Tirani asumsi membuat hidup menjadi sempit dan penuh ketakutan. Sudah waktunya, ia dilepas, dan dibuang jauh-jauh.
Kita hidup dengan asumsi. Asumsi adalah hal-hal yang dianggap benar, dan tidak dipertanyakan lagi. Ia adalah anggapan-anggapan lama yang diwarisi dari generasi sebelumnya. Ada kalanya, ia mengandung kebenaran. Namun, tak jarang pula, ia menggiring orang pada kesalahan berpikir, dan penderitaan.
Deretan Asumsi
Misalnya, di abad 21 ini, banyak orang berpikir, bahwa politik itu busuk. Ini anggapan lama yang lahir dari kekecewaan. Padahal, politik adalah soal urusan bersama, guna menciptakan kebaikan bersama. Ia adalah panggilan luhur, asalkan lahir dari nilai-nilai kehidupan, dan bukan kerakusan semata.
Politik juga bukan hanya soal merebut jabatan. Itu hanya bagian yang amat kecil dari politik. Politik adalah soal keterlibatan, terutama keterlibatan untuk mewujudkan kebaikan bersama. Keterlibatan itu bisa mengambil beragam bentuk, mulai dari keterlibatan di lingkungan sekitar, sampai dengan keterlibatan di ranah politik negara.
Asumsi lainnya adalah soal agama. Di Indonesia, agama dianggap sebagai sesuatu yang suci, jauh dari kegelapan dunia. Padahal, agama juga merupakan organisasi buatan manusia. Ada ajaran iman di dalamnya. Namun, ia pun tak bebas dari kebohongan maupun kejahatan, seperti segala ciptaan manusia lainnya. Sejarah manusia sudah membuktikan itu.
Berbagai asumsi soal hidup juga mengepung hidup kita sekarang ini. Kita didorong untuk menjadi sukses dalam hidup. Artinya, kita harus kaya raya. Ukuran sukses adalah kaya raya.
Padahal, jika diteliti lebih dalam, banyak orang justru menderita, karena kekayaan yang ia punya. Rasa rakus tumbuh di dada, bersama dengan sikap pelit. Godaan untuk menjadi korup justru semakin besar, ketika orang kaya. Ketika ukuran keberhasilan hidup disamakan dengan kekayaan, penderitaan sudah siap menanti.
Berulang kali, saya mendengar, pernikahan adalah sumber kebahagiaan. Ini juga merupakan asumsi sesat yang disebarkan oleh generasi lama. Jutaan data menunjukkan dengan jelas, di berbagai belahan dunia, pernikahan berakhir dengan perceraian brutal, atau konflik yang bermuara pada kematian.
Pernikahan bisa menjadi bahagia, jika beberapa hal sudah terpenuhi sebelumnya, mulai dari komitmen sampai dengan kesiapan untuk mengampuni. Namun, pernikahan, pada dirinya sendiri, sama sekali bukan jalan menuju kebahagiaan.
Di Indonesia, beragam asumsi tentang kaum LGBTQ (Lesbian, Gay, Biseks, Transgender dan Queer) juga masih saja tertanam dalam. Mereka dianggap sakit jiwa, atau bahkan kemasukan setan. Ini juga asumsi yang dibangun atas dasar kebodohan dan ketakutan. Begitu banyak penderitaan yang diciptakan atas dasar asumsi sesat ini.
Asumsi itu berbahaya. Ia bisa menjadi tirani. Ia menindas dan menjajah. Ia menyebarkan penderitaan, seringkali justru dengan niat baik.
Jeda Asumsi
Salah satu jalan keluar adalah dengan berpikir “belum tentu”. Politik belum tentu busuk. Kaya belum tentu sukses. Agama belum tentu suci. Menikah belum tentu bahagia.
“Belum tentu” adalah saat jeda. Ia menunda kesimpulan. Ia juga menunda keputusan. Ia menunda pikiran kita dari terjebak dalam kebohongan yang diciptakan oleh dirinya sendiri.
Dengan cara ini, kita lalu bisa melihat kenyataan sebagaimana adanya. Itu bisa menjadi dasar yang kokoh bagi kehidupan. Hidup ini tidaklah melulu penderitaan, dan juga tidak melulu kebahagiaan. Ia keduanya, sekaligus sebelum keduanya.
Ini adalah seni melihat hidup, tanpa prasangka. Sebenarnya, asumsi adalah prasangka. Ia mengaburkan pandangan kita terhadap kenyataan sebagaimana adanya. Seringkali, prasangka ini tertanam dalam budaya, serta ditutupi oleh konsep-konsep agama yang salah tafsir.
Hidup dengan kenyataan juga berarti hidup dengan jeda setiap saat. Derita dijalani. Kebahagiaan dijalani. Hidup yang penuh dan bermutu tak akan terlepas dari keduanya.
Hidup adalah nuansa. Ia selalu ada di antara. Tak melulu hitam, dan tak melulu putih. Seni melihat dan menikmat nuansa adalah jalan menuju hidup yang kaya.
Tirani asumsi adalah penghalang terbesar di dalam memahami kenyataan yang penuh nuansa. Ia menyebabkan penderitaan bagi diri sendiri, dan bagi orang lain. Tirani asumsi membuat hidup menjadi sempit dan penuh ketakutan. Sudah waktunya, ia dilepas, dan dibuang jauh-jauh.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews