Perempuan Relawan

Selagi belum mekar, maka perlu ada kerjasama antara pemerintah lokal dengan masyarakat. Kesehatan adalah hak dasar warganegara.

Rabu, 12 Januari 2022 | 16:22 WIB
0
200
Perempuan Relawan
Ilustrasi relawan (Foto: gitacinta.com)

Tengah malam di IGD RS Cicendo. Seorang perempuan sukarelawan membawa bapak umur 60-an. Kedua matanya sepertinya tak berfungsi lagi. Si sukarelawan sih menyebut mata si bapak pecah, saya sendiri tak tahu istilah medisnya apa.

Didampingi anak laki-lakinya, si bapak ini datang dari sebuah kawasan terpencil di Jabar Selatan. Dia tak punya kartu jaminan kesehatan seperti Kartu Indonesia Sehat (KIS).

Dari jauh saya melihat bagaimana si sukarelawati ini cekatan mengurus ini itu, menelepon sana sini, hingga akhirnya si bapak dapat kamar rawat.

Sementara keluarga pasien planga plongo lugu. Baru pertama kali ke rumah sakit, katanya. Kalau tak ada si teteh, mungkin bapaknya masih di kampung, meringis kesakitan dalam keterasingan.

"Bagaimana biayanya teh?" tanya saya.

"Ah telepon sana sini pak!" jawabnya.

Cuma sedihnya, kata dia, mengapa aparat desa tak ada inisiatif memastikan warganya memiliki kartu sehat? Mengapa mereka membiarkan warganya yang lugu tak terlayani? Padahal sakit matanya sudah berlangsung lama.

Di pojok, si anak lelakinya duduk kebingungan. Dia tak tahu apa yang mesti dilakukan. Biaya adalah masalah utama. Kalau pun punya kartu sehat atau BPJS, dari mana biaya transport dari rumah ke puskesmas yang jaraknya jauh?

Sekarang si ayah harus dirawat. Dari mana dia punya uang buat makan sepanjang menunggu di RS. Selama menunggu di RS yang jaraknya 130 km dari kampung, dia meninggalkan pekerjaan sebagai buruh tani. Berarti kehilangan upah. Siapa yang kasih makan anak istri di kampung?

Untung ada si teteh sukarelawati, dia gesit telepon sana sini mencari donasi.

Sebagai voluntir, tentu dia tahu siapa-siapa dan instansi mana yang bisa dia harapkan untuk membantu.

Hebat juga si teteh. Dia orang Bandung, menjemput pasien jauh ke selatan.

"Tapi saya bukan calo ya pak!" kata dia.

Obrolan terhenti, waktu menunjukkan pukul 23.30, si bapak harus masuk kamar.

Negara sudah bagus menciptakan sistem jaminan kesehatan bagi semua warga negara. Aparat desa harus memastikan agar tak ada satupun dari warganya yang tak memiliki fasilitas ini. 

Tapi negara tak mungkin membiayai ongkos transport, biaya tunggu di rumah sakit, dan biaya-biaya lain. Di sinilah peran masyarakat diperlukan. 

Harus ada gotong royong masyarakat. Di sini juga peran lembaga swadaya masyarakat (LSM). Ironinya, banyak LSM yang berburu dana APBD atau bansos. Lho katanya swadaya? Katanya non government organisation? Tapi kok minta jatah dari pemerintah?

Banyak lho kabupaten dan kota di Indonesia yang di APBDnya jumlah anggaran bansos untuk LSM jauh lebih besar dari anggaran kesehatan. Pemkab dan pemkot takut sama LSM.

Di sini juga peran yayasan, rumah zakat, badan wakaf, arisan RT, majelis taklim, pesantren, dan organisasi kegotongroyongan lain. 

Sebagai orang Jawa Barat, kita melihat ada ketidakadilan fiskal. Menurut sensus 2020, penduduk Jabar berjumlah 48,3 juta, Jatim 40,1 juta, Jateng 36,6 juta.

Tapi jumlah kota/kab di Jabar cuma 27. Jatim 38, dan Jateng 35. Ada 5.889 desa/kelurahan di Jabar. Jatim 7.724 dan Jateng 7.809.

Jadi meski Jumlah penduduk Jabar terbesar se Jawa (dan se Indonesia), jumlah kota/kab dan desa/kelurahan tersedikit dibanding Jatim dan Jateng. Konsekuensinya jumlah kecamatan dan jumlah puskesmas di jabar tersedikit. 

Karena itu layanan-layanan publik bagi warga miskin di Jateng relatif lebih dekat dengan masyarakat dibanding Jabar.

Seharusnya Jabar punya 50 kota/kab dan 8000 desa agar layanan hak dasar lebih dekat. 

Tapi yaaa...upaya-upaya pemekaran lebih didasarkan pada kehendak elit politik, dan para pemborong. Bukan dari keinginan tulus melayani masyarakat.

Selagi belum mekar, maka perlu ada kerjasama antara pemerintah lokal dengan masyarakat. Kesehatan adalah hak dasar warganegara.

***