Dilema Energi Terbarukan

Secara global, usia produk harus diperpanjang, sehingga tak menghasilkan limbah berlebih. Budaya membuang barang yang masih bisa dipakai juga perlu diubah.

Selasa, 19 November 2019 | 21:30 WIB
0
362
Dilema Energi Terbarukan
Ilustrasi energi terbarukan (Foto: rumahfilsafat.com)

Seorang teman berkunjung ke Jakarta minggu lalu. Ia mengeluh, betapa pengap dan panasnya Jakarta. Ini membuatnya sulit bernapas. Keluhan yang tidak hanya muncul dari pengunjung Jakarta, tetapi juga dari penghuni tetapnya.

Beberapa bulan lalu, saya berkunjung ke Surabaya. Cuaca memang panas. Namun, udaranya masih nyaman untuk dihirup. Hal serupa saya alami, ketika mengunjungi Yogyakarta.

Masalah lingkungan selalu bisa dilihat dari dua hal. Pertama, ini adalah tanda kegagalan kebijakan politik nasional. Pemerintah daerah Jakarta sekarang ini memang tak mumpuni untuk mengelola kompleksitas Jakarta. Yang kedua, ini adalah kegagalan kebijakan politik global terkait lingkungan hidup.

Masalah lingkungan menjadi amat penting untuk dibicarakan, karena itu menyentuh dua unsur kehidupan. Pertama, ia mengancam kesehatan manusia. Berbagai penyakit pernapasan maupun pencernaan menjadi tersebar, karena mutu udara, gizi maupun air yang rendah. Kedua, masalah lingkungan hidup juga mengancam keberadaan mahluk hidup lain. Ini mengancam keseimbangan ekosistem yang menopang kehidupan di bumi.

Energi Terbarukan

Di tingkat global, wacana yang sedang berkembang adalah wacana energi terbarukan (renewable energy). Energi fosil, seperti minyak dan batu bara, dianggap sebagai sumber dari pengrusakan lingkungan hidup dewasa ini. Polusi dan limbah yang dihasilkan amat besar. Energi itu pun suatu saat akan lenyap, tanpa bisa diperbarui kembali. (Hickel, 2019)

Gerakan krisis lingkungan hidup kini tersebar di berbagai negara. Mereka menekan pemerintah dan lembaga internasional untuk memperhatikan isu ini secara serius. Beberapa negara bahkan menyatakan darurat iklim (climate emergency). Salah satu jalan keluar yang kini disarankan adalah dengan teknologi energi terbarukan.

Tentu saja, ini adalah perkembangan yang sangat baik. Lebih banyak pihak harus terlibat dengan proses ini. Dengan adanya energi terbarukan, maka seluruh tata politik dan ekonomi global akan lebih lestari. Namun, ada masalah cukup besar di sini.

Dilema

Misalnya Lithium, yang digunakan sebagai penopang sumber energi berbagai peralatan elektronik. Pengelolaan Lithium adalah bencana ekologis yang amat besar. Kita membutuhkan 500.000 galon air untuk menciptakan satu ton Lithium. Proses ini jelas amat merusak lingkungan, terutama kehidupan petani yang amat membutuhkan air untuk irigasi.

Limbah pengolahan Lithium juga amat besar. Tambang Lithium kerap menghasilkan cairan kimia yang berbahaya bagi lingkungan. Di negara-negara penghasil Lithium, yang mayoritas berada di Amerika Selatan, limbah Lithium telah menghancurkan pertanian dan ekosistem air. Walaupun termasuk teknologi baru, Lithium telah menciptakan bencana lingkungan yang amat besar.

Semua ini dilakukan untuk menunjang proses produksi dan ekonomi global yang sudah ada. Dengan bertambahnya jumlah penduduk, maka sumber daya yang dibutuhkan pun juga akan semakin besar. Pola ini akan menciptakan bencana lingkungan di berbagai tingkat.

Ada beberapa ahli yang melihat nuklir sebagai sumber energi masa depan. Memang, energi nuklir menyediakan energi besar dengan limbah minimal. Namun, proses pendirian dan pengelolaan energi nuklir membutuhkan waktu yang lama dan proses yang amat rumit. Resikonya juga besar, yakni bencana nuklir yang bisa merusak ekosistem lebih dari satu generasi.

Kolonialisme Abad 21

Sumber daya alam yang diperlukan untuk menunjang produksi dan ekonomi global banyak ditemukan di benua Amerika, Afrika dan Asia. Perebutan sumber daya alam pasti akan terjadi, termasuk negara-negara miskin dan lemah yang menjadi korbannya. Masih segar di ingatan kita kolonialisme di abad 15 sampai abad 19 lalu. Negara-negara Eropa menjajah seluruh dunia untuk mencuri sumber daya alam, dan memperkaya diri mereka sendiri.

Di abad 20, Afrika dan Timur Tengah menjadi medan pertempuran para kolonial. Intan di Afrika Selatan, Kobalt di Kongo dan minyak di negara-negara Timur Tengah, semuanya menjadi perebutan negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Pola yang sama dapat dengan mudah terjadi di abad 21. Kini, Cina, Jepang dan Russia ikut ambil bagian dalam perebutan sumber daya alam.

Seperti dicatat oleh Hickel, perusahaan-perusahaan global kini juga ikut serta dalam kolonialisme. Mereka menyuap politisi. Mereka melakukan intimidasi terhadap kelompok-kelompok hak-hak asasi manusia, dan membuang limbah ilegal di berbagai tempat. Bahkan, mereka tak segan membunuh untuk mencapai tujuan-tujuan mereka.

Mengubah Pola Hidup         

Penelitian tentang energi terbarukan yang efisien tetap perlu dilakukan. Namun, hasilnya masih penuh ketidakpastian. Maka dari itu, satu-satunya jalan adalah dengan mengubah pola konsumsi dan menopang ekonomi global. Ekonomi tak bisa dipaksa untuk tumbuh tanpa batas, seperti yang menjadi anggapan umum dewasa ini.

Secara global, usia produk harus diperpanjang, sehingga tak menghasilkan limbah berlebih. Budaya membuang barang yang masih bisa dipakai juga perlu diubah. Transportasi umum dibuat efektif dan efisien, sehingga alat transportasi pribadi berkurang. Konsumsi barang mewah, seperti kendaraan mewah, senjata dan rumah mewah, harus sungguh dibatasi.

“Mengurangi penggunaan energi”, demikian tulis Jason Hickel, “tidak hanya mempercepat perubahan ke arah penggunaan energi terbarukan, tetapi juga memastikan, bahwa perubahan itu tidak menciptakan kerusakan-kerusakan yang baru.” Hanya dengan begini, dilema energi terbarukan bisa dihindari. Tunggu apa lagi?

***