Situasi Phnom Penh sudah membaik kembali. Kegiatan sehari-hari berjalan normal, meskipun memang agak sepi. Namun, sama sekali tidak ada peningkatan pasukan, ataupun penjagaan khusus.
Usai Rapat Redaksi Jumat pagi, 4 Juli 1997, Pak Jakob Oetama memanggil saya, dan meminta saya pergi ke Kamboja untuk meliput krisis politik yang berkembang menjadi konflik bersenjata. Pemilihan Umum (Pemilu) Kamboja yang diselenggarakan oleh Pemerintahan Transisi PBB di Kamboja (UNTAC—UN Transitional Authority in Cambodia) tahun 1993 menyisakan persoalan. Yang menang dalam pemilu Pangeran Ranariddh, sementara Hun Sen sebagai penguasa de facto di Kamboja tidak mau menyerahkan kekuasaan. Akhirnya dibentuklah pemerintahan yang menggabungkan keduanya. Ranariddh menjadi Perdana Menteri (PM) I dan Hun Sen menjadi PM II.
Namun, ketegangan antara keduanya terus meruncing, dan empat tahun sesudahnya menjadi konflik bersenjata. Pada hari Sabtu hingga Senin, 5-7 Juli 1997, konflik bersenjata antara tentara Pangeran Ranariddh dan tentara Hun Sen terjadi di Bandar Udara (Bandara) Internasional Phnom Penh, Pochentong, dan sekitarnya. Pangeran Ranariddh menuduh Hun Sen berencana melakukan kudeta terhadapnya. Pada hari Minggu, 6 Juli 1997, diberitakan kediaman resmi Pangeran Ranariddh dikepung tentara Hun Sen.
Pada hari Selasa, 8 Juli 1997, melihat saya belum berangkat, Pak Jakob agak kesal, ia bertanya, ”Kenapa belum berangkat, kamu takut?” Dibilang takut, sesungguhnya saya agak tersinggung, tetapi perasaan itu saya simpan dalam hati. Saya jawab, ”Saya tidak berhasil mendapatkan pesawat dari Bangkok ke Phnom Penh, tetapi saya akan berangkat ke Bangkok hari Kamis, dan akan mencoba mencari jalan masuk ke Phnom Penh. Kalau perlu lewat jalan darat.”
Rabu, 9 Juli 1997, malam, berita kantor berita asing memberitakan, Thailand, Singapura, Malaysia, dan Filipina mengirimkan pesawat angkut militernya ke Bandara Pochentong, untuk mengevakuasi warganya dari Kamboja, Australia dan Selandia Baru melakukan langkah serupa. Namun, negara-negara lain, seperti Inggris, Jerman, dan Amerika Serikat (AS), walaupun menganjurkan warganya untuk meninggalkan Kamboja, tetapi tidak mengadakan operasi penjemputan. Warganya dianjurkan untuk menggunakan penerbangan komersial, seperti pesawat charter Orient Thai Airlines. Pengiriman pesawat angkut militer baru akan dilakukan apabila keadaannya memang sudah menuntut untuk itu.
Pada saat saya tengah memeriksa berita tentang Kamboja, telepon di meja saya berbunyi. Saya angkat, ternyata dari Pak Jakob. Ia bertanya, ”Jim, kamu jadi berangkat besok?” Saya jawab, ”Jadi Pak.” Lalu, Pak Jakob bilang, ”Nanti di sana kamu hati-hati ya, jangan macam-macam.” Sambil tertawa, saya bilang, ”OK Pak.” Rupanya Pak Jakob tahu kalau waktu itu saya tersinggung, dan khawatir kalau saya jadi nekat di sana. Pak Jakob punya sapaan akrab tersendiri buat saya, ”Si Sinting”.
Sampai di Bandara Don Muang, Bangkok, Thailand, saya langsung menghubungi teman saya di Thai Airways Internasional untuk mendapatkan informasi tentang pesawat yang terbang ke Phnom Penh. Maklum saya pernah ditempatkan di Bangkok dari tahun 1993-1995. Dari dia, saya mendapat informasi bahwa hari Jumat, 11 Juli 1997 ada dua pesawat yang dijadwalkan akan terbang ke Phnom Penh. Satu, Thai Airways Internasional TG 698 pada pukul 14.30, dan satu lagi, Orient Thai Airlines OX 911 pada pukul 13.00. Saya akan terbang dengan TG 698, mengingat OX911 adalah pesawat charter yang nantinya akan membawa warga negara asing keluar dari Phnom Penh. Oleh karena tidak ingin terjebak di kemacetan lalu lintas di kota Bangkok, saya memilih untuk bermalam di Amari Dong Muang Airtport Hotel.
Hari Jumat, 11 Juli 1997, pukul 10.00, saya sudah berada di Bandara Don Muang. Saya bermaksud santai sejenak sebelum berangkat ke Phnom Penh. Namun, pada pukul 12.30, ada pemberitahuan bahwa keberangkatan TG 698 dibatalkan, sampai ada pemberitahuan lebih lanjut. Dengan demikian, OX 911 adalah satu-satunya pesawat yang akan terbang ke Phnom Penh. Saya terpaksa saya mengeluarkan uang ekstra untuk dapat terbang dengan OX 911.
Saya sempat gelisah karena jam sudah menunjukkan waktu pukul 13.20, tetapi belum ada tanda-tanda bahwa pesawat akan berangkat. Kalau sampai batal berangkat, bisa runyam semua urusan.
Namun, kegelisahan itu tidak berlangsung lama karena pada pukul 13.30 bus yang akan mengangkut penumpang ke pesawat berhenti di depan pintu gerbang keberangkatan. Penumpang diminta menaiki bus untuk dibawa ke tangga pesawat. Pukul 13.50, pesawat mulai bergerak ke landasan pacu, dan lepas landas pukul 14.10. Diperkirakan perjalanan ke Phnom Penh akan memakan waktu 45 menit.
Penumpang pesawat itu sembilan orang, tiga di antaranya wartawan (dua wartawan televisi Taiwan dan saya). Salah satu penumpang adalah warga negara AS keturunan Laos yang bekerja di Phnom Penh. Warga negara AS itu mengatakan, sudah dua hari berada di Bangkok, menunggu pesawat yang terbang ke Phnom Penh.
Berlangsung di Phnom Penh
Saya sudah beberapa kali meliput konflik bersenjata di Kamboja, tetapi kali ini berbeda karena konflik bersenjatanya berlangsung di Phnom Penh. Biasanya, saya mendarat di Phnom Pehn satu dua hari (seperti melakukan aklitimasi) baru kemudian berangkat ke daerah di mana konflik bersenjata berlangsung. Itu sebabnya, kali ini saya agak tegang karena konflik bersenjata itu berlangsung di Phnom Penh. Apalagi ketika pesawat berputar di udara sebelum mendarat, terlihat kaca-kaca menara di Bandara Pochentong pecah dan di menaranya ada lubang-lubang bekas tembakan. Dan, terlihat sebuah tank terparkir di dekat menara. Sementara di tarmak (area pelataran tempat parkir pesawat) tampak seratusan orang berjajar empat berbaris menunggu di sana.
Begitu pesawat mendarat, semua penumpang berusaha melihat keluar jendela pesawat untuk menilai keadaan atau situasi di bandar udara. Tidak ada konsentrasi pasukan yang bersenjata lengkap, tidak ada kendaraan lapis baja yang digelar, keadaannya biasa-biasa saja. Yang tidak biasa hanya antrean panjang warga negara asing yang menunggu pesawat charter yang akan membawa mereka ke Bangkok.
Kesembilan penumpang yang turun pun disambut dengan ramah. Kepada yang belum memiliki visa Kamboja, diminta mengisi surat permohonan visa on arrival. Sama sekali tidak ada ketegangan di tempat itu. Namun, proses penanganan penumpang yang datang maupun yang pergi dilakukan di tempat terbuka, karena bangunan utama bandara tengah diperbaiki. Tembakan yang dilepaskan dari senjata dan pelontar granat—pasukan Hun Sen dan pasukan Ranariddh—menghancurkan sebagian besar bangunan bandara.
Ada beberapa pengemudi taksi gelap mendatangi penumpang dan menawarkan untuk mengantar ke hotel. Namun, saat itu, saya tidak ingin buru-buru ke Phnom Penh karena belum mengetahui keadaan di kota itu. Jadi saya kembali ke dalam bandara dan duduk di area rumput di dekat tarmak, sambil berpikir apa yang saya harus lakukan. Saya berpikir untuk menginap di Cambodiana Hotel, yang berlokasi di tepian Sungai Mekong. Di belakang hotel ini banyak perahu nelayan yang sandar di sana sehingga kalau ada keadaan darurat saya bisa menyelamatkan diri dengan menumpang perahu.
Dari area rumput itu, saya melihat beberapa tentara Kamboja berjaga-jaga di sana. Namun, wajah-wajahnya sangat santai. Tiba-tiba ada yang memanggil nama saya, saya menoleh, ternyata seorang perwira Kopassus yang dulu bergabung dalam Kontingen Garuda XII B, Pasukan Perdamaian PBB di Kompong Thom, pada tahun 1992. Saya bertanya, ”Lho kok bapak masih di sini?” Ia menjawab, ”Saya melatih tentara Kamboja (dalam hal ini, tentara PM Hun Sen). Pak James mau nginap di mana?” Saya jawab, ”Mungkin di Cambodiana Hotel.” Ia bilang, ”Jangan pak, bapak ketemu dengan Athan (Atase Pertahanan) dulu, nanti beliau akan mengarahkan bapak tinggal di mana. Bapak di sini saja, nanti saya carikan taksi gelap, biar bapak diantar ke kantor Athan.”
Dalam perjalanan dari bandara ke pusat kota, tampak bangunan-bangunan yang hancur atau rusak akibat konflik bersenjata dua hari antara pasukan Hun Sen dan pasukan Ranariddh. Bahkan, banyak pula bangunan yang isinya dijarah oleh beberapa kelompok tentara Hun Sen yang tidak disiplin. Namun, secara umum, situasi Phnom Penh sudah membaik kembali.
Oleh Athan, saya diminta untuk tinggal di rumah merangkap kantor Athan. Ia mengatakan, di rumah ini, sambungan telepon ke Jakarta lancar sehingga memudahkan kamu jika ingin mengirim berita. Kemudian, Athan membriefing saya tentang apa yang terjadi di Phnom Penh beberapa hari terakhir. Dan, menurut dia, PM Hun Sen telah berhasil mengatasi krisis yang terjadi, dan saat ini kendali penuh berada di tangannya.
Situasi Phnom Penh sudah membaik kembali. Kegiatan sehari-hari berjalan normal, meskipun memang agak sepi. Namun, sama sekali tidak ada peningkatan pasukan, ataupun penjagaan khusus di Phnom Penh. Jam malam telah dicabut sejak pekan lalu. Bahkan, ketika saya keluar hari Sabtu, 12 Juli 1997, dini hari, sekitar pukul 02.30, keadaan Phnom Penh biasa-biasa saja.
Hari Minggu, 13 Juli 1997, pagi, Pasar Kuning (Phsar Thom Thmey), pusat perbelanjaan terbesar di Phnom Penh, yang juga menjadi salah satu tujuan wisatawan yang paling populer di Phnom Penh, sudah beroperasi seperti biasa. Walaupun diperkirakan ada sekitar 2.000 warga negara asing telah meninggalkan Kamboja, tetapi masih lumayan banyak wisatawan asing yang mengajak anak-anaknya ke Pasar Kuning.
Bahkan, di Pasar Kuning, saya bertemu dengan Joel Hu dan rekannya, keduanya wartawan dari televisi Taiwan. Saya bertanya, ”Katanya cuma mau satu hari di Phnom Penh?” Ia menjawab, ”Karena keadaan sudah membaik, saya memperpanjang satu hari. Siang ini, saya ikut pesawat charter kembali ke Bangkok.”
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews