Bahwa yang dikutip itu opini dan tanpa perimbangan dengan opini lain, itu merupakan penodaan kesucian fakta. Karena fakta yang dimaksud tidak dalam konteks, melainkan hanya sebatas teks.
Media massa, mau cetak, online, audio-visual di Indonesia, masih merupakan bagian dari masalah bagi bangsa dan negara. Walaupun semua lembaga publik, yang jualan apapun di ruang publik, pasti menyantumkan visi dan misi kemuliaan mereka. Tapi kalau praktiknya sering berlawanan, atau bahkan ingkar?
Celakanya, ada yang ingkar karena sengaja dan ingkar karena bodoh. Dan itu bisa terjadi untuk yang bernama Tempo, Kompas, CNN, atau BBC, apalagi berbagai media online abal-abal yang pakai web gratisan.
Mungkin karakter medianya, namun menulis berita hanya dengan mengutip satu narasumber, untuk sesuatu yang interpretative dan menyangkut hajat-hidup orang banyak, saya kira hal itu masuk kategori dekaden. Jika jaman dulu ada yang dinamakan mengutip press-release, jaman kini bedanya melalui interview, meski tak jarang pula wawancara via telpon, atau bahkan sambal lalu via whatsapp.
Di situ tragedi ‘fakta adalah suci’ (fact is sacred) dalam sebuah pemberitaan. Bahwa wartawan mengutip omongan orang, adalah fakta (artinya, bukan opini wartawannya). Tetapi bahwa yang dikutip adalah opini, dan tanpa perimbangan dengan opini lain, hal itu merupakan penodaan kesucian fakta. Karena fakta yang dimaksud tidak dalam konteks, melainkan hanya sebatas teks.
Belum lama lalu, ada berita cukup bagus sepertinya, setidaknya dengan argumentasi narasumber. Bahwa jika Presiden Jokowi tidak melakukan lockdown, ia berpotensi melanggar konstitusi. Demikian berita yang saya maksud, mengutip omongan juru bicara PKS (yang katanya juga disuarakan presiden PKS).
Pernyataan nara-sumber itu bagus, karena berdasar pembacaannya atas UU No 6/2018 tentang Kekarantinaan dan Kesehatan (istilah lain untuk lockdown). Sayangnya, meski disebutkan pasal-pasal, berita tersebut sama sekali hanya bersumber dari satu pihak, atau tepatnya satu orang. Jika pun disebut pihak lain, hanya dikutipkan dengan kata “di satu sisi Jokowi menyatakan,…”.
Apa yang dikatakan nara-sumber bukanlah fakta, tetapi interpretasi. Fakta dalam dunia pers bukan bagaimana peristiwa wartawan mendapat data. Namun apa yang disampaikan oleh data.Itu persoalannya. Bahwa ada “peristiwa pernyataan”, memang. Tapi pernyataan dari opini atau interpretasi narasumber bukanlah fakta. Dan karena itu, bisa tidak suci.
Interpretasi narasumber yang superlative, bisa lamis dan amis (sekalipun faktual ia mengatakan ‘itu’). Apalagi dalam kasus penyebutan pasal UU Kekarantinaan itu, narasumber hanya berdasar satu-dua pasal yang menguatkan agumennya. Ia sama sekali tak menyinggung pasal lain, bahwa hal tersebut menuntut syarat dan ketentuan berlaku.
Pada sisi itu, membicarakan UU dari satu pihak, apalagi satu orang, menjadi tidak kredibel untuk sebuah ‘kebenaran’ yang dibayangkan sebagai fakta.
Jika saya tak begitu kecewa pada PKS, karena saya kira demikian karakter partai itu. Sah-sah saja secara demokratis, meski tidak bijak. Yang lebih saya kecewakan, media yang menulis berita itu.
Saya tidak tahu siapa yang bodoh, reporter atau redakturnya. Atau memang niatnya mau memakai hal itu sebagai framing? Mangkanya kini banyak artis media yang lebih banyak muncul karena kontroversinya?
Saya tidak berani mengritik media. Nanti saya bisa dibunuh dan tidak popular. Mending ngritik penyanyi ndangdhut saja!
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews