Benarkah Dakwah Harus Menyakiti Perasaan?

"Sampaikanlah walau hanya satu ayat" itu ajakan yang indah, tapi tidak untuk diaplikasikan dengan serampangan.

Senin, 3 Januari 2022 | 05:50 WIB
0
467
Benarkah Dakwah Harus Menyakiti Perasaan?
Stiker di kaca mobil (Foto: Wordpress.com)

Baru tahu kalau postingan saya tentang stiker mobil jadi ramai. Kayaknya karena ada yang nge-share di grup klub mobil. Beberapa orang juga menjapri, menjelaskan dan menunjukkan apa yang ia sebut "kesalahan berpikir" saya. Malah ada yang mengarahkan saya seharusnya menulis apa.

Saya terima semuanya dengan baik sebagai tanda cinta. Tapi gimana yak, itu cuma status biasa, pikiran-pikiran lewat saja yang saya tulis saat nunggu mobil dicuci. Masak harus saya kasih latar belakang masalah dan pembahasan kayak skripsi. Kenapa pendek dan jadi tidak komprehensif, ya karena konek sama IG yang membatasi cuma bisa segitu. Hehehe.

Saya tidak berpretensi untuk berdakwah. Saya tidak punya kapabilitas dan otoritas. Saya tau diri, penuh dosa dan soda. Gak pantas menceramahi orang lain. Satu-satunya "dakwah" yang berani saya lakukan, hanya kepada anak-anak dan istri saya. Misalnya di #khotbahjumatuntukdesanti yang saya bikin setiap Jumat, itu juga cuma meringkas dakwah orang lain.

Di status kemarin itu, ada yang komen. Katanya dakwah memang harus menyakiti perasaan, biar orang jadi merenung dan bertobat. Mungkin benar begitu, tapi kok saya jadi gak relate ya. Saya lebih sering mendengar kisah betapa Rasulullah meminta kita untuk tidak menyakiti hati orang lain dalam kondisi apa pun, karena dampaknya yang besar. Berdosa kepada Allah kita bisa minta ampun langsung. Tapi kalau menyakiti hati orang, minta maafnya susah. Ya kali bisa ketemu.

Saya sadar memang lemah di bagian ini. Saya bukan tipe yang harus keras demi apa yang yang saya anggap kebenaran. Kepada diri sendiri iya, tapi tidak kepada orang lain. Apalagi kalau kebenaran saya itu berpotensi menyakiti hati orang lain.

Jangankan kepada sesama manusia, saya mengajari anak-anak saya untuk tidak menyakiti hati apa pun. River pernah makan terong balado, tapi ia tidak suka kulitnya. Saya suruh dia minta maaf ke kulit terong itu sebelum dibuang.

"Sampaikanlah walau hanya satu ayat" itu ajakan yang indah, tapi tidak untuk diaplikasikan dengan serampangan. Saya sendiri berpikir dakwah itu tidak mudah, makanya ada pesantren dan IAIN atau UIN. Ada orang-orang yang memang ditempa khusus untuk itu.

Alumni Komunikasi Unhas (kecuali Kak Ust. Das'ad Latif yang memang kuliahnya dobel) semacam saya sudah cukup bahagia kalau bisa mengambil peran sebagai public relation dan etalase agama saja. Orang lain di luar agama kita tidak membaca kitab suci kita, ia melihat kita sebagai etalasenya.

Lalu demi apa di hari pertama 2022 saya sudah menulis beginian? Ya demi kontenlah. Wkwkwkw.

Sudah ya. Saya mau pulang. Belum bobo bener dari semalam. Hari ini juga sudah janji mau temani Ibu Ratu belanja buat BekalOchan. Alhamdulillah lagi banyak orderan nasi goreng merah.

Gaskeuuunn!!!!

2022

***