Di era sekarang, sebenarnya banyak kebaikan yang mudah diperoleh. Hanya saja kita terlalu fokus terhadap urusan pribadi tanpa tahu kondisi orang-orang di sekitar kita.
Iman dalam Islam diartikan sebagai keyakinan atau kepercayaan terhadap kekuasaan Allah SWT. Iman merupakan hal yang krusial dalam bingkai keislaman dan ketauhidan seorang muslim. Tanpa iman, apa jadinya agama Islam? Dalam pengamalan iman, ada berbagai cara untuk melakukannya dan tentu hal ini sudah ada aturan syariat dalam Islam.
Iman juga memiliki cabang-cabang dan tingkatannya. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa tingkatan iman tertinggi adalah ucapan kalimat tauhid, atau yang biasa kita dengar dengan ucapan “La Ilaha Illallah”. Tentu hal ini bukan hanya sekadar ucapan belaka, tetapi juga dimasukkan ke dalam hati, dirasakan dengan sepenuh jiwa, dan menyerap kata penuh makna.
Sejatinya kalimat tauhid tadi, bisa meresap ke dalam alam pikir manusia dan membuat jiwa raga penuh gelora kala mengucapkannya. Orang yang sudah sampai dalam tingkatan utama ini, bisa dikatakan jarang ditemukan. Bukan karena saking minimnya orang muslim, melainkan karena jarang ada orang yang sampai pada tingkatan ini. Ada yang mengaitkan hal ini dengan tingkatan makrifat.
Adapun tingkatan yang paling rendah dalam hal iman, yaitu menyingkirkan gangguan yang ada di jalan. Penulis sebetulnya ingin memfokuskan tulisan pada poin ini. Alasan utamanya karena penulis sempat melihat secara langsung peristiwa menarik yang berkaitan dengan riwayat di atas.
Penulis merupakan seorang santri yang masih aktif mengaji di salah satu Madrasah Diniyyah di Desa setempat. Pergi mengaji pukul 14.30 WIB, pulang mengaji sekitar waktu bakda asar. Namun pada suatu sore kala penulis ingin pulang, turun hujan deras yang diselingi oleh angin dan petir. Bisa kita pahami memang pada saat itu merupakan musim penghujan.
Kepulangan penulis pun tertunda sampai waktu menunjukkan pukul 17.00 WIB. Pada jam tersebut, hujan mulai reda dan bisa kita bayangkan bagaimana beceknya jalan pedesaan. Namun tidak semua jalan yang penulis lewati berlumpur, ada sebagian yang memang sudah dipafing. Sebenarnya tidak jauh berbeda antara jalan yang berlumpur dengan yang dipafing.
Keduanya akan sama-sama licin kala musim hujan datang. Pafing semakin lama terkena air hujan, maka dia akan cepat berlumut. Lumut inilah yang nantinya bisa menyebabkan jalan licin. Dampak yang paling sering dirasa pengguna jalan adalah tergelincir karena saking licinnya jalan itu.
Saat penulis dalam perjalanan pulang, ada seorang wanita tua yang sedang membersihkan lumut di jalan berpafing. Penulis menyapa wanita tersebut dan sontak beliaupun membalasnya dengan senyuman ramah.
“Punten, Bu”
“Oh nggih monggo, Mas”
“Sedang apa sih, Bu?”
“Ini, Mas. Lagi bersihin lumut biar enggak licin. Tadi banyak anak yang terpeleset soalnya, Mas”
Waktu penulis mendengar jawaban beliau, sontak penulis pun merasa kagum tak tertahankan. Selain decak kagum karena kebaikan dari seorang wanita tua tersebut, penulis juga terkagum karena wanita tua itu bekerja sebagai penjual nomor, atau yang biasa kita kenal dengan “Tukang Togel”.
Penulis banyak bicara dalam hati, “Kok ada ya, wanita setua itu melakukan kebaikan seperti tadi? Bahkan saya pribadi yang dikenal dengan santri pun tidak ada inisiatif melakukan kebaikan seperti beliau. Lha ini justru orang yang menjual nomor, yang kerap kali dianggap sebagai wanita berdosa malah melakukan hal tak terduga seperti itu”.
Penulis merasa berat hati dan langsung merenung beberapa waktu. Andai pahala kebaikan bisa kita hitung, mari kita coba hitung seberapa banyak pahala wanita tadi dengan aksinya membersihkan lumut di jalan berpafing. Berniat baik, dalam sebuah riwayat bisa diberi satu pahala kebaikan. Ada ikhtiar dari niat baik tersebut, bernilai pahala lebih dari satu.
Membersihkan jalan agar tidak licin, supaya masyarakat sekitar tidak terganggu dalam perjalanannya, dinilai kebaikan lebih dari satu juga. Lalu berapakah pahala yang diraih wanita tadi ketika jalan itu dilalui oleh anak-anak yang mengaji atau beribadah? Banyak sekali bukan? Lalu apakah seorang wanita penjual nomor itu dikatakan beriman? Tentu saja.
Acap kali kita memandang seorang penjual nomor sebagai orang rendahan yang mesti kita jauhi. Padahal mereka sama-sama manusia ciptaan-Nya yang mesti juga kita kasihi bersama. Sering kali karena faktor ekonomi, manusia bisa melakukan apa saja dan menghalalkan segala cara untuk bisa mendapatkan selembar uang dan sesuap nasi.
Terkadang, mereka melakukan itu dengan rasa terpaksa. Tidakkah kita sadar bahwa kewajiban menolong sesama merupakan bagian dari Islam juga? Andai kata jika kita memberi sedekah secara bergilir kepada orang yang tidak mampu, pasti orang itu nantinya akan menjadi mampu. Ilmu ini penulis dapatkan dari ceramah-ceramah ulama dan habaib.
Jika pun tidak bisa membantu secara materi, kita bisa membantu melalui keterbukaan informasi mengenai lowongan pekerjaan. Di era sekarang, sebenarnya banyak kebaikan yang mudah diperoleh. Hanya saja kita terlalu fokus terhadap urusan pribadi tanpa tahu kondisi orang-orang di sekitar kita.
Apakah sampai sekarang kita masih menganggap tukang togel tidak memiliki iman? Justru kitalah orang yang tidak beriman. Kita membaca syahadat tapi lupa berzakat. Kita shalat tapi lupa untuk menjadi orang yang bermanfaat. Imankah kita? Bahkan mungkin keimanan kita lebih buruk dari imannya seorang wanita penjual nomor.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews