Ngeri. Saat melihat video ini: bagaimana pergerakan pesawat Lion 610 itu. Sebelum terjun ke laut dekat Karawang itu.
Saya menerima video itu seminggu setelah kecelakaan. Dari grup para engineers. Saya tidak berani nge-share. Belum tahu apakah betul-betul begitu.
Saya pun mengikuti perkembangannya dengan seksama. Membaca media-media Amerika, Inggris dan Hongkong. Diskusi dengan ahli di bidang itu.
Akhirnya saya mengambil kesimpulan: sepertinya pergerakan pesawat seperti di video itu betul. Setidaknya mirip-mirip.
Di video itu terlihat pesawat take off di bandara Soekarno Hatta Jakarta. Tanggal 29 Oktober. Pukul 6 pagi. Lengkap dengan menit dan detiknya.
Setelah take off terlihat terbangnya agak datar. Tidak menaik. Sampai beberapa menit kemudian masih belum tinggi.
Ketika mulai bisa naik turun lagi. Lalu naik lagi. Turun lagi.
Beberapa kali.
Pesawat tidak pernah naik lagi. Sampai beberapa menit kemudian. Bahkan hidungnya sempat menukik. Beberapa saat. Lalu normal lagi. Menukik lagi. Normal lagi.
Saya bisa membayangkan: seandainya saya penumpangnya. Dengan pergerakan pesawat seperti itu. Alangkah paniknya.
Tentu sebagian penumpang sudah tertidur. Sejak sebelum take off. Akibat bangun terlalu awal. Seperti kebiasaan saya. Pun pasti terbangun. Apalagi ketika hidung pesawat menukik tajam. Ke arah air laut. Lebih-lebih ketika pesawat dalam posisi terbalik. Sebelum normal lagi. Dan akhirnya benar-benar terjun ke laut. Dengan 189 penumpangnya.
Lihatlah grafik perjalanan pesawat itu. Di instagram saya: dahlaniskan19. Yang saya ambil dari New York Times.
Terlihat pilot seperti mengalami kesulitan. Untuk menaikkan pesawat.
Mungkin pilot mencoba-coba memasukkan data ke komputer. Untuk mengatasinya. Lalu mengoreksinya. Memasukkan data lain lagi. Mengoreksinya lagi. Entahlah.
Ternyata kejadian yang mirip Lion itu pernah terjadi di Irlandia. Tahun lalu. Saat pesawat serupa akan terbang dari Belfast, Irlandia. Menuju Yunani. Dengan penumpang 185 orang.
Pesawat Sunwing Airlines itu mau take off. Tapi tidak segera bisa mengangkasa. Roda depan tidak segera terangkat. Padahal ujung landasan sudah dekat. Akhirnya roda depan memang terangkat. Tapi telat sekali. Sudah hampir lewat landasan. Roda belakangnya sempat nyenggol lampu di tanah. Lampunya pecah.
Pilot berusaha keras untuk mengatasi ketinggian. Untung. Berhasil.
Analis kejadian itu baru keluar kemarin. Kesimpulannya: sangat membayakan. Ternyata ada kesalahan data temperatur di komputer. Saat take off itu. Yang mestinya 16 derajat tertulis minus 52 derajat: sama dengan suhu ketika pesawat di ketinggian 30 ribu kaki.
Akibatnya, kecepatan pesawat tidak mencapai seperti yang diprogramkan.
Dalam kasus Belfast itu pilot berhasil mengatasinya. Dengan ketenangannya. Banyak contoh keberhasilan pilot seperti itu: pilot 747 yang empat mesinnya mati semua di atas Gunung Galunggung. Pilot Garuda yang dua mesinnya semua mati: bisa mendaratkannya di sungai dekat Solo. Pilot Adam Air yang berhasil mendaratkan pesawat tanpa arah itu di Sumba Barat.
Memang ada juga yang gagal. Seperti pilot Singapore Airline. Yang take off di bandara Taipei. Yang komputernya dikira tidak berfungsi. Pilot menambah ketinggian secara manual. Ternyata komputernya berfungsi.
Dua perintah ‘naik’ datang bersamaan. Pesawat berdiri tegak. Lalu jatuh stall di bandara.
Video perjalanan Lion JT610 itu dibuat sebagai simulasi. Dengan cara memasukkan data ke dalam komputer. Yang diambil dari menara. Atau dari sumber lainnya.
Dalam situasi kritis seperti itulah pilot dan copilot harus satu soul.
Biasanya sang pilot lebih senior. Copilotnya yang lebih yunior. Tapi dalam kasus Lion JT610 ini Copilotnya lebih tua. Tentu tidak ada salahnya.
Hanya menimbulkan spekulasi: apakah yang lebih senior itu mau mengakui kemampuan yuniornya.
Saya tentu tidak tahu itu. Juga tidak tahu: adakah senior-yunior menjadi persoalan psikis dalam koordinasi di cockpit? Dengan taruhan nyawa penumpang satu pesawat.
Ataukah ini persoalan manajemen penugasan?
Dari grafik yang dimuat New York Times terlihat jelas: betapa pilot Lion berusaha untuk mengatasinya.
Dari blackbox kita akan tahu: bagaimana pilot dan copilot saling bicara. Untuk mengatasi kondisi kritis itu.
Sementara ini kita bayangkan saja.
***
Dahlan Iskan