Kultum Tarawih [23] "New Normal: dalam Tarawih

Tidak ada lagi perdebatan tidak esensial seperti jumlah rakaat, kapan pelaksanaan, bahkan apakah tarawih itu bidah atau tidak.

Rabu, 20 Mei 2020 | 07:34 WIB
0
270
Kultum Tarawih [23] "New Normal: dalam Tarawih
Ilustrasi shalat (Foto: bersamadakwah.net)

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Alhamdulillah wa syukurillah, hari ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala masih mengizinkan kita untuk menjalani bulan Ramadan hingga kita bisa sampai pada malam dua puluh tiga. Semoga semangat ibadah dan takwa kita tetap terjaga dan terus bertambah, dan semoga Allah berikan kita kesempatan untuk menyelesaikan bulan Ramadan ini, juga agar kita bisa berjumpa lagi dengan Ramadan di tahun-tahun berikutnya.

Tak lupa marilah kita berselawat kepada Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wa Sallam, dan moga-mogalah kita termasuk orang-orang yang beruntung mendapatkan syafaat beliau di yaumul qiyamah kelak, aamiin ya rabbal alamin.

Sepertinya karena sudah mulai memasuki minggu terakhir bulan Ramadan, kita sudah terbiasa dengan situasi syahdu beribadah di rumah. Terutama dalam salat tarawih, kita mulai terbiasa dengan ‘new normal’ dalam bertarawih.

Orang mulai bisa menerima bahwa ada variasi dalam kaifiat salat tarawih. Dulu kita terpaku pada mana yang benar, tarawih 11 rakaat atau 23 rakaat. Pelaksanaannya 2 rakaat-2 rakaat dan diakhiri satu rakaat, atau bisa 4 rakaat-4 rakaat diakhiri 3 rakaat, kita debat terus mana yang benar. Sekarang, kita menyadari bahwa hal ini adalah sangat fleksibel, dapat disesuaikan dengan situasi kondisi di rumah kita masing-masing.

Tren baru lainnya adalah imam-imam salat tarawih mulai buka ‘open request’. Sekarang lazim jika jamaah meminta agar imam membaca surah tertentu dalam salat tarawih, hal yang tidak terpikirkan sebelumnya. Mau ‘playlist surah’ yang dibaca dalam tarawih 1 juz per hari, atau kombinasi surah pendek yang cepat, semua disesuaikan dengan kemampuan imam dan kenyamanan jamaah. 

Kita juga terbiasa dengan mengatur waktu pelaksanaan tarawih sesuai kemauan kita, selama masih dalam waktu Isya. Mau dilaksanakan di awal waktu, langsung setelah Isya, bisa. Salat Isya-nya agak diundur untuk makan malam atau hal lain, lanjut langsung tarawih, bisa. Atau salat Isya, tidur, lalu bangun dini hari untuk salat tarawih dilanjut bersahur.

Semuanya bisa disesuaikan dengan kemauan jamaah. Bahkan pelaksanaan tarawih bisa di-pause dulu misal ada jamaah mau buang air, atau kentut terus mau wudhu lagi.

Apa hikmahnya? Kita benar-benar mempelajari dan mempraktikkan bahwa ilmu fiqh adalah ilmu yang sangat fleksibel pelaksanaannya. Ibadah, apalagi ibadah yang dilaksanakan berjamaah, pelaksanaannya tidak saklek, namun bisa disesuaikan dengan situasi dan kondisi.

Kalau imamnya belum hafal banyak surah, baca yang pendek-pendek tidak apa-apa. Kalau imamnya ahli, tetapi ada jamaah yang tidak kuat salat lama-lama, diperpendek. Atau kalau pada mau tarawih panjang, kalau pada oke ya bisa dilaksanakan. Jumlah tarawih, kapan pelaksanaannya, ya fleksibel saja sesuai bagaimana enaknya. 

Tidak ada lagi perdebatan tidak esensial seperti jumlah rakaat, kapan pelaksanaan, bahkan apakah tarawih itu bidah atau tidak. Kita benar-benar meninggalkan debat yang tidak penting, dan fokus pada perbaikan diri kita masing-masing.

Wallahu a’lam, wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

***