Ketika Hidup Di persimpangan Jalan
Ada yang mengatakan bahwa orang yang berjiwa nasional,seharusnya tidak bekerja di negeri orang karena setetes keringat bagi negeri sendiri adalah jauh lebih bernilai ketimbang setumpuk uang dolar dari negeri orang.
Bagi orang yang kebetulan hidupnya sedang berada di posisi aman dan nyaman,tentu saja sangat mudah untuk memberikan stempel bagi orang lain,"berjiwa nasional atau tidak" akan tetapi bilamana dihadapkan pada pilihan, "Mana yang lebih baik, jadi benalu di negeri sendiri ataukah memilih menjadi TKI di negeri orang?"
Pada waktu ada kesempatan pulang kampung,kami menyempatkan mengunjungi sahabat sahabat lama. Dan kalau bertemu sahabat lama tentu tidak etis kita tanyakan,berapa nilai depositonya di bank atau sudah berapa hektar tanahnya? Yang lazim ditanya adalah apa kabar? Sudah punya cucu? Atau anaknya di mana?
Pertanyaan yang sama yakni, "Anaknya sekarang tinggal di mana?" tapi jawaban tentu saja berbeda. Bagi yang anaknya melanjutkan studi S3 di luar negeri akan menjawab dengan antusias, "Yanto sedang mengambil S3 di Amerika Serikat" dan dengan wajah sumringah akan bercerita walaupun tidak ditanya.
Tapi ketika bertanya kepada sahabat lama saya yang lain, "Maaf Yanti tinggal dimana sekarang pak?" maka ayahanda Rudi yang adalah sahabat saya semasih kecil, agak terdiam. Kemudian dengan nada sedih menjawab, "Yanti jadi TKI di Hongkong pak. Sudah saya larang, tapi tetap bersikeras berangkat, ya mau apa lagi, begitu maunya", j awab sahabat saya dengan nada sedih dan wajah murung
Stigma Buram Tentang TKI Masih Terus Berlanjut
Di zaman Belanda, orang yang bekerja sebagai pembantu dirumah orang lain,disebut dengan "Jongos " atau "babu". Walaupun di belakang hari sudah diganti dengan kata, "Pembantu rumah tangga" bahkan sudah diperhalus lagi dengan istilah keren, "Asisten Rumah Tangga" namun image buram masih terus melekat pekat dalam ingatan banyak orang. Sehingga membicarakan mengenai anaknya yang sedang bekerja di luar negeri, seakan menceritakan aib keluarga.
Mengapa Memilih Jadi TKI?
Tedy putra salah seorang sahabat saya mengatakan bahwa dirinya sama sekali tidak malu jadi TKI di negeri orang. "Om, saya tidak mau jadi benalu di negeri sendiri. Tinggal menumpang gratis di rumah orang tua, bahkan makan minumpun gratis.
Padahal saya sudah berumah tangga. Rencananya saya kerja di luar negeri selama 3 tahun untuk menabung dan kemudian pulang kampung untuk membuka usaha kecil kecilan. Saya tidak ingin menjadi benalu yang menjadi beban bagi orangtua saya yang sudah berusia 70 tahun.
Menghakimi orang lain memang sangat mudah,yakni dengan memberikan stempel, "tidak berjiwa nasional". Akan tetapi bilamana diri kita sendiri dihadapkan di persimpangan jalan hidup, yakni memilih antara, "Menjadi benalu di negeri sendiri atau menjadi TKI di negeri orang mana yang akan dipilih?"
Memberikan jawaban, pasti akan menimbulkan reaksi pro dan kontra. Maka jalan yang paling aman bilamana ada yang bertanya, maka jawabannya yang paling tepat adalah "Please don't ask me, ask your heart, because the answer is in your heart."
Dengan jawaban mengambang ini, maka kita masuk dalam zona aman dan nyaman, tidak akan ada yang akan mengatakan kita tidak berjiwa nasional.
Tapi bila sifat ini dipertahankan,maka lama kelamaan kita akan jadi manusia peragu. Gamang dalam melangkahkarena takut disalahkan. Mana yang kita pilih? The choise is yours, because your choise is your life!
Tjiptadinata Effendi
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews