atau bertolak-belakang, agar jangan sampai yang satu mendominasi dan menegaskan yang lain.

Sebagai contoh dua sisi yang bertolak belakang; spiritualisme dan materialisme, individualisme, dan sosialisme, paham yang realistik dan yang idealis, dan lain sebagainya. Bersikap seimbang dalam menyikapinya yaitu dengan memberi porsi yang adil dan proporsional kepada masing-masing sisi/pihak tanpa berlebihan, baik karena terlalu banyak maupun terlalu sedikit.

Kontekstualisasi Hijrah Milenial

Etimologi hijrah itu sendiri artinya perpindahan (bermigrasi secara fisik). Namun terminologinya menurut Jumhur Ulama, bermakna bukan hanya perpindahan secara fisik semata tapi juga perpindahan atau perubahan pada kebaikan substansial. Al-Isfihani memaknai hijrah adalah perubahan baik secara fisik maupun batin dari suasana atau kondisi buruk pada kondisi yang aman dan damai. Artinya, tidak hanya merasa tenteram dalam iman tapi juga aman dalam pergaulan.

Dengan begitu, pemaknaan hijrah ini pun tak lepas dari konteks sejarahnya, dimana peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW beserta umat Islam pada 15 abad lalu adalah upaya mencari ketenteraman dalam menjalankan ritus keagamaan sekaligus keamanan dan keleluasaan dalam pergaulan sosial.

Secara historis, Alquran mengisyaratkan hijrah sebagai bagian dari “instruksi” Allah kepada kaum muslimin, sebagaimana dalam surah An-Nisa; 100, Allah berfirman: Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Alquran pun memandang peristiwa hijrah sebagai peristiwa sosial-politik sebagaimana dalam surah Al-Anfal;72: Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi.

Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikit pun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.

Sampai di sini, hijrah memang harus dikontekstualisasikan supaya tidak terjebak pada pemaknaan literal dan sumir. Setidaknya, hijrah harus mencakup 4 aspek:

1.      Hijrah I’tiqadiyah (keyakinan), merupakan bentuk hijrah yang berangkat dari keyakinan batiniah akan adanya dorongan perbaikan spiritualitas (ketenteraman jiwa).

2.      Hijrah Fikriyah (pemikiran), di sini pentingnya hijrah dari pemikiran keagamaan yang radikal akibat penafsiran keliru maupun dari penafsiran Islam yang terlampau bebas sehingga menghilangkan otentisitas ajaran Islam itu sendiri.

3.      Hijrah Syu’uriyah (Kesukaan/Tampilan), dalan konteks inilah kebanyakan milenial memulai hijrahnya. Berawal dari kesukaan akan sesuatu hal, membuat mereka memulai perjalanan hijrah, seperti kecenderungan pada tren fesyen muslimah. Meski begitu, bukanlah sesuatu yang salah untuk memulai hijrah dari yang dianggap tak patut menjadi lebih baik.

4.      Hijrah Sulukiyah (perilaku/akhlak), hijrah yang bersandar pada pemaknaan moral dan perilaku moralnya. Inilah hijrah yang menuntut kita mengoreksi diri sendiri dan tidak gampang menghakimi orang lain, baik sikap maupun keyakinannya.

Prospek Moderasi Islam

Masa depan perjuangan  moderasi Islam di Indonesia akan sangat bergantung pada generasi muda muslim yang bersinggungan dengan wacana, pengetahuan dan praktik moderasi Islam itu sendiri. Mengapa harus generasi muda? Sebab  bonus demografi Indonesia dalam kurun 10-25 tahun ke depan akan didominasi generasi muda usia produktif, dimana ini akan menjadi peluang sekaligus tantangan yang bukan hanya di sektor industri perekonomian dan pendidikan tapi juga dalam konteks sosial keagamaan.

Meminjam data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2018 lalu jumlah populasi Indonesia mencapai 265 juta jiwa. Kemudian, pada 2024, angkanya berpotensi meningkat hingga 282 juta dan sekitar 317 juta jiwa pada 2045. Data BPS 2018, jumlah generasi millennial berusia 20-35 tahun mencapai 24 persen, setara dengan 63,4 juta dari 179,1 juta jiwa yang merupakan usia produktif (14-64 tahun). Sehingga, tak berlebihan jika peran pemuda di masa depan sangat menentukan nasib bangsa ini, termasuk dalam urusan keberislaman.

Corak keberislaman yang harus digalakkan mulai saat ini di tengah tumbuhnya semangat hijrah generasi milenial adalah Islam moderat atau dalam istilah sekarang lebih dikenal dengan moderasi Islam (Islam Washatiyah). Mengapa harus Islam wasathiyyah yang digaungkan dalam gerakan hijrah milenial, adalah sebuah pertanyaan yang harus dijawab dengan tegas dan hati-hati, sebab ketidakpuasan atas jawaban dari pertanyaan ini akan berdampak pada perilaku milenial dalam mencari pemaknaan lain tentang Islam itu sendiri.

Seperti banyak kasus yang terjadi belakangan ini, tak sedikit milenial yang rela keluar dari pekerjaannya yang mapan karena menganggap tidak sesuai dengan tuntunan Islam, mulai dari pensiun sebagai ANS, pekerja bank konvensional, bahkan di bidang property yang bersinggungan dengan konsep riba. Hal ini dilakukan para milenial karena semangat hijrah; sebuah semangat pemurnian akan ajaran Islam yang selama ini dianggap terlalu longgar atau bahkan terlalu ketat.

Fenomena hijrah ini pun sejatinya lebih banyak didongkrak oleh para selebritas, yang sekarang berbondong-bondong hijrah. Hijrahnya para selebriti ini ditandai pula dengan perubahan drastis pada fesyen mereka yang mulai tertutup meskipun tetap memerhatikan estetika modis, sebut saja beberapa artis seperti Shireen Sungkar dan suami Teuku Wisnu, Zaskia Adya Mecca, Laudya Cynthia Bella dan masih banyak lainnya.

Tak hanya itu, sejumlah perhelatan bertema hijrah seperti Hijrah Festival 2018 yang diselenggarakan pada 9-11 November lalu di Jakarta pun dibanjiri banyak generasi milenial. Sehingga, fenomena hijrah ini tak lagi bisa dipandang sinis sebagai bentuk “kaget berislam” atau “mendadak taubat”, melainkan sebuah gejala sosial-keagamaan yang patut diarahkan pada model Islam moderat.

Gejala hijrah ini pun tak melulu soal selebriti tapi juga pada influencer besar seperti para desainer rumah industri fesyen muslim, hingga produk-produk kesehatan dan kecantikan seperti kosmetik dan pasta gigi yang mulai dikaprahkan pada identitas keislaman. Pun bukan hanya perkara penampilan tapi kajian-kajian keislaman mulai marak dimana-mana, diadakan di masjid-masjid besar, di perkantoran yang dikhususkan bagi ara karyawan, bahkan di pusat-pusat perbelanjaan.

Keuntungannya, orang-orang lebih percaya diri menampilkan identitas keislamannya di ruang-ruang publik dengan karakter yang lebih modern, inklusif dan tak lagi konservatif seperti dahulu. Lebih dari itu, muncul banyak komunitas-komunitas generasi muslim milenial yang bergerak dakwah lewat misi-misi kemanusiaan. Para milenial hijrah sudah memperhatikan isu-isu global seperti isu konflik Israel-Palestina, Muslim Uighur di Tiongkok hingga isu HIV-AIDS dan climate change.

Semua fenomena hijrah milenial ini, menurut kesimpulan Iffati Zamimah dalam tulisannya Moderatisme Islam Dalam Konteks Keindonesiaan (terbit pada Al-Fanar: Jurnal Ilmu Al-Quran dan Tafsir, Volume 1, Nomor 1, Juli 2018), bahwa sejatinya sejalan dengan karakter moderasi Islam menurut Quraish Shihab menggambarkan sifat moderat yang dimiliki oleh umat Islam, yakni tidak condong kearah berlebih-lebihan (ifrâth) ataupun meremehkan (tafrîth) dalam berbagai permasalahan yang terkait dengan agama atau dunia. Bukan termasuk kelompok mereka yang ekstrem dalam beragama (arbâb alghuluw fî ad-dîn al-mufrithîn), dan bukan pula termasuk yang menganulir ketentuan-ketentuan agama (arbab at-ta’thil al-mufarrithîn).

Oleh karena itu, kita semua berharap bahwa sikap kebersilaman yang wasathiyyah inilah yang dijadikan sebuah grand design dalam konsepsi hijrah yang kini menarik perhatian milenial di Indonesia tercinta.