Kontroversi Disertasi, Negara yang Tak Lagi Mengurusi Beda Tafsir Agama

Benang merah dari 9 jenis Milk Al- Yamin itu: hubungan seks di luar pernikahan itu terjadi tanpa paksaan, dan berdasarkan kesepakatan.

Kamis, 5 September 2019 | 20:13 WIB
0
698
Kontroversi Disertasi, Negara yang Tak Lagi Mengurusi Beda Tafsir Agama
Abdul Aziz (Foto: Tempo.co)

Setelah Nabi tiada, tiada pula penafsir tunggal yang otoritatif atas wahyu dan kitab suci. Nabi memiliki kualitas khusus spiritual, intelektual dan sosial, yang pandangannya atas wahyu itu sah tak terbantahkan.

Setelah nabi tiada, yang tersisa hanyalah para penafsir. Tak ada lagi manusia, termasuk ulama sehebat apapun, yang sah menjadi penafsir tunggal. Perbedaan tafsir para ulama, cerdik pandai, individu atas wahyu dan kitab suci, tak bisa dihindari.

Sebelum datangnya zaman modern, beda tafsir atas agama dapat berarti perang, hukuman bahkan kematian. Tapi kita pun belajar mengenai lucunya peradaban jika beda tafsir agama dihukum? Siapa yang berhak menghukum?

Bagaimana ia tahu bahwa tafsirnya yang paling benar menurut Tuhan? Bukankah ia (negara atau ulama) tak punya kapasitas kenabian, dan tak bisa mengecek pada Tuhan langsung, yang mana tafsir yang benar?

Sejak datangnya hak asasi manusia, setiap manusia dibebaskan memilih keyakinannya sendiri, memilih tafsirnya sendiri. Dibebaskan pula ia menyatakan pandangan keagamaannya, selucu apapun tafsir itu. Yang dilarang hanyalah pemaksaan, kekerasan dan intimidasi.

Kitapun sampai di era beragama secara rileks saja. Membuka Google, kita dapati misalnya penelitian arkeologi. Lalu mereka menyimpulkan Nabi Musa itu tak ada dalam sejarah. Itu hanya mitos. Apa sikap kita? Kita rileks saja, boleh percaya, boleh tidak.

Injil mengatakan yang disalib itu Yesus (Nabi Isa). Quran mengatakan yang disalib itu bukan Nabi Isa. Apa sikap kita? Kita rileks pula. Terserah siapa mau percaya yang mana.

Sikap yang rileks pula kita ekspresikan membaca kontroversi disertasi itu. Abdul Aziz membuat riset tentang pemikiran Muhammad Syahrur, pemikir Islam asal Suriah. Ia menyimpulkan hadirnya bentuk hubungan seksual di luar pernikahan yang sah berdasarkan hukum Islam. Tentu ini hukum Islam yang ditafsir oleh Muhammad Syahrur.

**

Sejak kemarin saya mencoba membaca disertasi itu. Saya baca pula hal ihwal soal Muhammad Syahrur, yang disebut pembaharu fikih seksual.

Syahrur mendasarkan diri pada bunyi surat Al Mukminin ayat 5-6. Ayat itu berbunyi antara lain: Perbuatan zina itu dilarang. Kecuali jika itu dilakukan dengan istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki.

Secara cepat ia membaca, ada dua hubungan yang menghalalkan zina: istri (hubungan perkawinan), dan budak (bukan hubungan perkawinan). Jelaslah istri itu bukan budak, dan budak itu bukan istri, bukan hasil pernikahan!

Bagaimana menafsir ayat itu untuk zaman masa kini? Apapun bentuk tafsirnya akan melahirkan pro- kontra.

Jika ayat itu ditafsir bahwa budak tak ada lagi. Yang sah untuk menghalalkan zinah hanya perkawinan. Ini berarti sebuah konfirmasi bahwa ada ayat Alquran yang tak berlaku sepanjang masa. Membuka kemungkinan di luar soal budak, ada pula ayat lain yang tak lagi relevan. Apa iya ada sebagian wahyu yang tak berlaku sepanjang zaman?

Namun jika legitimasi perbudakan dilanjutkan, lalu budak itu dapat dijadikan pemuas seksual, bukankah ini bertentangan dengan peradaban? Sebagian ahli fikih tradisional masih menghalalkan perbudakan. Bahkan tenaga kerja asing dan tawanan perang diberlakukan sebagai budak, yang boleh menjadi pemuas seksual.

Muhammad Syahrur datang dengan konsep yang berbeda. Ia tetap berpegang pada tafsir bahwa hubungan seksual itu halal melalui jalur pernikahan dan bukan jalur pernikahan. Namun yang di luar jalur penikahan konvensional itu yang sah, itu bukan budak. Syahrur menyebutnya dengan istilah Milk Al- Yamin.

Syahrurpun mempelajari aneka hubungan seksual dalam sejarah yang berada di luar konsep pernikahan. Sampailah ia kepada sembilan jenis hubungan seks di luar pernikahan yang sah.

Milk Al-Yamin bukan perbudakan. Milk Al-Yamin harus berdiri atas dasar kesepakatan, bukan paksaan. Sedangkan perbudakan itu paksaan, kekerasan.

Milk Al-Yamin juga bukan pernikahan. Karena proses pernikahan itu membutuhkan wali, penghulu, dan hak waris. Sedangkan Milk Al-Yamin tak melalui proses itu dan tak memilki konsekwensi waris.

Muhammad Syahrur pun membuat list sembilan jenis hubungan seksual di luar nikah yang sah. Antara lain: Nikah Mu’tah, Nikah Misyar, Nikah Friend hingga akad Ihsan.

Benang merah dari 9 jenis Milk Al- Yamin itu: hubungan seks di luar pernikahan itu terjadi tanpa paksaan, dan berdasarkan kesepakatan. Hubunhan seksual itu juga tidak dilakukan untuk hubungan yang dilarang (hubungan sedarah, wanita yang sudah beristri, tidak di muka umum, tidak dilakukan dalam grup, dan tidak dengan partner seks sejenis).

Muhammad Syahrur juga menafsir ulang konsep Zina. Bagi Syahrur, Zina itu bukan perbuatan seks di luar pernikahan.

Syahrur menafsir Zina itu sebagai hubungan seks di luar perkawinan yang dilarang . Yaitu hubungan seksual yang dilakukan di muka umum (karena harus ada minimal 4 saksi), atau dilakukan dalam grup dengan beberapa pria, atau dilakukan dengan wanita yang sudah beristri).

Milk Al-Yamin bukan zina dalam definisi yang dilarang di atas.

Jika pandangan Muhammad Syahrur itu diterapkan, apa yang terjadi? Pandangan ini jelas melawan perbudakan. Tak ada tempat di zaman modern yang melegalkan pemaksaan.

Ia juga mengubah konsep zinah, sehingga tak semua hubungan seksual di luar nikah dilarang atau diberi sanksi hukum.

Ia juga mengurangi arti penting poligami, karena hubungan seksual dapat dilakukan tanpa ikatan pernikahan, sejauh masuk dalam konsep Milk Al-Yamin.

Benarkah tafsir Muhammad Syahrur? Bagaimana pemerintah harus bersikap atas meluasnya pandangan Syahrur?

Tafsir agama sepenuhnya wilayah masyarakat. Negara modern tak ikut campur menentukan tafsir mana yang salah dan benar.

Biarlah para ahli, pakar, berdebat soal itu. Perdebatan soal tafsir agama tak tak bisa dihindari. Karena itulah lahir schisms, perbedaan internal dalam satu agama.

Kristen terbelah menjadi Katolik, Protestan, Mormon dan ratusan lain. Islam pecah pula menjadi Sunni, Syiah, Ahmadiyah, Nation of Islam, dan puluhan lain. Hal yang sama terjadi pada agama Hindu, Budha, bahkan ideologi sekuler.

Benarkah hubungan seks di luar nikah sah dalam hukum Islam, sejauh masuk dalam kategori Milk Al-Yamin? Biarkan saja masyarakat yang mengurus dan berdebat soal tafsir itu.

Negara modern hanya mengurusi hukum kriminal yang merujuk pada prinsip hak asasi manusia saja. Masih banyak soal lain yang perlu diurus negara.

Sept 2019

***

Denny JA