Marilah kita peduli dengan nasib anak-anak kita sendiri. Dampingi mereka saat belajar. Jangan merasa tugasnya tuntas setelah bisa membelikan hape dan kuota.
Semalam, pulang kerja sekitar jam 24.00 atau dini hari. Jalan raya sudah sepi. Hanya ada beberapa truk pengangkut pasir yang lewat. Juga satu dua pedagang sayur yang kulakan ke pasar.
Begitu memasuki area kampung, astagfirullahal adhiim. Kaget bukan kepalang. Di beberapa tempat ada anak-anak berkerumun. Entah apa yang dikerjakan mereka. Ada yang pegang hape. Ada yang main laptop. Bahkan ada yang bakar sesuatu.
Yang bikin lebih ngeri lagi adalah anak-anak itu tanpa pakai masker. Bergerombol di tengah malam. Tanpa ada pengawasan orang tua sama sekali. Gila...
Dua hari masuk tahun pelajaran baru, anak-anak diminta belajar dari rumah. Pandemi COVID-19 benar-benar mengkhawatirkan. Orang yang positif Covid-19 makin banyak. Kluster baru persebaran virus Corona terjadi di banyak tempat. Innalillaah...
Hebohnya, anak-anak mengisi hari-harinya dengan lebih banyak bermain. Entah main bareng alias mabar online dengan hape. Main bola. Hingga dolanan layang-layang.
Wahai orang tua...
Ketahuilah bahwa masa depan anak-anak itu menjadi tanggung jawab orang tuanya. Bukan gurunya. Bukan teman-teman bermainnya.
Guru menjalankan tugas lewat online dan orang tua perlu menemani agar bisa membantu kesulitan anak-anak. Guru tak boleh mengundang anak-anak ke sekolah karena dikhawatirkan sekolah bisa menjadi kluster baru persebaran virus Corona.
Ingat, anak-anak itu datang dari mana saja dan berteman siapa saja. Kondisi setiap anak pun berbeda-beda sehingga daya tahan tubuh pun berbeda pula. Coba bayangkan akibatnya jika anak-anak dipaksa masuk sekolah. Bisa-bisa membawa oleh-oleh Corona ketika pulang ke rumah masing-masing.
Karena itulah, pembelajaran online dari rumah dilanjutkan karena curva Covid-19 masih terus naik. Belum ada perubahan zona merah ke kuning dan kuning ke hijau. Semua masih stagnan, bahkan cenderung memburuk.
Menyikapi hal ini, orang tua harus pegang peran lebih banyak. Anak-anak perlu didampingi saat belajar online. Jangan biarkan mereka pegang hape tanpa dikontrol. Bisa berakibat buruk, bahkan lebih buruk daripada Corona.
Ingat kejadian beberapa hari lalu di Sulawesi Selatan. Ada puluhan anak-anak seusia SMP menggelar pesta seks di hotel. Darimana mereka kenal itu kalau bukan dari hape? Siapa juga yang kasih duit? Orang tuanya. Dan kejadian mirip terjadi dimana-mana akibat penyalahgunaan hape.
Orang tua sibuk cari duit buat makan? Iya, semua orang juga tahu itu. Tak ada satu pun orang yang menyangkalnya. Namun, apakah orang tua akan menghabiskan waktunya untuk cari duit? Tidak juga, kan...
Aturlah waktu sebaik-baiknya agar tetap bisa mendampingi anak-anak belajar. Guru itu juga memantau ratusan muridnya setiap saat. Jangan dikira guru senang karena tidak mengajar anak-anak di kelas? Sama sekali tidak....
Andai disuruh memilih, semua guru pasti memilih mengajar anak-anak di kelas daripada lewat hape. Sudah kehilangan ratusan ribu duit untuk beli kuota, tapi hasilnya tak bisa diharapkan. Sulit sekali menjelaskan pelajaran lewat hape karena tak bisa melihat keseriusan anak-anak mengikuti pelajaran itu.
Guru itu mengajar ratusan murid setiap hari. Kalau ada tatap muka, mudah sekali menjelaskan materi kepada anak-anak. Sekarang, pembelajaran dilaksanakan lewat grup. Silakan bayangkan, betapa sulitnya guru menjelaskan pelajaran kepada anak-anak yang guru tidak tahu mereka dimana, sama siapa, dan sedang apa.
Maka, marilah kita peduli dengan nasib anak-anak kita sendiri. Dampingi mereka saat belajar. Jangan merasa tugasnya tuntas setelah bisa membelikan hape dan kuota. Masih ada satu tugas yang jauh lebih penting, yaitu menyelamatkan masa depan mereka.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews