Perbedaan akan menjadi energi positif dalam rangka melahirkan sikap toleransi dan saling menghormati.
Hubungan antarumat beragama merupakan isu aktual yang sangat menarik untuk dibincangkan. Mengingat, konflik antarumat beragama muncul bukan semata karena merasa tidak sepaham dan tidak sejalan berdasarkan latar belakang perbedaan agama saja, tetapi juga bisa terjadi karena keterbatasan pemahaman kita terhadap arti sebuah agama sehingga tidak mencerminkan perilaku masyarakat beragama.
Berbicara mengenai isu keagamaan dan keberagaman, tentu erat kaitannya dengan identitas ke-Indonesia-an kita. Keberagaman yang kita miliki sebagai bangsa merupakan anugerah dari Allah Swt untuk kemudian kita jaga.
Beragama meniscayakan keberagaman, dan beragam tidak mesti seragam. Pemahaman yang benar mengenai hal ini akan melahirkan sikap saling menerima dan saling menghormati. Kehidupan bersama akan terasa lebih harmonis.
Dalam catatan sejarah Islam, kita bisa bercermin pada masa Nabi Muhammad Saw di Madinah. Masyarakat Madinah merupakan sebuah model kebersamaan yang bisa dijadikan contoh dan teladan dalam pluralitas beragama. Hal itu terwujud karena adanya suatu piagam yang bernama Piagam Madinah, yang disusun bersama antara perwakilan Islam dan non Islam. Sehingga pada masa itu, masyarakat Madinah yang Islam maupun non Islam dapat hidup aman, tertib, sejahtera, dan ada partisipasi bersama di bawah naungan piagam tersebut.
Al-Qur’an dan Keberagaman
Al-Qur’an sebagai kitab samawi yang terakhir, memuat sejumlah bahan penting terkait dengan ajaran agama, khususnya relasi antarumat beragama. Setiap agama memiliki kitab suci. Secara spesifik ada tiga agama yang disebut dalam Al-Qur’an; agama Yahudi dengan kitab Taurat, Nasrani dengan kitab Injil, dan Islam dengan kitab Al-Qur’an. Lebih dari itu, pada konteksnya saat ini sebagaimana yang kita ketahui bahwa kondisi di dunia ini meniscayakan terdapat beragam agama dengan kitab sucinya masing-masing.
Islam merupakan agama universal bagi sekalian manusia. Pokok pangkal ajarannya ialah paham Ketuhanan Yang Maha Esa, atau Tauhid. Tugas para nabi dan rasul adalah menyampaikan ajaran tentang Tauhid ini, serta ajaran tentang keharusan manusia tunduk patuh hanya kepada-Nya saja. Dan justru berdasarkan paham ke-Tauhid-an inilah, Al-Qur’an mengajarkan paham kemajemukan keagamaan.
Perbedaan Merupakan Keniscayaan
Pada dasarnya umat manusia adalah tunggal (ummah wahidah) (Qs. al-Baqarah/2: 213), karena berpegang pada Kebenaran Tunggal (Allah Swt). Tapi kemudian manusia berselisih paham, justru setelah penjelasan tentang kebenaran itu datang, dan mereka berusaha memahami kebenaran itu sesuai dengan keterbatasan mereka. Sehingga di sinilah mulai terjadi perbedaan penafsiran mengenai Kebenaran Tunggal itu. Perbedaan itu kemudian dipertajam oleh kepentingan pribadi dan kelompok.
Perbedaan merupakan sebuah keniscayaan dalam upaya fastabiqul khairat. Sebaliknya, memaksakan kehendak agar semua sama, itu artinya menentang sunnatullah. Dalam Al-Qur’an disebutkan: “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam)”. (Qs. al-Baqarah/2: 256).
Ayat ini memberi ruang akan adanya kebebasan beragama, bahwa agama bukanlah paksaan, ia timbul dari hati seseorang sesuai dengan keyakinan dan pemahamannya, siapa pun mereka tidak dapat dipaksa.
Hamka (w. 1981) dalam tafsirnya mengatakan bahwa keyakinan tentang agama itu tidak boleh dipaksakan, sebab manusia dapat membedakan kebenaran dan kesesatan, orang boleh menimbang dan memilih kebenaran itu, dan orang pun mempunyai pikiran yang logis untuk menjauhi kesesatan. Larangan untuk melakukan pemaksaan terhadap agama ini didasarkan pada salah satu fakta bahwa pemaksaan dapat mempengaruhi aksi fisik dan akan berdampak menimbulkan mudharat.
Titik Temu Keberagaman
Segi perbedaan dalam hal agama sudah sangat umum diketahui, maka kemudian yang dibutuhkan saat ini adalah peran kolektif kita untuk mengembangkan secara positif segi persamaan antarmasing-masing agama. Karena itu, Al-Qur’an menawarkan satu ajaran atau seruan yang menjadi titik temu antarumat beragama dalam rangka mengembangkan semangat paham pluralisme dan toleransi.
Allah Swt berfirman: “Katakanlah (nabi Muhammad), “Wahai Ahlulkitab, marilah (kita) menuju pada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu,” (Qs. Ali Imran/3: 64).
Menurut Quraish Shihab, ini merupakan tawaran yang sangat adil dengan cara yang simpatik dan lebih halus, juga sebagai penghormatan bahwa umat agama lain juga memiliki kitab suci. Pendapat ini memberi pelajaran bagi umat Islam agar bersikap demikian terhadap agama lain.
Dari pandangan di atas, nyatalah bahwa kesamaan kita terletak pada kesetaraan mahkluk sosial, walaupun agama kita berbeda, namun terdapat satu kalimat yang sama. Yaitu satu kesepakatan dan kesepahaman yang menjadi titik pertemuan kita, atau yang disebut kalimatin sawa’. Kalau kesemuanya sudi kembali kepada satu kalimat itu niscaya perbedaan akan menjadi energi positif dalam rangka melahirkan sikap toleransi dan saling menghormati.
Titik temu tersebut jika kita tarik ke dalam konteks Indonesia saat ini sebagai negara bangsa, Nurcholish Madjid (w. 2005) mengungkapkan bahwa Pancasila merupakan sebuah konsensus dasar atau common platform bagi keberlangsungan hubungan yang harmonis, menjunujung tinggi nilai manusiawi dan saling menghormati antarsemua kalangan, agama, suku, ras dan golongan. Sebagaimana Piagam Madinah pada masa Nabi Muhammad Saw.
Kesimpulan
Melihat adanya hubungan erat yang tak terpisahkan antarumat beragama sebagaimana yang disebutkan Al-Qur’an, itu artinya kita dituntun untuk lebih bijaksana dengan saudara-saudara kita yang berbeda agama dengan cara senantiasa melestarikan kebaikan bersama sebagai titik temu dari keberagaman yang merupakan sebuah keniscayaan itu, sampai kelak kita benar-benar bertemu dengan Yang Maha Benar.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews