Eksistensi atau Ko-Eksistensi dalam Hidup

Sains, paradigma atau apapun produk pemikiran adalah fana, dinamis, selalu berubah-ubah dari waktu ke waktu. Seperti kata filosof Herakleitos, “Panta Rhei Kai Uden Menei,” semua mengalir dan tidak ada sesuatu pun yang tinggal tetap.

Jumat, 31 Desember 2021 | 07:25 WIB
0
317
Eksistensi atau Ko-Eksistensi dalam Hidup
Filsafat kehidupan (Foto: Wordpress.com)

Mungkin benar, klaim Bang Achmad Albar (God Bless) bahwa “dunia ini panggung sandiwara, dimana ceritanya mudah berubah. Tetapi, dunia ini juga bagaikan jembatan kehidupan, yang tidak hanya berisi lakon-lakon sandiwara.”

Hidup adalah perjuangan tanpa akhir, tiada henti,” kata Dewa 19. Setiap perjuangan niscaya akan menghadapi halangan, rintangan, hambatan, berat dan/atau ringan. Yang menang menjadi “pemenang” (the winner), yang kalah menjadi “pecundang” (the looser).

Jika tidak mau kalah, harus “berjuang sekuat tenaga, karena rintangan sudah pasti ada”, kata bang Rhoma. Tetapi ingat, yang menang pun jangan terburu-buru bereforia, berpesta-pora. Karena, “kemenangan hari ini, bukanlah berarti kemenangan esok hari”, kata bang Dewa 19.

Hidup adalah fana, selalu berubah-ubah secara dinamis dari waktu ke waktu. Hanya mereka yang dinamis dan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan lah yang akan tetap eksis, bertahan hidup, dan melanjutkan kehidupan dan keturunan/warisan.

Prinsip, bahwa hidup adalah perjuangan yang sarat dengan kompetisi dan pertarungan hidup atau mati telah melahirkan sejumlah teori yang bisa dibilang, monumental dan fenomenal, melampaui pemikiran yang ada pada zamannya.

Darwin: Seleksi Alam dan Perubahan Organisme

Charles Darwin adalah ilmuwan “pertama” yang mengangkat topik mengenai perjuangan dan kompetisi untuk mempertahankan dan melanjutkan kehidupan melalui pemikirannya tentang asal-usul makhluk hidup (On the Origin of Species by Means of Natural Selection) (1859). Sebuah mahakarya yang monumental dan fenomenal yang dihasilkannya dari ekspedisi ilmiah selama 5 tahun (1831—1836 M) dengan kapal HMS Beagle ke berbagai tempat. Diantaranya kepulauan Galapagos dan Selandia Baru.

Menurut Darwin, setiap makhluk niscaya akan menjalani kehidupannya melalui prinsip “Seleksi Alam” (the Natural Selection). Menurut prinsip ini, setiap makhluk hidup harus berjuang, berkompetisi, bertarung dengan alam yang menjadi ruang hidupnya (lebensraum) untuk bisa bertahan hidup (struggle for existence or life).

Hanya mereka yang memiliki sifat-sifat genetik terbaik atau unggullah yang mampu beradaptasi dengan lingkungan baru, dan paling besar peluangnya untuk bertahan hidup dan bereproduksi, sambil meneruskan karakteristik yang membantunya bertahan ke keturunannya (survival of the the fittes).

Teori evolusi Darwin ini banyak mendapatkan tantangan dan penolakan, terutama dari kalangan agamawan, karena kelanjutan logis dari teorinya adalah bahwa “manusia (homo sapiens) hanyalah wujud lain hewan.” Terlepas dari pro-kontra, teori evolusi ini masih terus bertahan, di tengah berbagai kritik dan kecaman.

Wacana tentang evolusi sendiri pun hingga saat ini telah jauh melebar dan berubah seiring dengan makin luasnya campur tangan ilmu genetika. Ilmu biologi evolusi hingga kini juga masih terus berikhtiar untuk menjawab pertanyaan mendasar “dari mana asal-usul manusia.”

Marx: Perjuangan Klas dan Perubahan Sosial

Seperti halnya Darwin, Marx juga memandang bahwa hidup adalah sebuah perjuangan atau pertarungan (kolektiva) agar bisa tetap eksis dan melanjutkan hidup. Bedanya, jika Darwin berteori tentang organisme biologis, maka Karl Marx berteori tentang organisme masyarakat. Menurut Marx (1848), dalam teori “Perjuangan Klas” (class struggles), sejarah masyarakat manusia adalah sejarah perjuangan klas. Yaitu antara klas pekerja/buruh (proletar) dan klas pemodal (borjuis), karena ketidaksetaraan dalam kepemilikan modal dan alat-alat produksi (akses ekonomi) di berbagai bidang kehidupan sosial. (all history has been a history of class struggles, of struggles between exploited and exploiting, between dominated and dominating classes at various stages of social evolution) (p.6).

Jika mereka (klas proletar, pekerja) mau bertahan dan melanjutkan hidup, mereka harus memiliki “kesadaran klas,” berjuang dan terlibat aktif dalam hubungan-hubungan sosial dengan orang lain di klasnya (pekerja dari semua negeri, bersatulah) untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya, sekaligus mengubah lingkungannya (perubahan sosial) melalui kegiatan produktifnya.

Teori Perjuangan Kelas Marx—seperti halnya Darwin—juga banyak mendapatkan kritik, dan kecaman dari kalangan intelektual maupun agamawan. Terutama Ketika Marx melalui artikel berjudul “Zur Kritik der Hegelschen Rechtsphilosophie” (Menuju Kritik Filsafat Hukum Hegel) menyatakan bahwa “agama adalah candu bagi rakyat/masyarakat" (religion is the opium of the people).

Selain itu, sejumlah prediksi Marx tidak terbukti hingga saat ini, yaitu bahwa kaum buruh dalam negara-negara kapitalis akan semakin melarat; kaum menengah akan semakin sedikit karena sebagian besar dari mereka menjadi proletar; dan mekanisasi yang semakin meningkat akan mengurangi keuntungan kaum kapitalis. Bahkan Marx ditolak dan diusir di sejumlah negara. Apa yang saat ini terjadi di Soviet (diktator proletariat), bisa jadi, lebih merupakan hasil dari pemikiran dan langkah politik Lenin dan Stalin daripada gagasan tulisan Marx (britannica.com).

Kuhn: Revolusi Sains dan Perubahan Paradigma

Thomas S. Kuhn adalah ilmuwan ketiga yang menegaskan bahwa hidup adalah sebuah perjuangan atau pertarungan untuk bisa bertahan dan melanjutkan hidup. Khususnya terkait dengan kehidupan sains dan tradisinya. Situasi anomali dan kesadaran terhadapnya memainkan peran penting bagi terjadinya penemuan dan perubahan paradigma.

Dalam situasi anomali ini pula, terjadi pertarungan, pergulatan atau kompetisi antar-paradigma. Sebuah pertarungan hidup-mati yang sarat kompetisi dan konfrontasi antara “paradigma lama” (existing paradigm) yang sedang menghadapi krisis keilmuan dan kepercayaan, dengan “calon-calon pengganti paradigma” (alternate candidate of paradigms) yang menawarkan perspektif baru, segar, dan lebih akurat dalam menghadapi krisis dan memecahkan masalah dan teka-teki keilmuan.

Tesis ini dapat ditelisik dari pernyataan Kuhn, bahwa “tradisi sains normal yang muncul dari sebuah revolusi ilmiah (new paradigm, extraordinary science, atau dominant theory) tidak hanya tidak sesuai, tetapi seringkali benar-benar tidak dapat dibandingkan dengan apa yang telah terjadi sebelumnya (paradigma lama)” (The normal-scientific tradition that emerges from a scientific revolution is not only incompatible but often actually incommensurable with that which has gone before) (Kuhn, 1970: 103).

Hal inilah yang kemudian dikenal sebagai prinsip “ketidaksebandingan paradigma” (incommensurability of the normal-scientific traditions). Ketidaksebandingan antar-paradigma ini dikarenakan dua hal. Pertama, setiap paradigma memiliki masalah dan enigma keilmuan berbeda untuk dipecahkan. Kedua, standar keilmuan dan/atau definisi sains di antara paradigma tersebut juga tidak sama. Karena itu, bagi Kuhn, di era sains normal hanya ada satu paradigma (single paradigm) yang berjaya dan unggul.

Bahwasanya, dalam setiap episode perubahan paradigma, selalu bersifat “menghancurkan” (destructive) sekaligus “membangun” (constructive). Menghancurkan/menggantikan paradigma lama, dan membangun paradigma baru yang lebih handal memecahkan masalah-masalah keilmuan.

Teori revolusi keilmuan Kuhn pun, tak lepas dari kritik, seperti disampaikan oleh Laudan (2012); Weinberg (1998); serta Popper, Feyerabend dan Laktos (1970), di dalam sebuah kolukium internasional yang secara spesifik membahas dan membedah logika penemuan Kuhn. Namun, lepas dari pro dan kontra terhadap teori Kuhn, kita tidak dapat memungkiri bahwa teori ini telah banyak digunakan dalam berbagai disiplin ilmu dan kehidupan.

Walaupun teori ini banyak mengambil contoh kasus dalam ilmu-ilmu kealaman dan bidang yang ditekuni oleh Kuhn, tetapi teori ini telah menginspirasi dan juga banyak digunakan oleh para ilmuwan dalam wilayah ilmu sosial humaniora untuk memahami dinamika yang terjadi di internal masing-masing disiplin ilmu.

Tiga ilmuwan dan teorinya di atas menegaskan bahwa hidup tidaklah linear, melainkan dinamis, penuh lika-liku perjuangan, pertarungan atau kompetisi. Mereka bisa bertahan hidup dan melanjutkan keturunan jika mampu menjadi pemenang dalam proses “seleksi alam” (Darwin), “perjuangan kelas” (Marx), atau bisa mengatasi “situasi anomali dan krisis” (Kuhn).
 
Kehidupan adalah Ko-eksistensi  

Tampaknya tidak semua ilmuwan memiliki dan mengembangkan pemikiran dualisme yang mengedepankan arti pertarungan, pergulatan, kompetisi, atau persaingan. Banyak juga ilmuwan yang menawarkan pemikiran yang mencoba mencari linkage atau pertautan atas dasar kebersamaan, kolaboratif, ko-eksistensi antarindividu, antarklas, dll.

Mereka antara lain Piaget dengan teori konstruktivisme kognitif; Vygotsky (1979) dengan teori konstruktivisme sosial yang terkenal dengan teori “Zone of Proximal Development”; Ritzer (1975) dengan teori Sosiologi Paradigma Ganda; Capra (2019) dengan teori ekologi holistik-integratif yang menolak pandangan mekanistik Cartesian-Newtonian; Brameld (1956) dengan teori rekonstruksionisme; atau Giddens (2000) dengan teori strukturasinya.

Bagi mereka para proponen ko-eksistensi, semua kehidupan di bumi terhubung dan terkait satu sama lain, membentuk sebuah mahasistem kehidupan. Perubahan yang terjadi pada salah satu aspek niscaya berdampak pada aspek-aspek yang lain. Realitas itu sejatinya merupakan suatu sistem, yang tercipta dari relasi-relasi simbiotik di antara berbagai unsur di dalam sistem secara keseluruhan, dan dari berbagai perspektif secara terpadu. Di alam nyata, segala sesuatunya saling berkaitan terus-menerus selama-lamanya. Tak ada garis pemisah yang tegas antarfenomena [fisikal, biologis, sosial, dll].

Bahwa organisme hidup, masyarakat, dan ekosistem, semuanya adalah sistem, dalam pengertian bahwa semua fenomena terjalin dalam kesalinghubungan dan kesalingtergantungan, membangun suatu keseluruhan terpadu, yang sifat-sifatnya tidak dapat direduksi menjadi sifat-sifat dari bagian-bagian yang lebih kecil. "Each pair of opposites thus forms both a unity and a plurality. Different pairs are also found to be interconnected" (Setiap pasangan yang berlawanan sejatinya membentuk suatu kesatuan dan pluralitas. Pasangan yang berbeda pun sesungguhnya saling berhubungan), kata Herakleitos (Kirk & Raven, 1957).

Bagi Capra (2000), visi realitas baru perlu didasarkan pada kesadaran akan saling-hubungan dan saling-ketergantungan esensial dari semua fenomena—fisik, biologis, psikologis, sosial, dan kultural, [karena itu]…tidak ada satupun teori dan model yang menjadi lebih fundamental daripada teori dan model lainnya, dan semuanya akan sama-sama bersifat konsisten. Teori-teori dan model-model tersebut akan melampaui batas-batas perbedaan disiplin konvensional; bahasa apapun yang digunakan akan cocok untuk menggambarkan berbagai aspek susunan realitas yang saling berhubungan dan bertingkat-tingkat itu. Sama halnya, tidak ada lembaga sosial baru yang lebih unggul atau lebih penting daripada lembaga sosial lainnya, dan semuanya harus saling berkomunikasi dan bekerjasama.

Teori mana yang benar atau salah (eksistensi atau ko-eksistensi) biarlah menjadi bagian dari diskusi akademik, atau meminjam istilah Kuhn menjadi bagian dari “eksperimen anomali” para peneliti. Karena sejatinya, arti penting seseorang (ilmuwan, filosof, dll.) terletak bukan hanya pada kebenaran pendapatnya, tapi terletak pada masalah apakah buah pikirannya telah menggerakkan orang untuk bertindak atau tidak.

Sains, paradigma atau apapun produk pemikiran adalah fana, dinamis, selalu berubah-ubah dari waktu ke waktu. Seperti kata filosof Herakleitos, “Panta Rhei Kai Uden Menei,” semua mengalir dan tidak ada sesuatu pun yang tinggal tetap. Sebuah pemikiran filsafati yang mendobrak kemapanan dan memberikan sebuah pemikiran baru dalam dunia filsafat, bahwa “tidak ada satu pun di alam semesta ini yang bersifat tetap atau abadi, termasuk alam semesta, apalagi sains atau ilmu pengetahuan(Kirk & Raven, 1957).

Semoga menginspirasi.

Pesona Mozaik, 29 Desember 2021

_________________________

Penulis adalah Dosen prodi Pendidikan IPS FKIP, dan Sekretaris Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Terbuka (LPPM-UT).