Apakah Pria Indonesia Berotak Kotor?

Kita hanya perlu mengusir itu semua, belajar pengolahan nafsu dan kembali menjadi orang Indonesia: manusia nusantara.

Selasa, 10 Mei 2022 | 07:04 WIB
0
203
Apakah Pria Indonesia Berotak Kotor?
Ilustrasi (Foto: rumah filsafat.com)

Seorang teman bercerita. Ia berjalan di bilangan Pasar Baru, Jakarta. Ini tempat belanja klasik. Banyak barang yang menarik untuk dilihat.

Tiba-tiba terdengar suara pria. Hei, cewek, dari mana? Pertanyaan itu dibarengi dengan siulan yang terkesan kurang ajar. Teman saya kaget. Hari gini, masih ada orang “kampungan” yang suka menggoda perempuan di jalan?

Dia kesal sekaligus bingung. Mengapa pria Indonesia suka sekali menggoda perempuan? Mengapa mereka berpikiran kotor, sehingga melihat wanita cantik sedikit, mereka langsung menggodanya? Begitu ceritanya kepada saya.

Saya lanjut bertanya. Apakah ini pertama kalinya mengalami digodain cowok di jalan? Jawabannya tidak. Di kota-kota besar Indonesia, seperti Semarang, Bandung dan Surabaya, ia kerap mengalami hal serupa.

Pelecehan Seksual

Sayang sekali, gerbong kereta khusus perempuan sudah penuh. Jam kerja, kereta penuh sekali. Terpaksa dia berdiri di gerbong umum. Teman saya, seorang wanita cantik berkerudung, dan pekerja profesional di Jakarta.

Ia tinggal di Bogor, namun kerja di Bilangan Kuningan, Jakarta. Ia memilih untuk pulang pergi, karena baru saja menikah, dan punya anak kecil. Di kereta, biasanya, ia bisa tidur, bahkan ketika berdiri. Namun, pada saat itu, ada sesuatu yang berbeda.

Bau keringat tercium di belakang. Tubuhnya ditempel oleh tubuh seorang pria. Terasa penis menegang menempel di pantatnya. Ah, ini pelecehan seksual.

Sepanjang jalan, tubuh pria itu menempel ke tubuhnya di dalam gerbong kereta. Awalnya, ia diam saja. Namun, setelah beberapa stasiun terlewat, ia berteriak. Mundur, ini pelecehan seksual!

Satu gerbong kaget. Keadaan mulai kacau. Ini tentu menjadi trauma tersendiri bagi teman saya. Sulit menjadi perempuan di kota kacau dan korup, seperti Jakarta.

Mungkin, hanya Bali yang ramah pada wanita cantik. Tak pernah terdengar siulan di jalan, bagaimanapun penampilan perempuan. Pria-pria Bali tampak biasa saja, ketika melihat wanita cantik yang bahkan hampir tak mengenakan pakaian. Mungkin, mereka sudah terbiasa, atau rasa hormat terhadap perempuan sudah cukup tinggi.

Buah Dada di Sekitar Kita  

Munich, Jerman, sekitar tahun 2014. Saya duduk di taman. Musim panas sudah tiba. Cuaca begitu panas, tak tertahankan.

Saya mencari danau kecil untuk duduk, dan membaca buku. Keadaan tenang. Saya agak mengantuk. Cuaca yang begitu panas, dan angin sepoi-sepoi, membawa saya ke alam mimpi.

Tiba-tiba, sekumpulan perempuan dan laki-laki datang. Mereka tampaknya adalah mahasiswa. Mereka melepas baju, sampai telanjang bugil. Lalu, mereka menyebur ke danau.

Saya kaget. Belum pernah saya melihat sekumpulan orang telanjang bulat di depan umum seperti itu. Mereka begitu gembira bermain air di danau kecil itu. Saya masih siyok!

Ternyata, ini adalah tempat khusus kaum nudis. Mereka boleh telanjang bulat di sini. Tak ada larangan. Banyak orang telanjang disini selama musim panas.

Saya masih sungkan telanjang di depan umum. Lepas baju mungkin masih bisa. Namun melepas celana,… itu soal lain. Setelah beberapa hari berada di tempat itu, saya mulai terbiasa.

Begitu banyak buah dada wanita yang tampil di muka saya. Alat kelamin pria pun juga banyak. Saya tak lagi siyok. Itu kan hanya tubuh manusia. Tak ada yang harus ditakutkan.

Buah dada. Vagina. Penis. Tubuh manusia. Semua itu bagian dari manusia. Selama pikiran kita bersih, kita tak akan terganggu oleh itu semua.

Ingatlah, kita semua menghabiskan begitu banyak hari di perut perempuan. Kita juga menghisap payudara wanita selama beberapa tahun, ketika kita bayi. Kita semua berkembang dari benih yang berasal dari penis para pria. Itu semua manusiawi, alami dan indah.

Tubuh Wanita Indonesia

Sampai sekitar 1950-an, di Indonesia, kita banyak menemukan wanita bertelanjang dada di berbagai tempat. Ini hal biasa. Namun, pengaruh asing masuk, terutama dari budaya Arab dan Barat. Kedua peradaban itu takut dengan tubuh perempuan, terutama buah dadanya.

Ketika budaya Barat mulai menghormati perempuan, budaya Arab justru sebaliknya. Perempuan dipenjara dari ujung kepala sampai ujung kaki. Mereka menjadi obyek, dan tidak lagi terlihat seperti manusia. Sejak budaya Arab berkembang di Indonesia, bersama dengan agama kematian yang ia bawa, tubuh wanita pun menjadi ajang hinaan.

Saya beberapa kali turing motor keliling Jawa, mulai dari Jawa Barat sampai dengan Madura. Saya tak merasa berada di Indonesia. Saya merasa berada di salah satu negara Arab. Cara berpakaian, yang merupakan cerminan agung budaya nusantara, hancur total. Perempuan, bahkan anak sekolah, ditindas dan dipenjara dari ujung kepala sampai ujung kaki.

Katanya, ini untuk melindungi wanita dari tatapan kotor para pria. Ini supaya pria tidak nafsu melihat wanita. Apakah pria Indonesia berpikiran begitu kotor, sehingga wanitanya harus ditutupi dari ujung kepala sampai ujung kaki? Begitu dangkal dan bodohkah kita?

Mengapa?

Ada lima hal muncul di pikiran saya. Pertama, ini semua terjadi, karena mutu pendidikan Indonesia yang amat sangat rendah. Anak tak diajari menghargai perempuan. Anak juga tak diajarkan berpikir kritis, dan mengolah nafsunya. Yang diajarkan hanyalah hafalan dan kepatuhan buta yang tak berguna.

Dua, budaya patriarki pun menancap kuat di Indonesia. Wanita hanya dianggap sampingan, bahkan obyek untuk dijajah. Wanita dianggap benda yang bisa digunakan seturut kemauan pria. Budaya patriarki semacam ini memperoleh pembenaran dari agama kematian.

Tiga, agama kematian juga sudah merusak budaya nusantara. Inilah agama yang menindas perempuan dari ujung kepala sampai ujung kaki. Inilah agama yang ibadahnya merusak ketenangan hidup bersama. Inilah agama yang memperbodoh pemeluknya, dan membuatnya jauh dari pemikiran kritis, logis dan rasional.

Empat, akibat dari tiga hal di atas, budaya kita pun rusak. Kita ingin menjadi orang Arab. Kita menghancurkan budaya luhur kita sendiri, dan menggantinya dengan budaya padang gurun yang dangkal serta penuh kekerasan. Indonesia sedang mengalami krisis budaya dan krisis identitas.

Lima, dari semua itu, perempuanlah yang menjadi korban. Mereka dipenjara dan diperbodoh. Tubuh mereka ditakuti, bahkan ingin dilenyapkan dari muka masyarakat. Ini kebodohan raksasa yang terus dilakukan oleh bangsa kita.

Jalan Keluar

Dengan mempertimbangkan beberapa hal di atas, ada empat kemungkinan jalan keluar. Pertama, kita harus berani melepas budaya patriarki. Perempuan adalah ibu dan saudari kita semua. Mereka adalah manusia yang memiliki martabat setara dengan pria, bahkan lebih tinggi, karena mereka mampu melahirkan kehidupan. Penghargaan pada perempuan harus menjadi bagian dari pendidikan resmi, dan budaya keseharian bangsa Indonesia.

Dua, kita harus meninggalkan agama kematian. Inilah agama yang merusak budaya, menindas wanita dan mengacaukan ketenangan hidup bersama. Kita harus memilih agama yang membuat kita menjadi damai, penuh cinta kasih dan siap membantu semua mahluk, tanpa kecuali. Untuk itu, kita tak harus menengok budaya asing, karena kita sudah memilikinya.

Tiga, Indonesia memiliki kearifan yang tinggi di dalam budayanya. Kita hanya perlu menggalinya, mengolahnya dengan kritis dan mendalaminya. Inilah agama-agama nusantara yang agung serta indah tiada tara, dan memberikan tempat tinggi pada perempuan. Dalam hal ini, kita bisa belajar dari Bali yang sangat menghargai agama leluhur warisan kebijaksanaan nusantara.

Empat, kita juga harus belajar mengolah nafsu di dalam diri. Di titik ini, jalan spiritualitas kiranya bisa membantu, seperti meditasi, Yoga ataupun Tai Chi. Mengolah nafsu kiranya juga perlu menjadi bagian dari pendidikan resmi di Indonesia. Hanya dengan begini, kita menjadi terbiasa dengan pergolakan di dalam diri, apapun pemicunya.

Lalu, apakah pria Indonesia berotak kotor? Jawabannya tidak. Kita hanya salah didik, karena pengaruh budaya asing dan agama kematian. Kita hanya perlu mengusir itu semua, belajar pengolahan nafsu dan kembali menjadi orang Indonesia: manusia nusantara.

Jangan ditunda lagi.

***