Eskatologi Sains

optimisme alam dunia (kosmologi) dan alam akhirat (eskatologi) bagi seluruh makhluk, terutama kesadaran Sapiens, adalah relasi nyata yang tak terbantahkan dan itulah tabir 'scientia sacra' yang bisa diraih oleh siapapun.

Sabtu, 14 Agustus 2021 | 09:13 WIB
0
192
Eskatologi Sains
Buku tentang sains (Foto: Dok. pribadi)

"Jika sains bisa memecahkan teka-teki alam semesta sebagai 'blackhole', maka rahasia dan wujud Tuhan akan terbuka dan nyata" (Stephen Hawking,1942-2018).

Sejak terbit perdana 1988, buku sains populer "Sejarah Sangkala" (A Brief History of Time) dari sainstis asal Cambridge Inggris, Stephen Hawking bikin dunia ilmu pengetahuan geger dan gegap gempita dengan penemuannya hakikat alam semesta dalam kungkungan waktu.

Dengan kemampuan mutakhir ilmu fisika dan matematika, Hawking berhasil memprediksi hakikat alam semesta sejak dari awal penciptaan hingga memuai dalam waktu seperti realitas hari ini.

Meski perubahan dan jejak waktu bisa ditebak dengan matematika fisika, ada fenomena ruang dan waktu yang belum bisa diurai-jelaskan oleh sains versi Hawking. Karena itu, ia menyimpulkan bahwa fenomena ruang dan waktu alam semesta memiliki lorong (time tunel) yang disebut 'blackhole' (lubang hitam).

Teka-teki lubang hitam (blackhole) yang tak terjangkau dan tetap dianggap misteri oleh sains mutakhir itu -dan sering diabaikan karena mubasir- menjadi santapan dan urusan para ilmuwan teologi.

Bagi para teolog khususnya seperti Ian Barbour, Keith Ward, John Haught dan Huston Smith, fenomena 'blackhole' itu akhirnya disimpulkan sebagai wilayah ilmu-ilmu 'akhirat' (eschatology) dan hendak menjawab teki-teki akhir dunia atau alam semesta?

Dengan demikian, batas-batas seluruh sains dalam menerka fenomena alam semesta (kosmologi) bersama seluruh gerak-gerik dan pertumbuhannya diambil alih oleh eskatologi sebagai sains bagi akhir dunia atau dalam kitab-kitab suci dikenalkan sebagai "alam akhirat"(judgement day) atau "the day of resurrection".

Bersama sejarah sangkala Hawking, usia alam semesta(kosmologi) ditaksir telah mencapai 13 miliar tahun dengan bukti-bukti arkeologi dan perhitungan matematika mutakhir dan dekade ini pencapaian itu baru saja dinafikan secara tak terduga oleh evolusi biomolekuler yang menggegerkan seluruh fondasi prestasi sains yang justru retak(fractal) dengan serangan sejenis virus dengan ukuran 0,5 nano.

Meski belum menjawab teka-teki sains kosmologi dan juga eskatologi, prediksi tentang riwayat sangkala (alam semesta) dan alam akhirat (eskatologi) sejatinya telah makin meneguhkan bahwa relasi alam semesta -di mana manusia yang telah mencapai 7.3 miliar populasi (Feuntes,2018)- dan alam akhirat jika tumbuh bersama dalam rentang 13 miliar tahun bersama alam semesta, pun baru saja menerima kematian populasi sejak Adam dan Hawa hingga umat nabi terakhir Muhammad (jika itupun diyakini dalam sejarah seluruh kitab suci samawi) belum melebihi populasi umat manusia yang diprediksi akan mencapai 30 miliar di 2050.

Dengan menyimak dan merinci jejak evolusi alam dan makhluk -apakah dengan prediksi sains dan eskatologi- optimisme keduanya atas nasib umat manusia di masa depan masih terbuka luas untuk dihayati sekaligus dinikmati sebagai bentuk kesyukuran yang tiada tara dan batasnya.

Akhirnya, optimisme alam dunia (kosmologi) dan alam akhirat (eskatologi) bagi seluruh makhluk, terutama kesadaran sapiens, adalah relasi nyata yang tak terbantahkan dan itulah tabir 'scientia sacra' yang bisa diraih oleh siapapun.

Reiner Omyot Ointe a.k.a. ReO Filsawan

***