Catatan Biasa Orang Biasa [21] Marah Besar Gegara "Pojok" di Majalah Siswa

Saya sangat yakin, sebagian besar siswa dua kelas itu tidak mengerti apa hubungan buletin Kharisma dengan kemarahan beliau.

Minggu, 26 Desember 2021 | 07:14 WIB
0
146
Catatan Biasa Orang Biasa [21] Marah Besar Gegara "Pojok" di Majalah Siswa
Ilustrasi guru marah (Foto: quipper.com)

Melalui serangakain tes, akhirnya saya diterima sebagai siswa SMA Negeri 1 Jl. Rumah Sakit Tasikmalaya pada Juni tahun 1982. Sebagian besar kawan-kawan sepermainan di Aprak diterima di sekolah ini. Sebagian lagi melanjutkan ke SMAN 2 dan sekolah lainnya. Sementara Budhi Suhastian lolos masuk ke SMAN 3 Bandung. Saya pun berseragam putih abu celana panjang.

Seiring aktivitas belajar mengajar dimulai, unit-unit kegiatan siswa (ekstra-kurikuler) pun mulai merekrut murid baru. Saya memilih Pramuka dan OSIS. Dalam kepengurusan OSIS terdapat Seksi Publikasi yang menerbitkan buletin Kharisma, yang terbit sebulan sekali. Secara fisik penampilannya tidak jauh berbeda dengan buletin Prima saya kelola bersama kawan-kawan.

Ketua Seksi Publikasi adalah Kang Iwan Dartiwan, kakak kelas. Sementara saya di posisi wakil ketua. Pengelola lainnya antara lain Anita Dewayani dan Irfan Taufik Hsm (Kang Iwan Dartiwan wafat pada Desember 2018, saat bertugas sebagai orang BPKP yang diperbantukan di Kementerian Agama RI).

Saya terlibat secara intensif di penerbitan ini. Seperti juga di Prima, saya memegang rubrik khas “Pojok". Nama maskot yang saya gunakan juga Jang Kaslan. Karena sepeninggal saya, maskot tersebut tidak dipakai lagi di buletin Prima SMPN 2. Rubrik ini seperti rubrik “Ole-Ole” di Pikiran Rakyat atau “Pojok” di Kompas. Isinya menyentil tentang masalah tertentu.

Kami sering begadang untuk menyelesaikan materi buletin. Terkadang bekerja di loteng di atas warung milik keluarga Kang Iwan di Jln. Bebedahan Kota Tasikmalaya. Pernah pula begadang di rumah Anita Dewayani, tidak jauh dari rumah Kang Iwan. Atau juga di rumah Irfan Taufik di Jln. Padasuka sebelah utara Terminal Pancasila.

Saya mendapat ilmu baru ketika mengelola buletin Kharisma. Pengetikan naskah cukup dilakukan di atas kertas kwarto. Kemudian dibawa ke PD Atju Jln. Oto Iskandar Dinata Kota Bandung. Dengan teknik seperti fotokopi, naskah-naskah itu beralih ke kertas khusus. Hasilnya persis seperti pengetikan langsung di kertas Daito, hurufnya bolong-bolong.
Memang ujung-ujungnya dicetak dengan mesin stensil juga. Namun pengerjaannya lebih mudah, hasilnya jauh lebih bersih dan tajam.

Tidak mudah untuk membuat stensilan jenis ini. Di Tasikmalaya saat itu belum ada teknologinya. Karena itu kami harus bolak-balik Tasik-Bandung. Terkadang saya naik mobil umum dengan Kang Iwan Dartiwan atau naik motor Vespa bersama Irfan Taufik.

Saat pertama kali ke PD Atju, kami datang hari Minggu. Ternyata toko tersebut tutup setiap hari Minggu dan buka kembali hari Senin. Akhirnya saya dan Kang Iwan numpang tidur di rumah Budhi Suhastian di kawasan Jln. Supratman. Besokanya kami datang lebih awal ke PD Atju supaya pekerjaan cepat selesai. Sebelum zuhur kami sudah meninggalkan toko itu.

Pak Guru Ngambek

Ada kenangan yang takkan terlupakan berkaitan dengan rubrik Pojok yang saya gawangi. Boleh jadi, inilah kasus pertama saya di dunia jurnalistik. Berawal dari pelajaran yang disampaikan Pak Guru Sejarah (sebut saja begitu) di kelas kami, I IPA 1. Beliau kemudian berkeluh kesah tentang profesinya. Terucap kata-kata, “Saya sebenarnya mendingan ngajar di beberapa sekolah swasta. Setiap jamnya dibayar lumayan, ketimbang di sini.”

Keluh kesah Pak Guru Sejarah itu seperti memberi ilham bagi saya, yang saat itu tengah mencari-cari tema usil untuk “Pojok”. Yes, ditemukan juga rangkaian kalimatnya. Saya tak sabar lagi ingin pelajaran itu segera berakhir, dan mendiskusikan materi Pojok dengan teman-teman redaksi. Setelah ditemukan rangkaian kalimatnya secara lengkap, segera saya ketik.

Kalimat di Pojok itu berbunyi, “Seorang guru berkeluh kesah di sebuah kelas, lebih baik mengajar di sekolah swasta ketimbang di sekolah ini. Soalnya di sekolah swasta tiap jamnya dibayar”. Lalu di bawahnya Jang Kaslan berkomentar, “Wah kalau semua guru berpikiran seperti itu, bagaimana nasib para siswa di sekolah ini”.

Sepekan setelah Kharisma terbit, waktu itu hari Senin, salah satu mata pelajaran di kelas kami adalah sejarah. Saat tiba giliran pelajaran itu, masuklah Pak Guru Sejarah. Namun tidak seperti biasanya, wajah beliau begitu tidak bersahabat, seperti memendam persoalan berat. Tidak banyak yang dikatakannya. Dia hanya minta siswa kelas I IPA 1 bergabung dengan kelas I IPA 2, yang kebetulan tidak sedang belajar karena gurunya tidak datang.

“Kalian tahu mengapa dikumpulkan di kelas ini?” Tanya Pak Guru Sejarah dengan suara bergetar, wajahnya memerah. Dengan enteng kami menyahut, “Tidaaak….”. Lalu dipegangnya buletin Kharisma. Saya bertanya-tanya, apa hubungannya dengan buletin tersebut. Setengah berteriak dia berkata,” Siapa yang menulis pojok Jang Kaslan ini. Siapa yang memuat perkataan saya dan mengomentarinya seperti ini?”

Saya sangat yakin, sebagian besar siswa dua kelas itu tidak mengerti apa hubungan buletin Kharisma dengan kemarahan beliau. Mereka juga tidak paham ke mana arah kemarahannya itu. Apalagi tidak semua siswa membaca Kharisma. Tapi saya sangat mengerti dan mulai menghitung langkah yang harus dilakukan. Kelas hening, para siswa saling pandang. “Ayo mengaku saja. Kalau tidak, kelas ini tidak akan bubar,” suara itu kembali menghentak.

***

Tulisan sebelumnya: Catatan Biasa Orang Biasa [20] Ujian Akhir, Galunggung Meletus