Tirani Asumsi

Tirani asumsi membuat hidup menjadi sempit dan penuh ketakutan. Sudah waktunya, ia dilepas, dan dibuang jauh-jauh.

Rabu, 24 April 2019 | 22:27 WIB
0
451
Tirani Asumsi
Ilustrasi (foto: Rumahfilsafat.com)

Kita hidup dengan asumsi. Asumsi adalah hal-hal yang dianggap benar, dan tidak dipertanyakan lagi. Ia adalah anggapan-anggapan lama yang diwarisi dari generasi sebelumnya. Ada kalanya, ia mengandung kebenaran. Namun, tak jarang pula, ia menggiring orang pada kesalahan berpikir, dan penderitaan.

Deretan Asumsi

Misalnya, di abad 21 ini, banyak orang berpikir, bahwa politik itu busuk. Ini anggapan lama yang lahir dari kekecewaan. Padahal, politik adalah soal urusan bersama, guna menciptakan kebaikan bersama. Ia adalah panggilan luhur, asalkan lahir dari nilai-nilai kehidupan, dan bukan kerakusan semata.

Politik juga bukan hanya soal merebut jabatan. Itu hanya bagian yang amat kecil dari politik. Politik adalah soal keterlibatan, terutama keterlibatan untuk mewujudkan kebaikan bersama. Keterlibatan itu bisa mengambil beragam bentuk, mulai dari keterlibatan di lingkungan sekitar, sampai dengan keterlibatan di ranah politik negara.

Asumsi lainnya adalah soal agama. Di Indonesia, agama dianggap sebagai sesuatu yang suci, jauh dari kegelapan dunia. Padahal, agama juga merupakan organisasi buatan manusia. Ada ajaran iman di dalamnya. Namun, ia pun tak bebas dari kebohongan maupun kejahatan, seperti segala ciptaan manusia lainnya. Sejarah manusia sudah membuktikan itu.

Berbagai asumsi soal hidup juga mengepung hidup kita sekarang ini. Kita didorong untuk menjadi sukses dalam hidup. Artinya, kita harus kaya raya. Ukuran sukses adalah kaya raya.

Padahal, jika diteliti lebih dalam, banyak orang justru menderita, karena kekayaan yang ia punya. Rasa rakus tumbuh di dada, bersama dengan sikap pelit. Godaan untuk menjadi korup justru semakin besar, ketika orang kaya. Ketika ukuran keberhasilan hidup disamakan dengan kekayaan, penderitaan sudah siap menanti.

Berulang kali, saya mendengar, pernikahan adalah sumber kebahagiaan. Ini juga merupakan asumsi sesat yang disebarkan oleh generasi lama. Jutaan data menunjukkan dengan jelas, di berbagai belahan dunia, pernikahan berakhir dengan perceraian brutal, atau konflik yang bermuara pada kematian.

Pernikahan bisa menjadi bahagia, jika beberapa hal sudah terpenuhi sebelumnya, mulai dari komitmen sampai dengan kesiapan untuk mengampuni. Namun, pernikahan, pada dirinya sendiri, sama sekali bukan jalan menuju kebahagiaan.

Di Indonesia, beragam asumsi tentang kaum LGBTQ (Lesbian, Gay, Biseks, Transgender dan Queer) juga masih saja tertanam dalam. Mereka dianggap sakit jiwa, atau bahkan kemasukan setan. Ini juga asumsi yang dibangun atas dasar kebodohan dan ketakutan. Begitu banyak penderitaan yang diciptakan atas dasar asumsi sesat ini.

Asumsi itu berbahaya. Ia bisa menjadi tirani. Ia menindas dan menjajah. Ia menyebarkan penderitaan, seringkali justru dengan niat baik.

Jeda Asumsi

Salah satu jalan keluar adalah dengan berpikir “belum tentu”. Politik belum tentu busuk. Kaya belum tentu sukses. Agama belum tentu suci. Menikah belum tentu bahagia.

“Belum tentu” adalah saat jeda. Ia menunda kesimpulan. Ia juga menunda keputusan. Ia menunda pikiran kita dari terjebak dalam kebohongan yang diciptakan oleh dirinya sendiri.

Dengan cara ini, kita lalu bisa melihat kenyataan sebagaimana adanya. Itu bisa menjadi dasar yang kokoh bagi kehidupan. Hidup ini tidaklah melulu penderitaan, dan juga tidak melulu kebahagiaan. Ia keduanya, sekaligus sebelum keduanya.

Ini adalah seni melihat hidup, tanpa prasangka. Sebenarnya, asumsi adalah prasangka. Ia mengaburkan pandangan kita terhadap kenyataan sebagaimana adanya. Seringkali, prasangka ini tertanam dalam budaya, serta ditutupi oleh konsep-konsep agama yang salah tafsir.

Hidup dengan kenyataan juga berarti hidup dengan jeda setiap saat. Derita dijalani. Kebahagiaan dijalani. Hidup yang penuh dan bermutu tak akan terlepas dari keduanya.

Hidup adalah nuansa. Ia selalu ada di antara. Tak melulu hitam, dan tak melulu putih. Seni melihat dan menikmat nuansa adalah jalan menuju hidup yang kaya.

Tirani asumsi adalah penghalang terbesar di dalam memahami kenyataan yang penuh nuansa. Ia menyebabkan penderitaan bagi diri sendiri, dan bagi orang lain. Tirani asumsi membuat hidup menjadi sempit dan penuh ketakutan. Sudah waktunya, ia dilepas, dan dibuang jauh-jauh.

***