Saya gembira sekali ketika Nahdlatul Ulama (NU) menganjurkan agar kita menggunakan kata 'non-muslim' sebagai ganti kata 'kafir' karena ini sungguh tepat. Kita tidak selayaknya mencap orang lain yang bukan muslim sebagai kafir. Saya punya pengalaman untuk itu.
Suatu ketika dalam pertemuan ada seorang pendukung Jokowi yang mengritik Prabowo. Dengan menggebu-gebu dia bilang bahwa Prabowo itu berasal dari keluarga kafir dan sampai sekarang keluarganya masih kafir semua. Saya dengan spontan protes dan idak setuju dengan penggunaan kata 'kafir' tersebut. Keluarga Prabowo memang non-muslim tapi mereka tentulah bukan orang kafir, kata saya.
Mereka orang-orang yang beragama dengan taat, meskipun bukan muslim. Mereka itu non-muslim. Tapi saya dibantah dengan alasan bahwa non-muslim itu ya kafir dan itu adalah firman Tuhan sendiri dalam Surat Al-Kafirun. Mosok Surat Al-Kafirun mau diganti menjadi Surat Al-Non-musliminun, demikian alasannya.
Saya membantah dengan mengatakan bahwa keluarga Prabowo itu beragama Nasrani dan bukan orang kafir. Mereka di Alquran disebut 'Ahli Al-Kitab'. Menyatakan bahwa keluarga Prabowo adalah keluarga kafir sangatlah tidak etis, tidak tepat, dan menyakitkan hati. Dan kami saling berbantahan.
Jadi bayangkan betapa senangnya hati saya bahwa mulai hari ini saya bisa sampaikan bahwa berdasarkan keputusan Munas NU yang disepakati oleh para alim ulama kita SEBAIKNYA TIDAK LAGI menyebut Prabowo berasal dari keluarga kafir dan semua keluarganya adalah kafir. Itu kurang ajar dan tidak beradab.
Keluarga Prabowo adalah non-muslim dan di mata negara punya hak dan kewajiban yang sama dengan para muslim.
Mari kita menjauhi sikap dan prilaku mengafir-ngafirkan orang lain.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews