Rudy Badil, Soe Hok Gie dan Pencinta Gunung

Rudy Badil, wartawan petualang yang akrab dengan gunung itu telah berpulang di usia 74. Selain jejak kakinya di gunung, jejak intelektualnya bisa ditemukan di buku-buku yang ditulisna.

Sabtu, 13 Juli 2019 | 08:48 WIB
0
2823
Rudy Badil, Soe Hok Gie dan Pencinta Gunung
Rudy Badil dan kawan-kawan (Foto: Jimmy S. Harianto)

Lembah Mandalawangi di Puncak Gunung Pangrango Jawa Barat sedang dingin, beku, ketika rombongan Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Indonesia (Mapala UI) menabur abu jenasah Soe Hok Gie pada Selasa 16 Desember 1975. Itu tahun keenam, semenjak sejarawan yang juga tokoh demonstran anti Orde Baru itu meninggal dalam sebuah pendakian di Gunung Semeru 1969.

Hari-hari itu pula saya pertama kali kenal Badil, mahasiswa pencinta alam UI yang memimpin pendakian Gunung Pangrango dalam rangka menabur abu Soe -- panggilan akrab si demonstran -- yang kuburnya di Jalan Tanah Abang II Jakarta Pusat digusur untuk Museum Prasasti, sehingga jasadnya dibongkar dan kemudian diperabukan. Badil ketika itu belum masuk Kompas, bahkan wartawan pun belum.

Badil merupakan teman sepermainan Soe di Gunung, seperti juga Idam Lubis (yang meninggal bersama Soe dalam sebuah kecelakaan pendakian di puncak  Semeru 16 Desember 1969), serta Abdulrahman – yang lolos dari maut di Semeru dan ikut menabur abu di Mandalawangi di akhir tahun 1975 itu. Kerangka Soe sebenarnya sudah tidur lelap selama enam tahun di makam Tanah Abang I sebelum dibongkar untuk Museum Prasasti.

Kerangka Soe Hok Gie diangkat pada 25 Oktober 1975, dan sehari kemudian diperabukan di tempat perabuan di Jelambar, Jakarta Barat. Sebelum ditebar di puncak Gunung Pangrango, abu disimpan di rumah keluarga Soe di Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Atas permintaan teman-temannya, Mapala UI dan tentu saja dedengkot Mapala, Rudy Badil, abu akan ditaburkan di puncak Pangrango.

Ada berbagai alasan, mengapa teman-teman Mapala UI konco Soe termasuk Badil memilih lembah Mandalawangi di Puncak Gunung Pangrango. Menurut teman-teman sependakian di gunung-gunung, semasa hidup Soe Hok Gie pernah mencetuskan dalam kelakar bahwa ia akan merasa senang bila dia bisa dikubur kelak di Mandalawangi.

Mandalawangi, lembah luas di puncak Pangrango memang menyimpan keindahan tersendiri. Berkabut dan dingin beku, Mandalawangi dikagumi Soe dalam berbagai sanjak-sanjak (puisi) yang ditulisnya. Lembah ini selalu dihiasi hamparan jutaan bunga Edelweiss, yang di kalangan pendaki gunung juga dikenal sebagai “bunga abadi”, lantaran kalau disimpan dalam keadaan kering, akan tetap abadi tak rontok. Kecuali tentunya jika dirontokkan. Namun bagi pendaki gunung sejati, pantang kiranya memetik Edelweiss dan memisahkan keindahan alam ini untuk disimpan sendiri di rumahnya. Itu kontra pelestarian alam...

Badil, yang nama aslinya Rudy David dan menamai dirinya sendiri Badil, ketika itu belum wartawan Kompas. Ia mengaku diri “preman gunung”. Dan ketika itu, memaksa saya yang baru empat bulan jadi wartawan media besar di Jakarta tersebut untuk kudu (harus) berbahasa preman selama pendakian saat penaburan abu Soe Hok Gie di Mandalawangi.

Jadilah, saya pertama kali ketularan kegilaan bergunung dan berpreman gara-gara kenal Badil, yang begitu akrab dengan penduduk-penduduk Cibodas di kaki Gede dan Pangrango.

“Kenalin nih, teman ogut si Kliwon...,” ujar Badil, mengenalkan penduduk lokal yang sering menjadi ‘sherpa’ (pembimbing jalan sekaligus sering juga berperan sebagai pembawa barang bagi para pendaki pemula). Kliwon selalu menyambut anak-anak gunung Mapala, kala itu, dalam sebuah bangunan khusus yang didirikan di kaki Gede dan Pangrango, yang mereka sebut “Rumah Bulat”. Selain menjadi markas awal pendakian Gede dan Pangrango, rumah beatap bulat ini juga menjadi Markas Mapala UI di kaki kedua gunung Jawa Barat itu.

Ogut, menurut bahasa preman gunung Mapala UI, adalah gue, aku. Ente ya elu, kalian. Kalau cerokit (cerita) soal gunung, ya mesti berbahasa preman. Badil sering menjuluki berbagai pendaki ataupun teman jalan di alam, dengan berbagai julukan cemooh. Bener kata temen kantorku, Mulyawan Karim yang juga eks Mapala UI dalam komennya di Facebook, “Badil itu mulutnya comberan, tetapi atinya baik...”

Di suatu pengalaman lain di alam bersama Badil, dalam sebuah ekspedisi melacak keberadaan badak dan harimau Jawa di kawasan Cagar Alam Ujung Kulon yang disponsori Kompas pada 1978, Badil malah mengolok-olok sherpa yang selalu membawakan beban kami dengan “si jabu reking” (si baju kering). Saya lupa nama si sherpa asli Banten itu. Hanya saja, lantaran penduduk lokal pembawa barang-barang perbekalan selama kami berekspedisi selama sebulan penuh di kawasan hutan itu, bajunya selalu bersih, kering sementara para pengelana lainnya bajunya kuyup, kotor. Norman Edwin juga ikut dalam rombongan Ekspedisi ke Ujung Kulon dan Pulau Panaitan di Selat Sunda.

Ekspedisi Kompas ini juga menyertakan wartawan Kompas senior, J Widodo, yang pada waktu itu Redaktur Science yang juga penggemar fotografi, dan pemrakarsa ekspedisi.

Badil kala itu juga belum wartawan Kompas. Ia masih anggota Mapala UI. Sementara J Widodo yang memang sering berkelana memotreti berbagai pelosok negeri termasuk memotreti Gunung Merapi setiap kali memuntahkan api. Wartawan senior Kompas ini membawa peralatan foto yang “super” Nikon  lengkap motor-drive (mewah untuk ukuran saat itu), serta telelensa 1000 mm yang segede gaban...

Ketika Badil sudah menjadi wartawan Kompas pertengahan 1980-an, dan kebetulan saya juga sudah Redaktur Olahraga di Media itu, kami sering sekali kerja bareng. Badil selalu menulis sisi lain dari berbagai event olahraga, mulai SEA Games Jakarta 1987, serta berbagai SEA Games, Asian Games, pesta sepak bola Piala Dunia 1990 Italia, termasuk juga Olimpiade 1992 Barcelona, Spanyol.

SEA Games Jakarta 1987, Badil yang sudah wartawan Kompas, melibatkan teman-teman non-Kompas (ada sepuluhan orang) sebagai pembantu peliput dan bahkan fotografi, sehingga terjaringlah kemudian menjadi wartawan Kompas seperti Eddy Hasbi (sampai kini masih berkutat dengan Visual Journalism nya di Kompas id). Juga Julian Sihombing, yang kala itu sebenarnya masih bekerja sebagai fotografer di majalah Jakarta Jakarta. Julian (sudah almarhum) kemudian juga direkrut masuk Kompas. Itulah Badil. Suka menggeret teman-temannya, agar mendapat kesempatan emas di berbagai peristiwa.

Di Olimpiade Barcelona 1982, bersama Badil dan lima teman wartawan Kompas lainnya, kami menyewa sebuah rumah seorang Ekuador selama sebulan. Dan menjadikan rumah di kepadatan kota Barcelona, sebagai markas Redaksi Kompas, tempa kami berapat dan mengawali liputan. Badil, bersama Diah Marsidi (yang waktu itu tengah kursus bahasa Spanyol, dan tinggal di Barcelona) kebagian menulis sisi lain, non olahraga dari Olimpiade Barcelona. Sementara kami, meliput berbagai event olahraga, termasuk peristiwa bersejarah – emas pertama di Olimpiade bagi Indonesia, melalui dua pebulu tangkis yang waktu itu masih pacaran – Susi Susanti dan Alan Budikusuma di cabang bulu tangkis...

Badil yang selama menjadi jurnalis adalah wartawan non-beat (tak pernah mau berpangkal di desk politik, ekonomi, kebudayaan selain non-beat dan menulis features) tetap menjadi manusia merdeka, dalam keterbatasan media. Jurnalis bebas, sebebas manusia gunung...

Kemaren pun ketika disemayamkan di Rumah Duka, RS Dharmais Jakarta Barat, setelah meninggal pendarahan otak setelah tiga hari sebelumnya jatuh di kamar mandi, Badil dilawati berbagai teman pencinta alamnya lengkap dengan celoteh bebas, khas manusia gunung. Bendera kuning Mapala UI pun tertempel di dinding ruang duka. Badil, yang seumur-umur tak pernah mau memakai jas pun, “diledek” teman-teman gunungnya yang melawat.

“Akhirnya lu pakai jas juga ya Dil....,” kata mereka, ketika melongok peti jenasah Badil di Dharmais Kamis malam. Badil, memang dikenakan jas, setelah meninggal.

Dan pada Sabtu (13/7/2019), Badil diantarkan ke tempat peristirahatan kekalnya di Tanah Kusir – tempat teman-teman gunungnya yang lebih dulu meninggal diterjang badai dalam pendakian puncak salah satu puncak dunia, Aconcagua di Argentina April 1992. Norman Edwin yang bersama Didiek Samsu pendaki Mapala UI meninggal di Aconcagua, lebih dulu dimakamkan di Tanah Kusir.

“Biar kumpul sama teman-temannya...,” ujar Xenia Muis, isteri Badil, tentang pemilihan Tanah Kusir sebagai tempat peristirahatan terakhirnya, “Dono, Kasino dan Nanu juga dimakamkan di sana,” kata Xenia pula.

Nanu, Dono dan Kasino adalah tiga anggota Warkop (Warung Kopi) DKI yang lebih dulu meninggal, teman-teman sehumoran Badil. Warkop Prambors (nama grup lawak itu sebelum Warkop DKI), yang dulu dikenal kelakar humornya khas humor kampus Rawamangun (sebelum UI pindah ke Depok), memang didirikan oleh Rudy Badil. Setelah Warkop ngamen di panggung-panggung, Badil menarik diri. Satu-satunya Warkop yang masih tinggal, hanyalah Indro, yang saat ini tengah ikut menggarap filem layar lebar, Warkop Reborn seri 3 dengan pelaku-pelaku yang “dimiripkan” Nanu, Dono, Kasino dan Indro.

“Ya, saya kini the last Mohicans...,” kelakar Indro, ketika ditemui melawat di tepi jenasah Rudy Badil di RS Dharmais, mengutip suku terakhir Indian Sioux di Amerika versi novel serial terkenal, karya Dr Karl May...

***

 Jimmy S Harianto, mantan teman sekantor Badil ketika masih di Palmerah