Catatan Biasa Orang Biasa [22] Dihukum, Dilarang Masuk Kelas

Senin, 12 Mei 2025 | 17:22 WIB
0
1

Kelas hening. Wajah-wajah bingung. Saya menimbang-nimbang. Ya sudahlah, tidak ada pilihan lain. Bismillah, dengan mantap saya mengacungkan tangan. “Saya, Pak.” Semua mata berpaling ke arah saya yang duduk di deretan agak belakang. Sekilas saya melihat wajah teman-teman penuh tanda tanya, belum mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

“Oh, kamu yang menulis ini. Siapa nama kamu?” mata Pak Guru Sejarah ini terasa menusuk jantung saya. “Enton Supriyatna kelas I IPA 1, Pak,” jawab saya berusaha tegar. Dengan wajah dan nada suara menahan emosi, dia mengutarakan kekecewaannya atas tulisan di Pojok tersebut. “Itu tulisan yang tidak pantas,” tegasnya.

Pak Guru mengakhiri pertemuan tersebut dengan wajah masam. Maka gemuruhlah seisi kelas. Umumnya mempertanyakan persoalan sebenarnya sehingga Pak Guru Sejarah murka. Kharisma sendiri jadi naik daun hari itu. Banyak orang yang ingin tahu isi Pojok yang dipersoalkan. Dalam dada berkecamuk antara perasaan “sok jagoan” dan khawatir persoalan ini berbuntut panjang.

Peristiwa kemarahan itu cepat menyebar. Kru Kharisma pun membahas persoalan ini bersama para senior semisal Kang Agus Wahyudi Riana dan Hera Muhammad Azhar. Mereka memberi dukungan penuh. “Katakan kebenaran itu meskipun pahit adanya,” ujar Kang Agus. (Beliau sempat menjadi dosen di FISIP Unpad. Wafat sekitar setahun lalu).

Beberapa hari berselang setelah peristiwa kemarahan itu, Pak Guru Sejarah kembali mendapat giliran mengajar di kelas kami. Namun sebelum masuk kelas, beliau memanggil ketua kelas. Ternyata Pak Guru Sejarah memberi pilihan, dia siap mengajar dengan syarat saya keluar kelas. Jika saya tetap di dalam kelas, dia tidak mengajar.

Seisi kelas tidak memberi komentar atas dua pilihan tersebut. Tapi saya segera memutuskan, saya harus keluar kelas. Saya tidak mau kawan-kawan menjadi korban tidak mendapatkan pelajaran gara-gara “dosa” saya. Benar saja, setelah saya keluar kelas, Pak Guru itu masuk dan memberi pelajaran seperti biasanya. Hukuman berlaku begitu seterusnya.

Kemudian saya dipanggil guru BP (bimbingan dan penyuluhan). Harus diakui, ketika itu lembaga BP sesuatu yang menakutkan. Siswa yang dipanggil ke ruang tersebut, berarti siswa bermasalah. Di ruang BP sudah ada tiga orang guru menunggu. Untuk pertama kalinya saya masuk ruangan ini dalam kaitan urusan “dosa”.

Di ruang itu saya “diinterogasi”, ditanya macam-macam, diceramahi panjang lebar. Saya masih ingat beberapa perkataan mereka yang menilai kalimat dalam Pojok Jang Kaslan bisa membahayakan masa depan Pak Guru Sejarah. Padahal untuk menjadi seorang guru PNS tidaklah gampang.

Tidak merah

Kata mereka, pemerintah sedang giat-giatnya menerapkan program pengawasan melekat (waskat) terhadap pegawai negeri sipil. Berarti pengawasan yang terus menerus harus dilakukan terhadap aparatur secara internal, agar mereka bekerja secara baik. Termasuk para guru dalam kegiatan mengajar.

“Nah, apakah kamu tidak pernah berpikir, jika tulisan kamu dalam buletin itu nanti dibaca pihak pemerintah. Bisa marah jika mengetahui ternyata ada guru di SMAN 1 ini seperti yang kamu tulis. Ini bisa merugikan masa depan beliau,” ujar seorang guru BP. Mata mereka menatap tajam ke arah saya, yang duduk seperti pesakitan di pengadilan. Saya hanya mengangguk-angguk.

Sebenarnya “pengadilan” seperti ini tidak saya takuti benar. Satu hal yang saya takuti adalah jika orangtua sampai tahu. Karena ini akan menjadi persoalan tersendiri dan membebani pikiran mereka. Ketakutan itu muncul setelah ada seorang guru BP mengatakan, “Nanti saya beri tahu orangtua kamu, supaya menjadi perhatian”. Saya terdiam mendapat ancaman seperti itu.

Lebih dari sebulan lamanya saya menjadi orang hukuman. Sanksi itu baru berakhir setelah masa ulangan umum tiba, menjelang kenaikan kelas. Namun akhir hukuman tidak ditandai dengan permohonan maaf. Saya tidak sempat bertemu secara khusus dengan beliau. Sedangkan kehebohan terjadi karena kekhawatiran berlebihan khas Orde Baru.

Saya sudah pasrah jika hasil ulangan umum mata pelajaran sejarah angkanya menyala. Mungkin itulah risiko yang harus ditanggung. Bukan karena saya tidak mampu menjawab dengan benar soal-soal ulangan pelajaran sejarah, melainkan karena persoalan pribadi.
Apalagi saya tidak masuk kelas pada pelajaran Pak Guru Sejarah.

Ternyata kekhawatiran saya tidak terbukti. Meskipun tersinggung oleh tulisan saya, Pak Guru Sejarah bukanlah pendendam. Beliau tetap objektif memberi penilaian. Terbukti ketika raport dibagikan, saya mendapat angka tujuh untuk mata pelajaran sejarah.

Alhamdulillah. Saya sangat respek dan mengapresiasi Pak Guru Sejarah.

***

Tulisan sebelumnya: